Prolog
Sebuah kastil besar yang terbuat dari batu dan baja melayang di langit tak berujung.
Hanya itulah isi dari dunia ini.
Butuh
waktu sebulan bagi berbagai kelompok pengrajin untuk meninjau lantai
dasar yang berdiameter sekitar 10 kilometer — cukup luas untuk
memasukkan seluruh Setagaya ke dalamnya. Di atasnya terdapat 100 lantai
yang tersusun lurus ke atas; ukurannya sangat luar biasa. Sekedar
menebak berapa banyak data yang digunakan untuk membuatnya pun mustahil.
Di dalamnya terdapat beberapa kota besar, dengan
banyak kota dan desa kecil, hutan serta padang rumput, dan bahkan danau.
Hanya satu tangga yang menghubungkan setiap lantai, dan tangga itu
berada di dungeon tempat monster-monster berkeliaran. Karena itu,
menemukan dan melewatinya bukan hal yang mudah. Namun, ketika seseorang
melewatinya dan tiba di sebuah kota di lantai atas, «Gerbang
Teleportasi» antara lantai itu dan semua kota di lantai bawah akan
terhubung, sehingga semua orang dapat bergerak dengan bebas dari lantai
ke lantai.
Di bawah kondisi ini, kastil raksasa itu
terus menerus ditaklukkan sejak dua tahun lalu. Garis depan sekarang ada
di Lantai ke-74.
Nama kastil itu adalah «Aincrad»,
sebuah dunia pertarungan pedang yang terus melayang, melingkupi kurang
lebih enam ribu orang di dalamnya. Dikenal juga dengan nama...
«Sword Art Online»
Bab 1: Sang Pendekar Pedang Hitam (Lantai Ke-35 Aincrad, Februari 2024)
Silica
adalah salah satu dari «Beast Tamer» yang langka di SAO, atau mungkin
lebih tepatnya “pernah”. Familiar miliknya, simbol dari seorang beast
tamer, sudah tidak ada lagi.
Beast Tamer bukanlah class atau skill yang diberikan oleh sistem, melainkan istilah yang digunakan oleh para pemain.
Dalam
suatu kejadian yang langka, monster yang agresif menunjukkan
ketertarikannya terhadap para pemain. Kalau kalian tidak melewatkan
kesempatan itu, kalian bisa berhasil menjinakkan monster tersebut dengan
memberikannya sesuatu untuk dimakan. Lalu si monster akan menjadi
«Familiar» si pemain dan mengabdi sebagai rekan yang berharga yang
membantu si pemain dengan berbagai cara. Para pemain menyebut mereka
yang telah berhasil melakukan hal itu sebagai beast tamer disertai
campuran pujian dan rasa iri.
Tentu saja, tidak semua
monster bisa menjadi familiar; hanya sedikit sekali ragam monster yang
bisa. Kondisi untuk memicu terjadinya event tersebut pun tidak jelas,
namun satu-satunya syarat yang diyakini semua orang adalah eventnya
tidak akan terjadi jika si pemain membunuh terlalu banyak monster jenis
itu.
Ini adalah kondisi yang lumayan susah jika kalian
pikirkan lagi. Bahkan jika seseorang mencoba untuk mendapatkan seekor
familiar dengan menemui monster itu berulang-ulang, monster-monster
tersebut bersifat agresif dan sang pemain tidak bisa menghindari
pertarungan dengan mereka. Dengan kata lain, jika seseorang berkeinginan
untuk menjadi seorang Beast Tamer, mereka harus terus menemui monster
yang diinginkan, dan jika eventnya tidak terjadi mereka harus terus
kabur. Tidak sulit untuk membayangkan betapa merepotkannya semua hal
tersebut.
Kalian bisa bilang Silica sangat beruntung dalam perkara ini.
Dengan
tanpa pengetahuan tentang permasalahan tadi, ia telah memasuki suatu
hutan tanpa alasan apapun di lantai yang ia kunjungi hanya karena ia
sedang ingin saja. Monster pertama yang ia jumpai tidak menyerangnya,
tetapi hanya mendekatinya. Kemudian ia memberikan monster itu sebuah
kacang yang ia beli hari sebelumnya tanpa banyak pikir, dan ternyata
kacang itu adalah makanan yang disukai oleh si monster.
Monster
tersebut adalah seekor «Naga Berbulu». Seluruh tubuhnya dilapisi oleh
bulu-bulu biru pucat yang lembut, dan ia memiliki dua bulu yang panjang
sebagai ganti dari ekor. Naga kecil tersebut adalah monster yang sangat
jarang dijumpai. Mungkin Silica adalah orang pertama yang berhasil
menjinakkannya, karena ia langsung menjadi pusat perhatian saat ia
kembali ke kota asalnya «Friben» di lantai delapan dengan si naga kecil
menduduki pundaknya. Hari berikutnya, tak terhitung banyaknya pemain
yang mencoba untuk menjinakkan Naga Berbulu setelah mendengar informasi
dari Silica, namun tidak ada yang berhasil.
Silica menamai naga kecil tersebut «Pina». Nama itu sama dengan nama yang ia berikan pada kucing miliknya di dunia nyata.
Monster-monster
familiar dikenal memiliki stats yang rendah untuk pertarungan
sebenarnya dan Pina bukanlah pengecualian. Tapi sebagai gantinya mereka
memiliki sejumlah skill spesial: kemampuan memindai yang memperingatkan
sang pemain bahwa ada monster yang mendekat, skill yang sedikit
menyembuhkan si pemain, dan sebagainya. Semua skill tersebut lumayan
berguna dan menjadikan perburuan sehari-hari jauh lebih mudah. Tapi yang
paling menyenangkan Silica adalah kehangatan dan kenyamanan yang dibawa
oleh keberadaan Pina.
AI dari seekor familiar memang
tidak begitu hebat. Tentu saja, familiar tidak bisa bicara, dan mereka
hanya bisa mengerti beberapa lusin perintah. Tapi bagi Silica, yang
memasuki game tersebut saat dia hanya berusia dua belas dan tengah
diliputi rasa takut dan gelisah, Pina adalah penyelamat yang sulit
dijelaskan dengan kata-kata. Tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa
«Petualangan» Silica --- yang sebenarnya berarti «Hidup» di sini ---
dimulai oleh Pina.
Setelah setahun, Silica dan Pina
telah naik level dengan lancar dan kemampuannya sebagai pemakai pisau
sudah cukup baik. Itulah yang membuatnya lumayan terkenal diantara para
pemain level pertengahan sebagai salah satu yang terbaik dari mereka.
Tentu
saja, dia masih jauh dari para petarung kelas atas yang bertempur di
garis depan; tapi di sisi lain, beberapa ratus orang yang bertekad untuk
menyelesaikan game ini diantara total tujuh ribu pemain lebih jarang
terlihat dibanding para beast tamer. Karena itulah, menjadi terkenal
diantara para pemain rata-rata kurang lebih sama dengan menjadi seorang
idola di dalam game ini.
Karena pemain perempuan itu
agak jarang, apalagi yang seumurannya, tidak butuh waktu lama bagi
«Dragon Master Silica» untuk menjadi pemain terkenal dengan banyak
penggemar. Ia menerima banyak sekali undangan dari kelompok dan guild
yang menginginkan seorang pemain idola dan bagi Silica yang baru berusia
tiga belas tahun, menjadi terlalu bangga dengan dirinya sendiri sudah
tak terhindarkan lagi. Tetapi akhirnya, harga diri itu menyebabkannya
melakukan kesalahan yang tidak dapat dia ubah lagi sebesar apapun
penyesalannya.
Sebuah pertengkaran karena hal kecil memulai semuanya.
Waktu
itu Silica berada di dalam hutan yang sangat luas di utara lantai
tigapuluh lima, dikenal sebagai «Hutan Pengembaraan», dengan kelompok
yang ia jumpai dua minggu sebelumnya. Saat itu, garis depan sudah jauh
di lantai limapuluh lima, jadi lantai tigapuluh lima sudah
terselesaikan. Tapi para petarung kelas atas tidak peduli dengan hal
selain menyelesaikan area labirin, jadilah sub-dungeon seperti «Hutan
Pengembaraan» populer sebagai target bagi para pemain rata-rata.
Karena
kelompok enam orang yang dimasuki Silica tersusun dari para petarung
tangguh, mereka telah bertempur dari pagi dan menemukan item yang
lumayan banyak, termasuk beberapa peti harta karun. Tapi ketika matahari
mulai terbenam dan mereka semua mulai kehabisan ramuan penyembuh,
mereka mulai berjalan pulang ke area tempat tinggal. Seorang pemain
wanita yang langsing yang menggunakan tombak lalu mengucapkan sesuatu,
mungkin untuk mengatur Silica.
"Kita akan membagikan
item-itemnya begitu sampai. Tapi karena kamu disembuhkan kadalmu, kamu
ga akan butuh kristal penyembuhnya kan?"
Silica merasa tersinggung lalu menyerang balik.
"Kamu bahkan tidak maju ke depan dan cuma berkeliaran di belakang kelompok, jadi kamu juga tidak perlu memakai kristal."
Setelah
itu, pertengkaran semakin memanas, dan usaha sang ketua tim, seorang
pengguna pedang dan perisai, untuk menghentikannya sama sekali
diabaikan. Akhirnya, dalam kemarahan Silica berkata:
"Aku
tidak butuh item-itemnya. Aku tidak akan sekelompok dengan kalian lagi.
Lagian banyak orang yang ingin sekelompok denganku!"
Mengabaikan
saran sang ketua untuk setidaknya tetap bersama dengan kelompok sampai
mereka keluar dari hutan tersebut dan sampai di area tempat tinggal, dia
meninggalkan grup itu dan berjalan tanpa arah di sebuah jalur kecil.
Walaupun
dia sendirian, dia telah menguasai tujuhpuluh persen skill pisaunya dan
mempunyai Pina untuk mendukungnya, jadi monster-monster lantai
tigapuluh lima bukan masalah baginya. Dia dapat melalui hutan itu dan
kembali ke area tempat tinggal tanpa masalah apapun. Itu, kalau dia
tidak tersesat.
Bukan tanpa alasan hutan itu dijuluki «Hutan Pengembaraan».
Hutan
yang sangat besar itu dipenuhi pohon-pohon besar yng menjulang tinggi
dan terbagi menjadi area-area seperti papan catur; satu menit setelah
kalian menjejakkan kaki di sebuah area, area itu akan disambungkan oleh
warp ke area lain yang sama sekali berbeda secara acak. Jika kalian
ingin keluar dari hutan itu, kalian harus melalui setiap area dalam satu
menit, atau membeli peta yang mahal dari sebuah toko di area tempat
tinggal, yang memeriksa area-area yang tersambung dengan lokasi kalian
ketika kalian melewati hutan tersebut.
Tapi
satu-satunya orang dengan peta itu hanyalah si ketua. Karena menggunakan
kristal teleport di dalam Hutan Pengembaraan justru menteleport kalian
ke area lain di hutan bukannya kembali ke kota, Silica harus mencoba
melewati tiap area. Namun berlarian diantara akar pohon yang besar-besar
dan mengikuti jalan setapak yang berliku-liku ternyata lebih sulit dari
yang ia bayangkan.
Silica memutuskan untuk terus
menuju arah utara, tetapi karena batas waktunya selalu terlewat persis
sebelum dia dapat mencapai ujung area tersebut, maka dia selalu berakhir
di suatu area tak dikenal lagi dan lagi. Sebentar kemudian dia
mendekati batas kesadarannya sebelum pingsan karena kelelahan. Cahaya
merah dari matahari terbenam semakin menua dan dia merasa semakin cemas
melihat langit menggelap dan peluangnya keluar dari dungeon tersebut
makin mengecil.
Akhirnya, Silica berhenti berlari dan
mulai berjalan, berharap dia bisa sampai ke area di ujung hutan secara
kebetulan. Tapi keberuntungan tidak berpihak padanya, dan banyak monster
yang menyerangnya setiap kali dia tersandung. Bahkan dengan levelnya
yang jauh lebih tinggi, saat hari semakin gelap dia bahkan tidak bisa
melihat apa yang ada di tanah dengan jelas. Walau dia memiliki Pina
untuk menolongnya, dia tidak berhasil keluar dari setiap pertarungan
tanpa terluka dan akhirnya dia menghabiskan tidak hanya ramuannya yang
tersisa tapi juga ramuan penyembuh darurat miliknya.
Seakan
merasakan kegelisahan Silica, Pina membelai pipi Silica dengan
kepalanya selagi mendengkur di bahunya. Silica menyesali ketergesaan dan
harga dirinya yang telah membuatnya terjebak dalam situasi ini seraya
membelai leher panjang partnernya dengan gaya menenangkan.
Sambil berjalan dia bergumam dalam pikirannya:
"Maafkan
aku. Aku tak lagi berpikir aku ini istimewa. Jadi tolong biarkan aku
keluar dari hutan ini saat aku melakukan warp berikutnya."
Dia
melangkah ke zona warp lain sambil berdoa. Setelah gelombang
memusingkan yang singkat, yang muncul di hadapannya adalah hutan
belantara yang sama dengan yang telah ia lihat di waktu-waktu
sebelumnya. Bahkan tidak ada tanda-tanda dataran di kegelapan dibalik
pohon-pohon tinggi itu.
Ketika Silica yang kecewa
mulai berjalan lagi, Pina dengan cepat mengangkat kepalanya dan
mengeluarkan pekikan tajam. Sebuah peringatan. Silica segera mengambil
pisaunya dan mengarahkannya ke arah yang ditatap Pina dari tadi.
Beberapa
detik kemudian, sebuah geraman pelan terdengar dari balik sebuah pohon
besar yang tertutup lumut. Begitu Silica memfokuskan pandangannya,
muncul sebuah kursor kuning. Mereka ada beberapa. Dua, bukan... tiga.
Nama monsternya «Kera Mabuk». Mereka salah satu monster terkuat di Hutan
Pengembaraan. Silica menggigit bibirnya.
Walaupun begitu---
Mereka
tidak seberbahaya itu jika hanya melihat levelnya. Ketika pemain level
menengah, seperti Silica, pergi ke medan perburuan, sudah menjadi akal
sehat untuk beberapa level lebih tinggi dari monster yang muncul.
Biasanya, level mereka cukup tinggi untuk mengalahkan lima monster
sendirian tanpa menggunakan item penyembuh.
Alasannya
adalah, tidak seperti para petarung kelas atas di garis depan,
pemain-pemain kelas menengah berpetualang untuk mendapatkan coll yang
cukup untuk hidup sehari-sehari, untuk mendapatkan cukup experience
supaya dapat bertahan di kisaran level rata-rata, dan terakhir untuk
menghilangkan kebosanan. Diantara alasan-alasan ini, tidak satupun yang
patut untuk mempertaruhkan nyawa kalian untuknya. Bahkan, masih ada
sekitar seribu pemain di «Starting City» yang menolak untuk meningkatkan
kemungkinan tewas sekecil apapun.
Tapi seseorang
butuh penghasilan tetap untuk makan dan tidur. Ditambah lagi, semua
pemain MMORPG seperti terkena wabah yang membuat mereka merasa tidak
aman jika mereka setidaknya berada di level rata-rata. Karena inilah,
setelah satu setengah tahun setelah game ini dimulai, kebanyakan pemain
sekarang bepergian ke medan perburuan dengan level yang jauh lebih
tinggi untuk menikmati petualangan di dunia ini.
Karenanya,
para Kera Mabuk, yang dibanggakan sebagai salah satu dari monster
terkuat di lantai tigapuluh lima, bukan benar-benar tantangan bagi
Silica; setidaknya begitulah yang seharusnya.
Silica mengangkat pisaunya seraya memaksa pikirannya untuk berkonsentrasi. Pina juga melayang naik sebagai persiapan bertarung.
Monster-monster
yang muncul dari belakang pohon tersebut merupakan antropoid yang
tertutup bulu merah tua. Mereka memegang pentungan kasar di tangan
kanannya dan sejenis kundur yang diikat oleh sebuah benang di tangan
kirinya.
Begitu kera-kera tersebut mengangkat
pentungannya dan memperlihatkan gigi mereka untuk meraung, Silica
menyerbu ke arah kera yang di depan untuk melakukan serangan pertama.
Dia berhasil melakukan pukulan telak dan mengurangi HP kera itu lumayan
banyak dengan «Rapid Bite», sebuah skill pisau tipe menyerbu kelas
menengah, lalu melakukan sebuah combo berkecepatan tinggi yang merupakan
salah satu keuntungan terbesar dari menggunakan pisau.
Para
Kera Mabuk menggunakan skill-skill gada tingkat rendah, dan walaupun
setiap pukulan memiliki kekuatan yang dahsyat, mereka lamban dan tidak
memiliki kombo multi-pukulan. Silica menghujani Kera Mabuk itu dengan
serangan lalu mundur sejenak hanya untuk menyerbu lagi untuk memulai
penyerangan baru. Setelah melakukannya beberapa kali, HP Kera Mabuk
tersebut telah berkurang banyak dalam waktu sebentar. Kadang-kadang,
Pina juga menggunakan serangan nafasnya yang seperti gelembung untuk
membingungkan musuh.
Tetapi persis sebelum dia akan menggunakan skill keempatnya «Fad Edge» dan membunuh kera pertama...
Seekor
lawan baru muncul dari belakangnya, bertukar dengan si kera pertama
selama waktu jeda yang singkat. Silica tidak punya pilihan selain
mengganti sasarannya dan mulai menyerang si kera kedua. Si kera pertama
lalu mundur dan mengayunkan kundurnya dengan tangan kirinya—
Silica
terkejut begitu dia melihat sekilas bar HP si Kera Mabuk pertama. Bar
HP nya terisi kembali dengan kecepatan mengagumkan. Tampaknya kundur
tersebut mengandung sejenis cairan penyembuh.
Dia
telah menghadapi Kera Mabuk di lantai tigapuluh lima sebelumnya, tetapi
waktu itu mereka hanya berdua, dan dia membunuh keduanya sebelum mereka
punya kesempatan untuk bertukar, jadi dia tidak mengetahui skill spesial
ini. Silica mengertak giginya dan berkonsentrasi untuk menghabisi si
kera kedua dengan benar.
Namun begitu dia mengurangi
bar HP si kera ke zona merah dan memperlebar jarak diantara mereka untuk
memulai serangan terakhirnya, kera itu bertukar dengan kera lainnya.
Kera mabuk yang ketiga. Pada saat itu kera yang pertama sudah hampir
mengisi penuh bar HP nya.
Kalau begini terus tidak akan ada akhirnya. Mulut Silica mengering karena gelisah.
Silica
memang sebenarnya hampir tidak punya pengalaman bertarung solo sama
sekali. Walaupun dia mempunyai keuntungan karena perbedaan level yang
besar sekali, itu hanyalah angka-angka; kemampuan sebenarnya si pemain
adalah hal yang sama sekali berbeda. Kegelisahan yang muncul di pikiran
Silica mulai berubah menjadi rasa bingung. Dia mulai lebih sering
meleset, sehingga memberikan ruang untuk lawannya menyerang balik.
Ketika
dia berhasil mengurangi sekitar setengah HP kera mabuk ketiga, usahanya
untuk terus melakukan combo menyebabkannya terjerembab. Sang kera tidak
melewatkan kesempatan itu dan menyerang balik, yang berhasil
mendaratkan sebuah pukulan telak.
Gada kayu nya dibuat
dengan kasar, namun damage dasar dari beratnya dikombinasikan dengan
kekuatan si Kera Mabuk menyebabkan HP Silica berkurang hampir tigapuluh
persen. Rasa takut pun menyerang sekujur tubuhnya.
Fakta
bahwa dia telah kehabisan ramuan penyembuh menambah kegugupannya. Nafas
Pina memulihkan sekitar sepuluh persen HP nya, namun kemampuan itu
bukanlah sesuatu yang bisa Pina gunakan terlalu sering. Bahkan dengan
kemampuan itu pun, jika dia terkena serangan seperti itu tiga kali lagi
--- dia akan mati.
Mati. Silica membeku begitu
kemungkinan tersebut melintas dalam pikirannya. Tangannya tidak mau
terangkat. Kakinya tidak mau bergerak.
Sampai
sekarang, bertarung selalu mengasyikkan, tetapi selalu jauh dari bahaya
sesungguhnya. Silica sebelumnya tidak pernah berpikir bahwa bertarung
itu terhubung dengan «Kematian» sesungguhnya---
Saat
dia berdiri membeku di depan Kera Mabuk yang meraung dan mengangkat
pentungannya lagi, Silica menyadari untuk kali pertama arti sebenarnya
dari bertarung dengan monster di SAO. Ini sebuah kontradiksi; SAO adalah
sebuah game, tapi di saat yang sama SAO bukanlah sesuatu untuk
dimainkan.
Dengan suara tumpul gada yang membelah
udara, serangan tersebut membentur Silica begitu dia berdiri dengan
tegar. Dia tidak mampu menerima dampaknya dan roboh ke tanah. HP nya
berkurang banyak dan berubah menjadi oranye.
Dia tidak
bisa berpikir apa-apa lagi. Dia bisa melarikan diri. Dia bisa
menggunakan kristal teleport. Masih ada pilihan lain yang bisa dia buat,
namun dia hanya terpana melihat pentungan itu saat si kera
mengangkatnya untuk kali ketiga.
Senjata yang kasar itu mengeluarkan sebuah kilauan merah, dan ketika dia akan menutup matanya secara refleks---
Sebuah
sosok kecil melompat ke ruang diantara Silica dan gada si kera. Sebuah
suara yang berat dan menakutkan terdengar. Bulu-bulu biru langit
berhamburan seketika begitu bar HP yang kecil itu turun ke angka nol.
Pina
menatap Silica dengan matanya yang bulat dan biru setelah dia jatuh ke
lantai. Ia mengeluarkan geraman lemah lalu berhamburan menjadi polygon
yang tak terhitung banyaknya. Sebuah bulu ekor yang panjang melayang
turun bagai sedang menari.
Sesuatu meletup dalam diri
Silica. Benang yang telah menjaganya sudah menghilang. Sebelum rasa
sedih sempat menyeruak, dia merasa marah: marah kepada dirinya sendiri
karena tidak dapat bergerak hanya karena telah terkena satu serangan;
dan sebelum itu, marah kepada dirinya sendiri karena takabur untuk
mencoba melalui hutan itu sendirian hanya karena ia merasa kesal oleh
pertengkaran kecil.
Dengan gerakan yang luwes Silica
melangkah mundur, menghindari serangan yang diayunkan ke arahnya oleh si
monster. Dia lalu menyerbu dengan sebuah teriakan. Pisau di tangan
kanannya berkilau begitu menghujani si kera dengan serangan.
Silica
bahkan tidak mencoba untuk menghindari pentungan kera yang bertukar
dengan temannya setelah melihat HP temannya itu berkurang, namun malah
menangkisnya dengan tangan kirinya. HP nya berkurang, walaupun tidak
sebanyak jika terkena langsung. Tetapi ia mengabaikannya dan mengejar
kera ketiga, kera yang telah membunuh Pina.
Silica
memanfaatkan perawakannya yang kecil, menerjang langsung ke arah si
kera, dan menusukkan pisaunya ke kera tersebut. Dengan sebuah efek
pukulan kritikal yang menyilaukan, HP musuhnya habis tak bersisa.
Pertama suara jeritan, lalu suara benda pecah yang terdengar.
Diantara
sisa-sisa yang sedang berhamburan, Silica memalingkan tubuhnya dan
menyerbu ke arah sasaran baru. Bar HP nya sudah menjadi berwarna merah
yang berarti bahaya, tapi dia sudah tak peduli lagi. Dia hanya melihat
musuh yang harus ia bunuh, seakan diperbesar untuk memenuhi pandangan
matanya.
Dia bahkan lupa rasa takutnya terhadap
kematian dan baru akan mencoba melakukan sebuah serbuan mematikan di
bawah gada yang sedang mengayun.
Sebuah cahaya putih bersih memotong kedua Kera Mabuk itu begitu mereka berdiri berdampingan.
Badan kedua kera itu masing-masing terbelah dua dalam sekejap; lalu mereka pecah dan menghilang.
Silica
berdiri dengan lunglai ketika dia melihat seorang pemain pria dibalik
pecahan-pecahan yang berhamburan. Dia berambut hitam dan memakai mantel
hitam. Dia memang tidak terlalu tinggi, namun aura keberadaan yang luar
biasa terpancar dari dirinya. Silica melangkah mundur begitu dia
merasakan rasa takut yang naluriah. Mata mereka bertemu.
Tetapi
matanya sunyi dan sedalam kegelapan. Anak laki-laki itu menyarungkan
pedang satu tangannya ke dalam sarung pedang di punggungnya dengan bunyi
berderang lalu membuka mulutnya.
"Maafkan aku. Aku gagal menyelamatkan temanmu"
Dia
kehilangan tenaga begitu mendengarnya. Dia tidak dapat lagi menahan air
mata membasahi pipinya. Dia bahkan tidak menghiraukan pisaunya terlepas
dari tangannya dan jatuh ke tanah. Segera setelah dia melihat bulu biru
langit di tanah, dia langsung berlutut di hadapannya.
Setelah
kemarahannya hilang, perasaan sedih dan kehilangan menguasainya. Mereka
mewujud dalam bentuk air mata dan bergulir menuruni pipinya tanpa
henti.
Familiar tidak diprogram untuk menghentikan
serangan sebagai perilaku normalnya. Pina telah menghadang serangan itu
dengan kemauannya sendiri --- bisa dibilang itulah hasil dari cintanya
terhadap Silica, yang telah menghabiskan waktu setahun bersamanya.
Sambil mencengkram dirinya sendiri, Silica bergumam sambil menangis.
"Kumohon... jangan tinggalkan aku sendiri... Pina..."
Namun bulu biru langit itu tidak memberikan jawaban apapun.
"...Aku minta maaf."
Ucap
si pemuda berpakaian serba hitam itu lagi. Silica menggelengkan
kepalanya dan mencoba mati-matian menghentikan air matanya.
"...Tidak... Aku yang... bertindak bodoh... terima kasih...telah menyelamatkanku..."
Dia berhasil untuk memaksakan diri mengucapkan kata-kata tersebut begitu dia berhenti menangis.
Pemuda itu berjalan perlahan ke arah Silica lalu berlutut di depannya sebelum bertanya ragu-ragu.
"...Bulu itu, apa mungkin bulu itu punya nama item?"
Terkejut
oleh pertanyaan yang diluar perkiraan itu, Silica mengangkat kepalanya.
Dia menyeka air matanya lalu memalingkan tatapannya ke arah bulu yang
dimaksud.
Sekarang ketika dia memikirkannya lagi,
memang aneh cuma bulunya yang tersisa. Baik itu monster maupun manusia,
makhluk di dunia ini biasanya tidak meninggalkan apa-apa setelah mati,
bahkan equipmentnya pun tidak. Silica dengan ragu meraih bulu tersebut
dengan tangannya lalu mengklik permukaannya dengan jari telunjuk. Layar
setengah transparan yang muncul memperlihatkan nama dan berat bulu
tersebut.
«Pina's Heart»
Begitu Silica akan mulai menangis lagi setelah melihatnya, si pemuda menghentikannya.
"Tu-tunggu-tunggu. Kalau hatinya tertinggal, kamu bisa menghidupkannya lagi."
"Apa!?"
Silica mengangkat kepalanya dengan tajam. Dia menatap wajah si pemuda dengan mulut setengah terbuka.
"Itu
ditemukan beberapa waktu lalu, jadi masih banyak orang yang belum tahu.
Ada dungeon bernama «Bukit Kenangan» di wilayah utara lantai empatpuluh
tujuh. Lumayan susah walaupun namanya begitu... tapi katanya bunga yang
mekar di puncaknya adalah item penghidup famili-."
"Be-Benarkah!?"
Silica
berdiri dan bersorak sebelum si pemuda selesai bicara. Rasanya harapan
membanjiri dadanya, yang dipenuhi rasa duka. Tapi—
"...Lantai empatpuluh tujuh..."
Silica
bergumam dan mengendurkan bahunya. Itu dua belas lantai di atas level
ini, lantai tigapuluh lima. Pastinya bukan area yang aman bagi Silica.
Persis ketika ia memalingkan matanya yang kecewa ke lantai.
"Hmm—"
Pemuda di hadapannya berkata dengan suara terganggu.
"Aku
bisa mengambilkannya buatmu kalau kamu memberiku ongkos dan sejumlah
biaya, tapi mereka bilang bunga itu hanya muncul kalau beast tamer yang
kehilangan familiarnya ikut pergi..."
Silica tersenyum kepada swordsman yang tak disangka-sangka ternyata baik itu dan berkata:
"Tidak... Aku senang dengan informasi yang kamu kasih. Kalau aku bekerja keras untuk naik level, suatu hari aku akan bisa..."
"Alasan
kenapa kamu ga bisa melakukan itu adalah, katanya familiar cuma bisa
dihidupkan lagi dalam waktu empat hari setelah mereka mati. Setelah itu,
nama itemnya akan berubah dari «Heart» menjadi «Remains»..."
"Apa...!"
Silica tidak mampu menahan dirinya berteriak.
Sekarang
levelnya empatpuluh empat. Kalau SAO merupakan RPG biasa, lantai
dungeon akan sesuai kesulitannya dengan pemain berlevel sama. Tapi
karena SAO adalah game kematian yang gila, area yang aman adalah sekitar
sepuluh level di bawah sang pemain.
Dengan kata lain,
untuk menjelajahi lantai empatpuluh tujuh, Silica harus setidaknya
mencapai level limapuluh lima. Tetapi bagaimanapun ia memikirkannya,
tidak mungkin naik sepuluh level hanya dalam empat hari... tidak, dua
hari kalau dia menghitung waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan
dungeonnya. Dia cuma berhasil mencapai levelnya sekarang karena dia
berpetualang dengan tekun.
Silica menjatuhkan
kepalanya dan keputusasaan menguasainya sekali lagi. Dia mengambil bulu
Pina dari tanah dan memeluknya dengan lembut di dadanya. Air matanya
bermunculan saat dia mengutuk kebodohan serta ketidakberdayaannya.
Silica
menyadari si pemuda mulai berdiri lagi. Ia pikir dia akan pergi dan ia
setidaknya harus mengucapkan selamat jalan, namun ia tidak memiliki
energi lagi untuk membuka mulutnya—
Tapi tiba-tiba,
layar setengah transparan muncul di hadapannya. Sebuah layar transaksi.
Saat Silica mengangkat kepalanya, dia melihat pemuda itu sedang
memanipulasi layar lainnya. Item-item mulai bermunculan satu per satu
dalam seksi transaksi. «Silver Thread Armor», «Ivory Dagger»... Semuanya
adalah equipment yang Silica bahkan belum pernah melihatnya.
"Errm..."
Ketika dia membuka mulutnya ragu-ragu, si pemuda menjelaskan dengan santai:
"Ini seharusnya cukup untuk sekitar lima, enam level. Kalau aku pergi denganmu seharusnya tidak apa-apa."
"Apa...?"
Silica
berdiri dengan mulut sedikit terbuka. Dia tidak bisa mengira apa yang
dipikirkan pemuda itu, jadi dia melihat langsung ke arahnya. Tapi karena
sistemnya SAO, yang dapat dilihatnya hanyalah bar HP si pemuda; dia
bahkan tidak bisa mengetahui nama atau levelnya.
Sulit
untuk menebak berapa umurnya. Equipmentnya berwarna serba hitam.
Kekuatan dan ketenangan yang terpancar darinya membuatnya terlihat
beberapa tahun lebih tua dari Silica, namun matanya yang tertutup oleh
poninya yang panjang entah mengapa tampak tidak berdosa, dan garis-garis
wajahnya yang feminin membuatnya terlihat sedikit seperti perempuan.
Silica dengan hati-hati bertanya:
"Kenapa... kamu baik sekali...?"
Sebenarnya, dia sangat waspada.
Sampai
sekarang, beberapa pemain pria yang jauh lebih tua dari Silica telah
mencoba mendapatkan cintanya; bahkan dia pernah mendapatkan lamaran
sekali. Bagi Silica, yang baru berusia tiga belas tahun,
pengalaman-pengalaman ini hanya memberinya rasa takut. Dia bahkan belum
pernah mendapatkan pernyataan cinta di dunia nyata.
Tidak
terelakkan lagi, Silica jadi mulai menghindari pemain pria yang tampak
memiliki ketertarikan semacam itu. Lagipula, «selalu ada motif dibalik
kata-kata manis» adalah akal sehat di Aincrad.
Pemuda
itu menggaruk kepalanya lagi, seakan kehabisan jawaban. Ia membuka
mulutnya untuk mengatakan sesuatu, lalu menutupnya lagi. Setelah itu,
dia mengalihkan pandangannya, kemudian bergumam dengan suara pelan:
"...Yah, ini bukan komik... Aku akan bilang kalau kamu janji tidak akan tertawa."
"Aku tidak akan tertawa."
"Itu karena... kamu mirip sama adikku."
Mendengar
jawaban seperti manga ini, Silica tidak bisa menahan dirinya untuk
tidak tertawa. Ia menutup mulutnya dengan tangannya, tapi dia tidak bisa
menahan tawanya yang meluap-luap.
"Kamu, kamu bilang kamu tidak akan ketawa..."
Ekspresi
terluka terlihat di wajah si pemuda lalu dia mengendurkan bahunya
sambil mulai mendongkol. Membuat tawa Silica semakin keras lagi.
Dia bukan orang jahat...
Sambil
tertawa, Silica memutuskan untuk mempercayai kebaikan pemuda ini. Dia
sudah pernah bertekad untuk mati. Kalau untuk menyelamatkan Pina, tidak
ada alasan baginya untuk menahan diri.
Silica membungkuk dan berkata:
"Kuharap kita berteman baik. Kamu sudah menolongku, dan bahkan menawarkan untuk melakukan hal seperti ini untukku..."
Dia
menatap layar transaksi itu lalu memasukkan semua Coll yang
dimilikinya. Ada lebih dari sepuluh equipment yang diberikan pemuda itu,
dan semuanya terlihat seperti item langka yang tidak bisa dibeli di
toko.
"Yah... mungkin ini terlalu kecil, tapi..."
"Tidak, kamu tidak perlu bayar. Ini semua hanya cadangan dan ini juga berhubungan dengan alasan kenapa aku datang ke sini..."
Ketika dia mengucapkan sesuatu yang tidak dapat dimengerti Silica, si pemuda menekan tombol OK tanpa menerima uang sedikitpun.
"Terima kasih. Sungguh.... Oh, aku Silica."
Saat
dia mengucapkan namanya, dia setengah berharap pemuda itu terkejut
karenanya, tapi nampaknya pemuda itu tidak mengenal namanya. Dia merasa
terabaikan untuk sejenak, tetapi kemudian dia ingat bahwa sisinya yang
inilah yang membuatnya berakhir seperti ini.
Si pemuda mengangguk kecil lalu menjulurkan tangan kanannya.
"Aku Kirito. Salam kenal."
Mereka berjabatan tangan.
Pemain
yang dipanggil Kirito itu mengeluarkan sebuah peta Hutan Pengembaraan
dari kantong yang tergantung di ikat pinggangnya. Dia melihat area yang
terhubung dengan pintu masuk lalu mulai berjalan. Sambil mengikutinya,
Silica membenamkan bulu Pina ke bibirnya dan bergumam dalam pikirannya.
Tunggu, Pina. Sebentar lagi aku akan menghidupkanmu...
Area
tempat tinggal di lantai tigapuluh lima diliputi suasana pedesaan
dengan bangunannya yang putih-putih serta atapnya yang merah-merah.
Desanya sendiri memang tidak begitu besar, namun merupakan area
berpetualang utama bagi para pemain level menengah saat ini, jadi ada
lumayan banyak orang yang berjalan kesana kemari.
Kota
asal Silica adalah Desa Friben, yang terletak di lantai delapan; namun
karena ia belum membeli rumah, tinggal di penginapan manapun di lantai
berapa saja tidak begitu terasa berbeda baginya. Yang paling penting
adalah rasa dari makanan yang disajikan. Silica menyukai cheesecake yang
dimasak NPC disini, jadi dia telah tinggal disini sejak dua minggu lalu
saat dia mulai berpetualang di Hutan Pengembaraan.
Sewaktu
ia memandu Kirito, yang seakan terpesona melihat sekelilingnya,
beberapa wajah yang ia kenal memulai percakapan dengannya. Mereka
mencoba membujuk Silica untuk bergabung dengan kelompoknya setelah
mendengar rumor dia telah keluar dari kelompok lamanya.
"Erm, Yaa... terima kasih atas tawarannya, tapi..."
Dia
membungkuk saat menolak tawaran-tawaran itu agar mereka tidak sakit
hati. Kemudian dia melirik Kirito, yang berdiri di sampingnya, dan
melanjutkan perkataannya:
"...Aku akan sekelompok dengan orang ini untuk beberapa waktu..."
Apa!? Beneran!? Ucap orang-orang yang mengerumuni Silica dengan marah lalu menatap Kirito dengan curiga.
Silica
sudah melihat sedikit kemampuan Kirito; tapi ketika kalian
memperhatikan swordsman hitam yang cuma berdiri disana, dia tidak
terlihat sekuat itu.
Dia tidak memakai equipment mahal
satupun—dia tidak memakai armor sama sekali dan hanya memakai sebuah
jaket tua yang terlihat usang di atas kaosnya—yang ia miliki hanyalah
sebuah pedang satu tangan yang sederhana; dia bahkan tidak punya tameng.
"Hei, kau..."
Pengguna dua pedang
berpostur tinggi yang tadi paling gigih mengajak Silica bergabung
berjalan ke arah Kirito. Sambil meremehkan Kirito dia membuka mulutnya:
"Kau wajah baru, tapi kau ga boleh memotong antrian. Kami sudah mengincar Silica lumayan lama."
"Yah, aku ga tahu; entah kenapa kita berakhir seperti ini..."
Kirito menggaruk kepalanya dengan muka bermasalah.
Dia setidaknya bisa berdebat sedikit, pikir Silica dengan sedikit kecewa, kemudian ia berkata ke si pengguna dua pedang:
"Erm, itu aku yang minta. Aku minta maaf!"
Silica membungkuk untuk terakhir kalinya lalu melangkah pergi sambil menarik ujung jaket Kirito.
"Aku akan mengirim pesan untuk kalian lain kali~."
Silica
berjalan dengan cepat, hendak melepaskan diri dari kerumunan itu, yang
belum sepenuhnya menyerah, secepat mungkin. Dia memotong melewati
gerbang plaza menuju jalan utama.
Ketika mereka akhirnya tidak dapat menjumpai para pemain itu lagi, Silica mengambil nafas panjang dan melihat ke arah Kirito.
"...Aku, aku minta maaf. Karena telah membuatmu mengalami semua masalah ini."
"Tidak apa-apa."
Kirito menjawab dengan senyuman kecil seakan dia tidak terganggu sama sekali.
"Silica-san lumayan populer ya."
"Tolong
panggil aku Silica saja... Itu bukan karena aku populer; mereka cuma
mengajakku bergabung dengan kelompoknya untuk menjadi semacam maskot,
sungguh. Tapi... Kupikir aku ini spesial... dan masuk ke hutan
sendirian... dan akhirnya..."
Air matanya mengalir alami begitu dia teringat dengan Pina.
"Tenanglah."
Ujar Kirito dengan suara kalem.
"Kita pasti akan menghidupkan Pina lagi, jadi jangan khawatir."
Silica menghapus air matanya dan tersenyum pada Kirito. Cukup aneh memang, rasanya dia mempercayai kata-kata orang ini.
Akhirnya,
mereka dapat melihat sebuah bangunan dua lantai di sebelah kanan
mereka. Itu penginapan yang sering digunakan Silica: «Weathercock
Tavern». Sekarang begitu mereka sudah sampai, Silica sadar bahwa dia
telah membawa Kirito ke sini tanpa mengatakan apa-apa.
"Ah, rumahmu dimana, Kirito onii-chan?"
"Oh,
di lantai limapuluh.... Tapi terlalu merepotkan untuk pergi ke sana
sekarang, jadi kayaknya aku akan bermalam di sini saja."
"Ah, oke!"
Silica kegirangan karena beberapa alasan lalu menepukkan kedua tangannya.
"Cheesecake disini benar-benar enak."
Dia
baru saja akan mengajak Kirito masuk ke penginapan dengan menarik
jaketnya ketika empat pemain keluar dari toko disebelah mereka berdua.
Mereka adalah anggota kelompok yang berburu bersamanya selama dua minggu
terakhir. Pemain-pemain pria yang muncul pertama tidak melihat Silica
dan langsung menuju ke plaza, tapi pemain wanita yang muncul belakangan
menoleh ke belakang dan refleks, mata mereka bertemu.
"...!"
Itu
wajah yang paling tidak ingin dilihat Silica saat ini. Pengguna tombak
yang menyebabkan pertikaian yang membuat Silica keluar dari kelompoknya.
Dia baru saja akan melangkah masuk ke penginapan dengan kepala
ditundukkan tapi...
"Oh, bukannya ini Silica?"
Panggil si pengguna tombak, menyebabkan Silica tidak punya pilihan selain berhenti melangkah.
"...Iya."
"Ho~, entah bagaimana kamu berhasil keluar dari hutan itu. Itu melegakan."
Pemain bernama Rosalia itu, dengan rambut merah tuanya yang keriting acak-acakan, berkata dengan senyum miring.
"Tapi kamu sudah telat. Kita sudah membagi-bagikan item-itemnya."
"Sudah kubilang aku ga membutuhkannya! — Aku sedang sibuk sekarang jadi selamat tinggal!"
Silica mencoba mengakhiri percakapan itu, tapi tampaknya pihak yang satu lagi tidak berniat membiarkannya pergi saja.
"Oh? Apa yang terjadi sama kadal itu?"
Silica
menggigit bibirnya. Kalian tidak bisa menaruh familiar di inventaris
atau menitipkannya ke orang lain. Dengan kata lain, hanya ada satu
alasan mengapa familiarnya tidak ada. Rosalia kemungkinan besar juga
mengetahuinya, tetapi dia melanjutkannya dengan senyuman kecil.
"Oh, apa mungkin...?"
"Mati.... Tapi!"
Silica membelalak kepada si pengguna tombak.
"Aku akan menghidupkan Pina lagi!"
Rosalia, yang tengah tersenyum dengan sangat puas, melebarkan matanya. Dia bahkan melakukan siulan pelan.
"Ho, jadi kamu mau pergi ke «Bukit Kenangan»? Tapi memangnya kamu bisa sampai ke sana dengan level segitu?"
"Bisa."
Umum Kirito sebelum Silica sempat menjawab. Dia menyembunyikan Silica di belakang jaketnya seakan untuk melindunginya.
"Dungeonnya tidak sesulit itu juga sih."
Rosalia melihat Kirito ke atas dan ke bawah dengan tatapan kasar kemudian mengejeknya:
"Kau satu lagi yang naksir dia? Kau ga kelihatan kuat."
Silica mulai gemetar dengan geram. Dia melihat ke bawah sambil mencoba menahan air matanya.
"Ayo pergi."
Kirito meletakkan sebelah tangannya di bahu Silica, kemudian Silica mulai berjalan ke arah penginapan yang mereka tuju.
"Yah, semoga beruntung."
Suara tawa Rosalia terdengar di belakangnya, tapi dia tidak menengok ke belakang.
Lantai
pertama dari «Weathercock Tavern» adalah restoran besar. Kirito
mendudukkan Silica di sebuah meja lalu berjalan ke konter depan dimana
seorang NPC sedang menunggu. Setelah dia selesai check in, dia mengklik
menu di konter kemudian kembali dengan cepat.
Segera
setelah Kirito duduk di hadapannya, Silica membuka mulutnya untuk
meminta maaf karena dia telah membuat Kirito mengalami situasi yang
begitu tidak menyenangkan. Namun Kirito menghentikannya dengan
mengangkat tangannya kemudian tersenyum.
"Ayo kita makan dulu."
Seorang
pelayan membawa dua cangkir panas tepat pada waktunya. Kedua cangkir di
depan mereka itu dipenuhi cairan merah; sebuah aroma misterius tercium
darinya.
"Untuk pembentukan kelompok kita."
Mereka menepukkan cangkir mereka masing-masing saat Kirito bersulang. Silica lalu meneguk seisap cairan panas itu.
"...Enak..."
Bau
dan rasa asam manisnya serupa dengan anggur yang dibolehkan oleh
ayahnya untuk dicoba di waktu silam. Tapi walaupun Silica sudah mencoba
setiap minuman yang ada di restoran ini selama dua minggu terakhir, dia
tidak ingat pernah mencoba yang ini.
"Erm, ini apa...?"
Kirito tersenyum sebelum dia menjawab:
"Kamu
bisa bawa minuman botol denganmu ke restoran NPC. Ini item yang kusebut
«Ruby Ichor». Kalau kamu minum ini secangkir, ketangkasanmu akan naik
satu poin."
"Ini, ini sangat berharga...!"
"Yah,
alkohol juga ga akan tambah enak kalau kusimpan di inventarisku juga
sih, dan aku ga kenal banyak orang jadi aku ga punya banyak kesempatan
untuk meminumnya..."
Kirito mengangkat bahunya dengan
konyol. Silica tertawa kemudian meneguk seisap lagi. Cita rasa yang
entah bagaimana merindukan pelan-pelan melembutkan hatinya, yang telah
mengeras dikarenakan banyaknya hal menyedihkan yang terjadi hari ini.
Setelah
selesai minum, Silica menempelkan cangkirnya ke dadanya seakan ia masih
menantikan kehangatannya. Lalu dia menurunkan tatapannya ke meja dan
berkata pelan:
"...Kenapa... mereka bicaranya sekejam itu sih..."
Ekspresi Kirito berubah serius begitu ia meletakkan cangkirnya dan kemudian membuka mulutnya.
"Apa SAO MMORPG pertamamu?"
"Iya."
"Oh
iya — Di game online manapun, ada banyak pemain yang kepribadian
berubah begitu mereka memakai karakter mereka sebagai topeng. Ada yang
menjadi baik, ada juga yang menjadi jahat… Dulu mereka menyebutnya
roleplaying, tapi kupikir di SAO itu berbeda."
Tatapan Kirito menajam.
"Padahal
kita lagi dalam situasi sulit... Yah, memang tidak mungkin untuk semua
pemain bekerjasama menyelesaikan game ini. Tapi terlalu banyak orang
yang senang melihat penderitaan orang lain, mencuri item—dan bahkan
mereka yang membunuh sesamanya."
Kirito melihat lurus ke arah Silica. Tampak ada kesedihan yang mendalam di balik kemarahannya.
"Menurutku orang yang melakukan kejahatan disini juga benar-benar sampah di dunia nyata."
Dia hampir mengatakan ini. Tapi kemudian dia sadar bahwa Silica sedikit gemetar ketakutan, jadi dia tersenyum dan meminta maaf:
"Maaf...
Aku bahkan tidak dalam posisi untuk membicarakan orang lain. Aku jarang
membantu orang lain. Bahkan aku—menyebabkan kematian rekan-rekanku..."
"Kirito onii-chan..."
Silica
menyadari kalau swordsman hitam yang duduk di hadapannya memikul bekas
luka yang mendalam di dirinya. Dia ingin menghiburnya, namun ia membenci
fakta bahwa kata-kata terlalu dangkal untuk menyampaikan apa yang ingin
dia ucapkan. Ia malah menggenggam tangan Kirito secara tidak sadar,
yang terkepal di atas meja, dengan kedua tangannya.
"Kirito onii-chan adalah orang baik. Onii-chan sudah menyelamatkan aku."
Pertama-tama,
Kirito terkejut dan mencoba menarik kembali tangannya, tapi dia segera
tenang. Sebuah senyuman lembut tampak di bibirnya.
"...Nampaknya malah aku yang dihibur. Terima kasih, Silica."
Saat
itu juga, Silica merasakan sebuah perasaan menyakitkan, seakan
jantungnya mengerut. Detak jantungnya bertambah cepat tanpa alasan.
Wajahnya terasa panas.
Dia dengan cepat menarik tangannya dan menekankannya di dadanya. Tetapi rasa sakitnya tidak berhenti.
"Kamu ngapain...?"
Begitu Kirito bersandar mencondong ke depan di atas meja, Silica menggelengkan kepalanya dan berhasil tersenyum.
"Bu, bukan apa-apa! Ah, Aku lapar!"
Setelah
mereka selesai makan roti dan stew mereka dengan beberapa cheesecake
sebagai penutup, sudah jam delapan lewat. Mereka memutuskan untuk cepat
tidur sebagai persiapan untuk pergi ke lantai empatpuluh tujuh besok.
Dua orang itu naik ke lantai dua, dimana ada kamar-kamar yang tak
terhitung banyaknya di kedua sisi koridor.
Kamar yang
disewa Kirito, secara kebetulan, berada disamping kamar Silica. Mereka
saling mengucapkan selamat malam dengan senyuman.
Sesaat
setelah memasuki kamarnya, Silica memutuskan sebelum dia berganti
pakaian, dia akan melatih beberapa combo untuk membiasakan diri dengan
pisau baru yang diberikan Kirito padanya. Dia mencoba untuk
berkonsentrasi pada senjatanya, yang sedikit lebih berat dari yang biasa
ia pakai, tapi sakit di dadanya menyulitkannya.
Setelah
dia entah bagaimana berhasil merangkai lima serangan beruntun, dia
membuka layarnya, melepas perlengkapannya, dan kemudian berbaring di
kasur dengan pakaian dalamnya. Kemudian dia mengetuk dinding untuk
mengeluarkan menu pop-up lalu mematikan lampunya.
Seluruh
tubuhnya terasa sangat letih, jadi ia pikir ia bisa tidur dengan mudah.
Namun untuk beberapa alasan, dia bahkan merasa kurang mengantuk
dibanding biasanya.
Semenjak mereka menjadi sahabat,
dia selalu tidur dengan badan Pina yang lembut di lengannya, jadi kasur
yang luas itu seperti terasa kosong. Dia berguling dan memutar badannya
bolak-balik sebentar sebelum ia menyerah untuk tidur dan kembali duduk.
Dia terus memandang ke arah sebelah kirinya—tempat berdirinya dinding
yang terhubung dengan kamar Kirito.
Ia ingin mengobrol lebih banyak lagi dengannya.
Dia
terkejut kepada dirinya begitu memikirkan ini. Orang ini adalah pemain
pria yang baru ia kenal kurang dari sehari. Dia sudah menghindari
pemain-pemain pria sampai sekarang, tapi kenapa swordsman yang ia tidak
tahu apa-apa tentangnya ini terus muncul di pikirannya?
Dia
tidak bisa menjelaskan perasaannya sendiri. Saat dia melirik jam yang
berada di bagian bawah penglihatannya, sudah jam sepuluh. Dia sudah
tidak bisa mendengar suara langkah kaki pemain-pemain lain dari
jendelanya, hanya suara anjing menggonggong di kejauhan.
'Yah, itu ga masuk akal, jadi ayo tidur saja lah.'
Pikir
Silica dalam kepalanya. Tetapi untuk beberapa alasan, dia bangkit dari
tempat tidurnya dan melangkah pelan ke lantai. Setelah mengatakan kepada
dirinya sendiri bahwa ia hanya akan mengetuk pintu lalu melambaikan
tangannya, dia membuka layar menu, memilih baju tercantik yang ia
miliki, kemudian memakainya.
Dia berjalan beberapa
langkah di koridor yang diterangi lilin itu. Lalu, setelah ragu-ragu di
depan pintu selama beberapa puluh detik, dia mengetok pintu itu dua
kali.
"Huh? Ada masalah?"
"Yaa---"
Silica
baru sadar kalau dia belum menyiapkan alasan yang tepat untuk datang
lalu kebingungan. 'Aku hanya ingin mengobrol' terdengar terlalu
kekanak-kanakan.
"Yah, itu err—ah, aku ingin tahu lebih banyak tentang lantai empatpuluh tujuh!"
Untungnya, Kirito tidak mencurigai apa-apa dan langsung mengangguk.
"Oke kalau begitu. Apa kita perlu ke bawah?"
"Enggak usah, yaa—kalau boleh, di kamar onii-chan..."
Ia menjawab tanpa berpikir lalu dengan cepat menambahkan:
"Ka-karena, kita tidak bisa membiarkan orang lain mendengar informasi yang berharga!"
"Erm... yaa... iya sih, kamu benar. Tapi..."
Kirito menggaruk kepalanya dengan sedikit ekspresi tidak nyaman, kemudian...
"Yah, kurasa tidak apa-apa."
Gumamnya, lalu dia membuka pintunya dengan sopan lalu mundur selangkah.
Tentu
saja, kamarnya Kirito sama dengan kamarnya sendiri: sebuah kasur di
sebelah kiri, ditambah sebuah meja dan kursi sedikit lebih jauh lagi.
Itulah semua perabotan yang ada disitu.
Kirito
menawarkan kursinya sebelum ia duduk di kasur dan membuka sebuah layar.
Dia memanipulasinya dengan cepat dan mengeluarkan sebuah kotak kecil.
Kotak
yang telah diletakkan di meja itu memiliki sebuah bola kristal kecil di
dalamnya. Bola kristal itu bersinar di bawah cahaya lentera.
"Indahnya... ini apa?"
"Ini item bernama «Mirage Sphere»."
Saat Kirito mengklik bola kristal tersebut, muncul sebuah layar menu. Dia dengan cepat memanipulasinya dan memencet tombol OK.
Segera
setelahnya, bola kristal itu mulai memancarkan sebuah cahaya biru muda,
lalu muncullah sebuah hologram besar berbentuk bola. Gambarnya tampak
seperti keseluruhan sebuah lantai di Aincrad. Kristal itu menampilkan
desa-desa dan setiap pohon dengan sangat detil, dan sama sekali berbeda
dengan peta sederhana yang bisa ditemukan di menu sistem.
"Uwaa...!"
Silica
terpaku memandang peta setengah transparan itu. Rasanya kristal itu
dapat menunjukkan orang-orang berjalan kesana kemari jika ia terus
menatapnya.
"Ini area tempat tinggalnya, dan ini Bukit
Kenangan. Kamu harus melewati jalan ini... dan ada sejumlah monster
kuat di sekitar sini..."
Kirito menunjuk ke sini dan
ke sana seraya menjelaskan geografi lantai empatpuluh tujuh tanpa
berhenti. Silica merasa hangat hanya dengan mendengarkan suara yang
kalem itu.
"Dan setelah kamu melewati jembatan ini kamu bisa melihat bu..."
Tiba-tiba Kirito berhenti bicara.
"...?"
"Shh..."
Saat
dia mengangkat kepalanya, dia melihat expresi Kirito dan dia sedang
menaruh sebuah jari di bibirnya. Dia membelalak ke arah pintu dengan
tatapan tajam.
Kirito langsung beraksi. Dia melompat dari kasur dengan kecepatan cahaya dan membuka pintunya.
"Siapa disitu...!?"
Silica
dapat mendengar suara langkah orang lari. Dia berlari menyusul dan
melihat keluar dari bawah badan Kirito, dimana dia melihat bayangan
seseorang sedang berlari menuruni tangga.
"I-itu tadi apa!!?"
"...Kupikir dia tadi menguping."
"Apa...? Tapi kita ga bisa mendengar apa-apa dari balik tembok kan?"
"Bisa kalau level mengupingnya cukup tinggi. Walaupun... tidak banyak... orang yang melatih skill ini..."
Kirito
menutup pintunya dan berjalan kembali ke kamarnya. Dia duduk di kasur
dengan ekspresi merenung di wajahnya. Silica duduk di sebelahnya and
membelitkan kedua tangannya ke sekeliling badannya. Dia diliputi oleh
rasa takut yang tidak bisa ia jelaskan.
"Kenapa orang itu menguping...?"
"Kita akan tahu sebentar lagi, mungkin. Aku punya pesan untuk dikirim, bisa kamu menunggu sebentar?"
Kirito
tersenyum kecil sebelum dia menutup map kristal itu dan membuka sebuah
layar. Dia mulai menggerakkan jari-jarinya di atas sebuah keyboard
holografik.
Silica menggelut di kasur Kirito. Sebuah
kenangan lama dari dunia nyata kembali padanya. Ayahnya adalah seorang
reporter. Dia selalu berada di depan sebuah PC lama, mengetikkan sesuatu
dengan ekspresi serius. Silica suka memperhatikan punggung ayahnya saat
dia melakukan itu.
Silica tidak merasa takut lagi.
Saat dia mengamati wajah Kirito dari belakang, rasanya seakan dia
diliputi kehangatan yang telah dilupakannya begitu lama. Sebelum ia
mengetahuinya, matanya sudah terpejam dengan sendirinya.
Silica
terbangun mendengar bunyi bising yang berdering di telinganya. Itu
adalah alarm pagi yang hanya bisa didengar olehnya. Waktu yang diaturnya
adalah jam tujuh pagi.
Dia membuka selimutnya lalu
duduk. Biasanya ia sulit untuk bangun pagi-pagi, namun hari ini dia bisa
membuka matanya dengan perasaan baik. Kepalanya terasa segar, seakan
semuanya telah tercuci bersih oleh tidurnya yang lelap.
Setelah meregangkan badannya, Silica baru saja akan turun dari tempat tidur ketika ia membeku.
Ada
seseorang yang sedang tidur terlentang; cahaya matahari pagi yang
melalui jendela menyinarinya. Persis saat Silica menarik nafas untuk
berteriak, disangkanya orang itu seorang penyusup, dia ingat dimana ia
jatuh tertidur tadi malam.
Aku, di kamar Kirito onii-chan...
Segera
setelah dia menyadari fakta tersebut, wajahnya memanas seperti telah
terkena serangan nafas api. Karena di SAO emosi ditampilkan agak
berlebihan, mungkin uap memang benar-benar keluar dari wajahnya saat
ini. Tampaknya Kirito membiarkan Silica tidur di kasur sedangkan ia
tidur di lantai. Silica mengerang sambil menutupi mukanya karena rasa
malu dan sesal.
Setelah berhasil menenangkan dirinya
selama beberapa lusin detik, Silica diam-diam turun dari tempat tidur
dan berdiri. Kemudian dia berjalan ke arah Kirito dengan langkah kaki
tak bersuara lalu menatap wajahnya.
Wajah tidur sang
swordsman hitam itu terlihat begitu tidak berdosa hingga Silica tidak
bisa menahan dirinya untuk tidak tersenyum. Silica kira dia beberapa
tahun lebih tua darinya karena tatapannya yang tajam. Namun yang
mengejutkan, ketika Silica melihatnya seperti sekarang ini, dia tidak
tampak seberbeda itu dengannya.
Menyenangkan bagi
Silica untuk mengamati wajah tidurnya; tapi ia tidak bisa begini terus,
jadi dia dengan lembut menggoyangkan bahunya lalu berkata padanya.
"Kirito onii-chan, sudah pagi~."
Kirito
membuka matanya lebar-lebar lalu berkedip beberapa kali begitu dia
menatap wajah Silica dengan tatapan kosong selama beberapa saat.
Kemudian ekspresinya berubah menjadi malu dengan cepat.
"Ah... Ma-maaf!"
Dia tiba-tiba menundukkan kepalanya.
"Aku
ingin membangunkan onii-chan tapi onii-chan tidurnya nyenyak banget...
dan aku ga bisa membuka pintu ke kamar onii-chan, jadi..."
Kamar
yang disewa pemain diatur oleh sistem agar tidak bisa ditembus, jadi
tidak mungkin kalian bisa masuk ke dalamnya kecuali kalian adalah teman
pemain tersebut. Silica dengan cepat mengibaskan tangannya dan bilang:
"Enggak, enggak, aku yang harusnya minta maaf! Sudah mengambil tempat tidurnya onii-chan... "
"Enggak, gapapa kok. Kita ga akan nyeri otot bagaimanapun kita tidur disini."
Setelah
berdiri, Kirito merenggangkan lehernya, yang membuat bunyi retak-retak,
kontradiksi dengan kata-kata yang baru ia ucapkan. Dia kemudian
mengangkat tangannya dan merenggangkannya. Dia memandang Silica seakan
dia baru saja terpikir sesuatu sebelum membuka mulutnya:
"...Omong-omong, selamat pagi."
"Se-selamat pagi."
Keduanya melihat satu sama lain dan tersenyum.
Hari
sudah terang ketika mereka melangkah keluar setelah menyantap makanan
sebagai persiapan menjelajahi «Bukit Kenangan» di lantai empatpuluh
tujuh. Pemain-pemain yang bersiap memulai harinya dan para pemain yang
baru kembali dari petualangan malam mereka mempunyai ekspresi yang
kontras.
Setelah mengisi persediaan ramuan mereka di
sebuah toko di sebelah penginapan mereka, keduanya berjalan menuju
gerbang plaza. Untungnya, mereka berhasil mencapai gerbang teleport
tanpa harus bertemu dengan orang-orang yang ingin merekrut Silica ke
dalam kelompoknya seperti kemarin. Persis sebelum dia akan mulai berlari
ke area teleport yang berwarna biru berkilauan, Silica berhenti.
"Ah... aku ga tahu nama desa di lantai empatpuluh tujuh..."
Dia baru akan memeriksa petanya ketika Kirito menawarkan tangan kanannya.
"Tidak apa-apa. Aku akan mengatur tempatnya."
Silica merasa berterima kasih seraya dia menggenggam tangan Kirito.
"Teleport! Floria!"
Segera setelah Kirito berkata, sebuah cahaya membutakan meliputi mereka berdua.
Setelah
cahaya tersebut pudar, diikuti terasanya sebuah perasaan transportasi,
warna-warna yang tak terhitung banyaknya meledak di pengelihatan Silica.
"Uwa..."
Tanpa sadar dia bersorak.
Gerbang
plaza lantai empatpuluh tujuh dibanjiri oleh bunga-bunga. Dua jalan
kecil memotong plaza itu dengan bentuk palang. Disamping itu, sisa
tempat yang ada seluruhnya ditempati oleh petak-petak bunga, setiap
petak bunga tersebut dikelilingi oleh bata-bata merah dan dipenuhi
dengan bunga yang tidak diketahui Silica.
"Indahnya..."
"Lantai
ini juga disebut «Taman Bunga», karena bukan hanya desanya tapi juga
seluruh lantainya dilimpahi bunga-bunga. Kalau kita punya waktu, kita
juga bisa pergi ke «Hutan Bunga Raksasa» di utara..."
"Aku ingin bisa datang ke sana lain waktu."
Silica
tersenyum pada Kirito sebelum dia membungkuk di depan sebuah petak
bunga. Dia mendekatkan wajahnya ke sebuah bunga kebiru-biruan yang
serupa dengan cornflower lalu menghirup aromanya.
Bunga
tersebut dibuat dengan detil yang mengejutkan: mulai dari vena-vena
bunganya, kelima kelopaknya, benang sarinya yang putih, sampai
tangkainya yang hijau.
Tentu saja tidak semua benda di
Aincrad, termasuk taman bunga ini, dan seluruh tanaman serta bangunan
lain, digambarkan sedetil tadi setiap saat. Kalau mereka membuatnya
seperti itu, maka mainframe SAO sekalipun, setinggi apapun performanya,
akan kekurangan sumber daya untuk sistemnya.
Untuk
menghindari hal tersebut sembari tetap memberikan para pemain lingkungan
yang sedetil dan semirip mungkin dengan kenyataan, SAO menggunakan
«Sistem Pemfokusan Digital». Sistem itu merupakan sistem yang
menampilkan detil yang lebih halus dari sebuah objek hanya saat seorang
pemain menunjukkan ketertarikannya dan fokus dengan objek itu.
Setelah
Silica mendengar tentang sistem ini, dia menjadi takut kalau
ketertarikannya pada suatu benda akan membebani sistem SAO; tetapi dia
tidak bisa menahan dirinya sendiri saat ini dan tetap memandangi bunga
yang bermacam-macam itu.
Ketika dia akhirnya berhasil
menghentikan dirinya berjalan tanpa sadar sambil menikmati aroma harum
di sekitarnya, Silica memandang sekelilingnya.
Kebanyakan
orang yang berada disini adalah pasangan pria dan wanita. Semuanya
saling bercakap-cakap dengan senang, entah sambil berpegangan tangan
atau sambil bergandengan lengan. Sepertinya tempat ini sudah menjadi
tempat-tempat semacam itu. Silica memandang Kirito, yang sedang melamun
disampingnya.
...Apa kita juga kelihatan seperti itu...?
Setelah memikirkan hal ini, Silica berkata dengan keras untuk menutupi fakta kalau mukanya memerah:
"Ayo-ayo kita cepat pergi ke luar!"
"Hah? Ah, iya."
Kirito terpaku berkedap-kedip untuk beberapa detik sebelum dia mengangguk dan mulai berjalan disamping Silica.
Mereka
meninggalkan gerbang plaza hanya untuk menemukan bahwa jalan utama desa
tersebut pun diselimuti oleh bunga-bunga. Seraya mereka berdua berjalan
beriringan, Silica ingat saat dia pertama kali bertemu Kirito. Dia tak
percaya baru satu hari terlewati sejak saat itu. Swordsman itu sudah
menjadi sosok yang penting di hatinya.
Silica melirik
ke arahnya dan bertanya-tanya bagaimana perasaannya, namun Kirito masih
diliputi perasaan misterius dan sulit untuk menebak apa yang ada di
pikirannya. Silica ragu-ragu untuk beberapa saat sebelum dia
mempersiapkan diri dan membuka mulutnya:
"Ermm... Kirito onii-chan. Boleh aku bertanya tentang adik perempuanmu..."
"Ke-kenapa tiba-tiba?"
"Kirito onii-chan bilang aku mengingatkanmu pada dia. Jadi, aku penasaran saja..."
Membicarakan
dunia nyata adalah salah satu hal yang paling tabu di Aincrad. Ada
banyak alasan, tapi yang terbesar adalah jika gagasan bahwa 'dunia ini
virtual dan karenanya adalah dunia palsu' mengakar di dalam pikiran para
pemain, maka mereka tidak akan bisa terima kalau «kematian» di SAO
sebagai kenyataan.
Tapi Silica ingin bertanya tentang
adik perempuan Kirito, yang kata Kirito mirip dengannya. Dia ingin tahu
apakah Kirito menginginkan sesuatu darinya sebagai seorang adik
perempuan.
"...Kita...ga sedekat itu kok..."
Kirito mulai bicara.
"Aku
pernah bilang dia itu adik perempuanku, tapi sebenarnya dia itu
sepupuku. Karena suatu keadaan, dia tumbuh besar bersama dengan
keluargaku sejak lahir. Dia ga tahu ini sih. Yah, mungkin karena ini...
tapi aku terus menjaga jarak darinya tanpa maksud yang jelas. Aku bahkan
menghindari untuk bertemu dengannya di rumah."
Kirito mendesah kecil.
"...Ditambah
lagi, kita punya kakek yang keras. Dia memaksaku ikut dojo kendo waktu
aku berumur delapan tahun, tapi aku tidak bisa benar-benar berminat
melakukannya lalu berhenti setelah dua tahun. Kakekku memukulku lumayan
keras... tapi saat dia melakukan itu, adikku mulai menangis dan
melindungiku dengan bilang kalau dia bahkan akan melakukan bagianku
supaya kakekku berhenti. Setelah itu, aku mulai main komputer dan
tenggelam di dalamnya, tapi adikku benar-benar mengabdikan dirinya buat
kendo dan bahkan berhasil sampai cukup jauh di kejuaraan nasional
sebelum kakekku meninggal. Itu sudah cukup untuk menyenangkan bahkan dia
sekalipun... Tapi aku selalu merasa bersalah; aku selalu ingin tahu
kalau adikku benar-benar ingin melakukannya dan apa dia benci padaku.
Karena itulah aku terus menghindarinya... dan akhirnya kita jadi seperti
ini."
Kirito berhenti bicara dan melirik wajah Silica.
"Jadi mungkin aku menyelamatkanmu untuk memuaskan diriku sendiri, untuk menebus masa laluku... Maaf."
Silica
masih anak-anak jadi dia tidak bisa mengerti benar semua perkataan
Kirito. Namun karena beberapa alasan, dia merasa seakan dia dapat
mengerti adik perempuan Kirito itu.
"...Adiknya
Onii-chan... dia ga benci Onii-chan. Kalau dia tidak menyukainya, maka
dia ga mungkin bisa sebaik itu. Kemungkinan besar dia sangat suka
kendo."
Selagi Silica berucap, memilih kata-katanya dengan hati-hati, Kirito tersenyum.
"Kayaknya aku terus yang dihibur... Apa benar seperti itu? ...Baguslah kalau benar seperti itu."
Silica merasa sesuatu yang hangat menjalar di hatinya. Dia senang Kirito telah terbuka padanya.
Keduanya
segera tiba di gerbang masuk utara desa itu. Bunga putih yang tak
terhitung tumbuh dari tumbuhan merambat yang melilit busur logam
langsing berwarna perak. Jalan utama desa melewatinya dan terus
merentang hingga menjadi jalan besar yang dikelilingi bukit-bukit hijau
sebelum menghilang dalam kabut.
"Yah... petualangan kita akhirnya dimulai."
"Iya."
Silica menjauh dari lengan Kirito, memantapkan ekspresinya, lalu mengangguk.
"Dengan level dan equipment kamu, monster-monster di sekitar sini harusnya tidak terlalu susah untuk dikalahkan. Tapi…”
Seraya
berkata, Kirito mengobrak-abrik kantong yang bergantung di ikat
pinggangnya, mengeluarkan sebuah kristal berwarna biru langit, dan
kemudian meletakkannya di tangan Silica. Benda itu adalah Kristal
Teleport.
"Kita ga tahu apa yang akan terjadi di
lapangan nanti. Jadi camkan ini dalam pikiranmu. Kalau terjadi sesuatu
yang diluar perkiraan dan aku menyuruhmu untuk kabur, maka gunakan
kristal itu untuk pergi. Desa manapun ga masalah. Kamu ga usah
mengkhawatirkanku."
"Ta-tapi..."
"Janjilah padaku. Aku... pernah menghancurkan satu kelompok. Aku ga mau mengulangi kesalahan yang sama lagi."
Ekspresi
Kirito begitu serius hingga Silica tak bisa berbuat apa-apa lagi selain
mengangguk. Setelah Kirito menerima jawabannya dia tersenyum lega.
"Kalau begitu, ayo berangkat!"
"Oke!"
Silica
memastikan pisaunya sudah melengkapi sisinya lalu memantapkan keyakinan
dalam pikirannya; setidaknya dia tidak akan kebingungan seperti kemarin
dan dia akan bertarung sebaik-baiknya.
Tetapi---
"Kya-aaaaaa!? Itu apa--!? Itu, itu kelihatan mengerikan-----!!"
Mereka
bertemu monster pertama hanya dalam beberapa menit setelah mereka mulai
berjalan ke arah utara di medan perburuan lantai empatpuluh tujuh.
"U-uwaa!! Pergi sana----!"
Makhluk
yang muncul dan berjalan menembus semak-semak memiliki bentuk yang tak
pernah terbayangkan oleh Silica. «Sebuah bunga berjalan» mungkin
deskripsi yang paling tepat untuk menggambarkannya. Dengan batang hijau
tua yang setebal lengan manusia dan berdiri dengan akar-akarnya yang
terbagi di beberapa tempat. Batang atau badannya menopang sebuah bunga
kuning besar yang serupa dengan bunga matahari. Mulutnya terbuka,
gigi-giginya menyembur keluar, mengungkapkan kilasan-kilasan merah dari
dalamnya.
Tanaman itu memiliki dua cabang yang
menjalar dari bagian tengah batangnya, yang mengingatkan orang pada
lengan yang dimiliki binatang. Tampaknya, tanaman itu menggunakan
lengan-lengan tersebut beserta mulutnya untuk menyerang. Tanaman pemakan
orang itu berlari menuju Silica dengan tersenyum sambil mengayunkan
lengan-lengannya yang mirip tentakel. Makhluk yang terlihat seperti
karikatur yang sangat aneh ini membuat Silica merasa jijik.
"Kubilang pergi...!"
Silica
mengayunkan pisaunya dengan liar dengan matanya hampir tertutup.
Kirito, yang berdiri di sebelahnya, berkata dengan suara bingung:
"Te-tenang
saja. Monster itu sangat lemah. Kalau kamu mengincar bagian putih tepat
di bawah bunganya, maka kamu dengan mudah bisa..."
"Ta-tapi itu kelihatan mengerikan..!"
"Kalau
makhluk itu saja terlihat mengerikan maka perjalanan ini akan susah.
Ada juga monster yang punya banyak bunga, ada yang terlihat seperti
tumbuhan karnivora, dan bahkan ada yang punya banyak tentakel lengket...
"Kya----!!"
Sambil berteriak saat
Kirito berbicara, Silica mengaktifkan sebuah skill pedang; tentu saja,
skill itu hanya memotong udara kosong. Selama jeda yang singkat
setelahnya, dua tentakel membelit kedua kaki Silica lalu mengangkatnya
dengan kekuatan yang mengejutkan.
"Uwah!?"
Silica
mendapati dirinya tergantung terbalik beserta penglihatannya sementara
roknya, setia dengan gravitasi virtual, merosot ke bawah.
"Uaaa!?"
Dia
dengan cepat menahan ujung roknya dan mencoba memotong cabang yang
menjalar itu. Namun karena posisinya yang memalukan, upayanya itu tidak
begitu berhasil. Silica berteriak dengan wajah merah:
"Ki-Kirito onii-chan, tolong! Jangan lihat saja dan tolong aku!!"
"I-Itu sedikit sulit."
Dengan
tangan kirinya menutupi kedua matanya, Kirito menjawab dengan ekspresi
tidak nyaman sementara bunga raksasa itu terus mengayunkan Silica kesana
kemari.
"Berhenti!"
Silica tidak
punya pilihan selain melepaskan roknya, menggenggam cabang menjalar itu,
dan memotongnya. Bagian belakang leher bunga tersebut masuk ke dalam
jangkauannya begitu dia jatuh lalu dia menggunakan sebuah skill pedang.
Kali ini skill itu mengenai sasarannya, dan seraya kepalanya jatuh,
seluruh badannya meledak lalu lenyap. Silica, yang mendarat dengan halus
diantara hujan debris
[23] poligon, langsung bertanya pada Kirito segera setelah dia berbalik.
"...Tadi lihat ya?"
Swordsman hitam itu memandang Silica melalui celah-celah diantara jari-jarinya dan menjawab:
"...Enggak, aku ga lihat."
Mereka
membutuhkan lima pertarungan lagi sampai terbiasa dengan
monster-monster disini sebelum mempercepat ritme mereka; walau Silica
hampir pingsan saat sebuah monster yang mirip anemon laut mencengkramnya
dengan tentakel yang lengket.
Kirito tidak
berpartisipasi banyak dalam pertarungan dan kebanyakan dia hanya
membantu Silica, sekali-sekali menahan serangan saat Silica dalam
bahaya. Experience kelompok terbagi sesuai dengan jumlah damage yang
diberikan setiap anggota kelompok ke monster. Karena Silica mengalahkan
monster-monster berlevel tinggi, dia memperoleh poin experience beberapa
kali lebih cepat dari biasanya dan dia pun lekas naik level.
Selagi
mereka terus mengikuti jalan batu bata merah yang tak berujung, muncul
sebuah jembatan yang melewati sungai kecil. Setelahnya terlihat sebuah
bukit besar, dan jalan tersebut tampak menuju ke puncaknya.
"Itulah «Bukit Kenangan»."
"Sepertinya tidak ada persimpangan jalan."
"Iya.
Kita cuma harus terus naik, jadi ga perlu khawatir akan tersesat. Tapi
katanya ada banyak monster. Kita berhati-hati saja."
"Oke!"
Sebentar, sebentar lagi dia bisa menghidupkan Pina. Begitu Silica memikirkan ini, langkah kakinya refleks makin cepat.
Saat
mereka mulai berjalan melalui jalan menanjak yang penuh dengan
bunga-bunga yang sedang mekar, mereka dihadang lagi oleh monster-monster
seperti yang telah diprediksi. Monster-monster berjenis tumbuhan itu
juga jauh lebih besar, tetapi pisau hitam Silica ternyata jauh lebih
kuat dari yang ia kira, membuatnya bisa mengalahkan kebanyakan dari
mereka hanya dengan sebuah combo.
Tapi kemampuan Kirito bahkan lebih mengejutkan lagi.
Silica
telah menduga kalau dia adalah swordsman yang levelnya lumayan tinggi
setelah menyaksikannya mengalahkan dua Kera Mabuk dengan sebuah ayunan
pedang. Namun setelah naik dua belas lantai sekalipun, dia masih tidak
kehilangan ketenangannya sedikitpun. Ketika sejumlah besar monster
muncul, dia menolong Silica dengan mengalahkan mereka semua kecuali
satu.
Seraya mereka melanjutkan perjalanan, Silica
tidak dapat berhenti bertanya-tanya apa yang dilakukan pemain berlevel
setinggi itu di lantai tigapuluh lima.
Berdasarkan
perkataannya, sepertinya ia punya sesuatu yang harus ia lakukan di
«Hutan Pengembaraan». Namun Silica tidak pernah mendengar kalau ada
monster atau item langka disitu.
Akan kutanya dia
setelah petualangan ini selesai--- pikir Silica selagi dia mengayunkan
pisaunya; selagi dia melakukan ini pun, jalan yang sempit itu
perlahan-lahan makin curam. Merekapun terus menembus hutan yang lebat
itu sambil mengalahkan monster-monster yang makin lama semakin
agresif---
Mereka telah sampai di puncak bukit.
"Uwa--!"
Silica menahan diri sambil dia berlari beberapa langkah ke depan dan berseru.
Taman
langit--- tempat ini memang benar-benar sesuai dengan namanya. Ruang
terbuka yang dikelilingi hutan lebat itu penuh dengan bunga-bunga yang
saling berdesakan satu sama lain selagi mereka mekar.
"Akhirnya kita sampai."
Ujar Kirito seraya dia berjalan ke arah Silica dan menyarungkan pedangnya.
"Bunganya... disini...?"
"Iya. Ada batu di tengah-tengah dan diatasnya..."
Silica
sudah berlari bahkan sebelum Kirito selesai bicara. Dia memang bisa
melihat sebuah batu putih yang bersinar di tengah-tengah petak-petak
bunga itu. Dia berlari kesana, mengambil nafas pendek, dan kemudian
dengan hati-hati memeriksa bagian atas batu yang setinggi dadanya itu.
"Huh......?"
Tetapi
tidak ada apa-apa disana. Hanya ada sedikit rumput di tengah-tengah
lekukan batu tersebut; tidak ada sesuatu apapun yang dapat disebut
sebagai bunga.
"Bunganya... Bunganya ga ada, Kirito onii-chan!"
Dia berteriak pada Kirito, yang telah berlari ke sisinya. Air mata mulai bermunculan di matanya.
"Ga mungkin... ---Ah, lihat."
Silica mengikuti tatapan Kirito dan memandang lagi batu tersebut. Kemudian---
"Ah..."
Sebuah
tunas kecil tumbuh di tengah-tengah rumput yang lembut itu. Begitu
Silica melihatnya, sistem fokus menjadi aktif dan tanaman muda itu pun
terlihat lebih detil. Dua daun putih terbuka bagai sebuah kerang dan
sebuah batang tumbuh darinya dengan cepat.
Batang itu
meninggi dalam sekejap, persis seperti yang ia lihat saat pelajaran
sains bertahun-tahun lalu, kemudian sebuah kuncup kecil muncul di
ujungnya. Kuncup kecil berbentuk tetesan hujan itu memancarkan cahaya
berwarna putih mutiara.
Selagi Kirito dan Silica
mengamatinya sambil menahan nafas, ujung kuncup tersebut mulai terbuka;
kemudian--- dengan bunyi mirip gemerincing lonceng, kuncup itupun
terbuka. Sebuah bintik cahaya menari-nari di udara.
Keduanya
terpaku mengamati tumbuhnya sebuah bunga putih tanpa bergerak
sedikitpun. Tujuh kelopak bunga menggapai keluar seperti sinar bintang,
dan dari tengah-tengahnya terpancar kilauan cahaya, bercampur dengan
cahaya langit.
Silica memandang Kirito, ia merasa kalau seharusnya ia tidak menyentuh bunga ini. Kirito tersenyum lembut lalu mengangguk.
Silica
membalas dengan anggukan dan kemudian menyentuh bunga itu dengan tangan
kanannya. Saat ia menyentuhnya, batang yang setipis benang sutra itu
hancur seakan seperti terbuat dari es, dan hanya tinggal bunganya yang
tertinggal di tangan Silica. Dia kemudian menyentuh bunga itu dengan
halus seraya bernafas lembut. Layar namanya muncul tanpa suara. «Bunga
Pneuma»---
"Sekarang... kita bisa menghidupkan Pina lagi..."
"Ya.
Kamu cuma harus meneteskan tetesan air dalam bunga itu ke hati Pina.
Tapi ada banyak monster yang kuat disini, jadi lebih baik melakukannya
setelah kita kembali ke desa. Lebih baik kita sabar sedikit dan lekas
pulang sekarang.
"Oke!"
Silica
mengangguk lalu membuka layar utamanya sebelum menaruh bunganya disana.
Dia memastikan bunga itu berada di inventaris item sebelum menutup layar
tersebut.
Sesungguhnya, dia ingin menggunakan sebuah
kristal teleport untuk langsung kembali ke desa, namun Silica menahan
dirinya dan mulai berjalan. Sudah menjadi aturan tidak tertulis untuk
tidak pernah menggunakan kristal yang mahal itu kecuali keadaannya
benar-benar berbahaya.
Untungnya, mereka tidak
berjumpa dengan banyak monster saat perjalanan pulang. Tidak lama
kemudian mereka sampai di tepi sungai setelah turun dengan tempo yang
cepat.
Sekarang aku bisa bertemu Pina paling lama sejam lagi---
Silica memeluk dadanya, yang terasa seperti mau meledak, dan persis sebelum menyebrangi jembatan---
Tiba-tiba
Kirito memegang bahunya. Dia menoleh ke belakang, jantungnya berdetak
kencang, dan melihat Kirito membelalak ke arah kumpulan pepohonan yang
tebal di seberang jembatan dengan ekspresi yang menakutkan. Kemudian dia
membuka mulutnya lalu berkata dengan suara yang rendah dan menegangkan:
"...Kalian yang bersembunyi untuk menyergap kami, keluar sekarang juga."
"Apa...!?"
Silica
segera melihat tepi lain sungai tersebut, namun disana tidak ada
siapa-siapa. Setelah beberapa detik yang menegangkan, dedaunan mulai
bergerak dengan suara gemerisik. Muncul sebuah kursor yang mewakili
pemain. Warnanya hijau, jadi dia bukan kriminal.
Anehnya --- orang yang muncul di seberang jembatan pendek itu adalah seseorang yang dikenal Silica.
Rambut
merah api, dengan bibir berwarna sama; petarung bertombak itu memegang
sebuah tombak berbentuk palang yang ramping dan memakai armor berwarna
hitam yang bersinar seperti lapisan email.
"Ro-Rosalia-san...!? Kenapa kamu ada di tempat seperti..."
Rosalia tersenyum miring dan mengabaikan pertanyaan Silica yang matanya terbuka lebar dengan dipenuhi rasa terkejut.
"Ga
nyangka ternyata kau bisa tahu persembunyianku; sepertinya skill scanmu
lumayan tinggi, swordsman. Apa aku sedikit meremehkanmu?"
Lalu dia berpaling ke arah Silica:
"Sepertinya kamu dengan beruntung berhasil dapetin «Bunga Pneuma». Selamat, Silica."
Silica,
yang tidak dapat memahami tujuan Rosalia yang sebenarnya, mundur
beberapa langkah ke belakang. Dia merasakan perasaan buruk yang tidak
dapat dijelaskan tentang ini.
Rosalia tidak mengkhianati ekspektasinya dan mulai berbicara sedetik kemudian:
"Serahkan bunga itu sekarang juga."
Silica tidak tahu harus berkata apa.
"...!? Apa... kamu bilang apa...?"
Kemudian, Kirito, yang dari tadi diam saja, melangkah maju dan membuka mulutnya:
"Aku ga bisa membiarkanmu melakukan itu, Rosalia-san. Enggak... harusnya aku memanggilmu pemimpin guild oranye «Titan's Hand»."
Alis Rosalia mengerut naik dan senyum menghilang dari wajahnya.
Dalam
SAO, pemain-pemain yang melakukan tindakan yang dianggap kriminal,
seperti mencuri, menyakiti pemain lain, atau membunuh mereka, warna
kursornya berubah dari hijau menjadi oranye. Karenanya, orang-orang
menyebut para kriminal individu sebagai pemain oranye dan guild yang
terdiri dari mereka sebagai guild oranye. Silica tahu tentang ini,
tetapi dia belum pernah bertemu mereka sebelumnya.
Tetapi
kursor HP Rosalia, yang bisa dia lihat tepat di depan matanya, berwarna
hijau bagaimanapun cara dia melihatnya. Silica menengadah ke wajah
Kirito, yang berdiri disampingnya, dan bertanya dengan suara kering:
"Hei... tapi... lihatlah... barnya Rosalia-san, warnanya hijau..."
"Di
guild oranye sekalipun, seringkali tidak semua anggotanya oranye.
Anggota-anggota yang hijau mencari mangsa dan bersembunyi diantara
kelompok mereka sebelum memancing mereka ke tempat penyergapan. Orang
yang semalam menguping pembicaraan kita pasti anggota kelompoknya juga."
"A-apa..."
Silica memandang Rosalia dengan rasa terkejut dan benci.
"Ka---kalau gitu, alasan dia bergabung dengan kelompokku selama dua minggu terakhir adalah..."
Rosalia sekali lagi tersenyum berbisa dan berkata:
"Iya~
Aku mengecek sekuat apa kelompok itu, dan disaat bersamaan menunggu
mereka gemuk dengan uang yang mereka dapat dari berpetualang.
Sebenarnya, aku akan mengurus mereka hari ini."
Dia menjilat lidahnya sambil tetap menatap Silica.
"Aku
sedang keheranan kenapa orang yang paling ingin kuburu tiba-tiba pergi,
terus aku dengar kamu ingin dapetin item langka. «Bunga Pneuma»
sekarang ini lumayan mahal. Ngumpulin informasi itu ternyata memang
penting~"
Kemudian dia berhenti bicara sesaat, memandang Kirito, lalu mengangkat bahunya.
"Tapi swordsman, kau bermain dengan bocah ini walaupun kau tahu itu? Kau ini bodoh ya? Atau kau benar-benar naksir dia?"
Muka
Silica memerah dengan amarah mendengar penghinaan Rosalia. Tangannya
bergerak untuk mengambil pisaunya. Namun Kirito memegang pundaknya.
"Enggak, bukan hal semacam itu."
Ujar Kirito, suaranya dingin.
"Aku juga sedang mencarimu, Rosalia-san."
"...Apa maksudmu?"
"Kau
yang menyerang guild «Silver Flag» sepuluh hari lalu di lantai
tigapuluh delapan, kan? Dimana empat aggotanya tewas dan cuma ketuanya
yang selamat."
"Ah~, para gelandangan itu?"
Rosalia bahkan tidak bergeming saat dia mengangguk.
"Ketuanya
itu... dia mencari seseorang untuk membalaskan dendam timnya di gerbang
plaza di garis depan, menangis dari pagi hingga malam."
Rasa
dingin yang menakutkan terasa dari ucapan Kirito. Rasanya seperti
pedang es yang telah diasah untuk memotong apapun yang mendekat.
"Tapi
waktu aku menerima permohonannya, dia tidak memintaku untuk membunuhmu.
Ia hanya minta kepadaku untuk menjebloskan kalian semua ke penjara di
Kastil Besi Hitam --- bisakah kau mengerti perasaannya?"
"Tidak sama sekali."
Rosalia menjawab seperti dia tidak peduli sama sekali.
"Apa?
Kenapa kau serius banget? Kau bodoh ya? Bagaimanapun ga ada bukti kalau
orang itu mati di kehidupan nyata kalau kau bunuh mereka disini.
Lagipula, ini ga akan jadi perbuatan kriminal saat kita kembali ke dunia
nyata. Kita bahkan ga tahu apa kita bisa kembali, tapi disini kau
ngomongin keadilan dan aturan; itu bahkan ga lucu. Aku paling benci
orang sepertimu --- orang yang bawa-bawa logika aneh saat mereka datang
ke dunia ini."
Mata Rosalia makin dipenuhi rasa marah.
"Jadi,
kau ingin mengatakan padaku kalau kau menganggap serius ucapan
seseorang yang bahkan ga bisa mati dengan benar dan mencari kami? Kau
benar-benar ga punya kerjaan ya. Yah, kuakui aku termakan umpanmu.
Tapi... apa kau benar-benar berpikir kalau kau bisa berbuat sesuatu
hanya dengan dua orang...?"
Sebuah senyum kejam muncul di mukanya lalu Rosalia melambaikan tangannya dua kali di udara.
Pada
saat itu juga, pepohonan di sisi lain tepi sungai itu bergoncang kasar,
dan sekelompok orang muncul dari baliknya. Kursor-kursor memasuki
penglihatan Silica satu demi satu. Kebanyakan oranye. Jumlahnya mereka
mencapai sepuluh orang. Kalau saja mereka menyebrangi jembatan itu tanpa
sadar bahwa mereka akan disergap, maka mereka sudah terkepung sekarang.
Ada seorang hijau lagi diantara para pemain oranye--- gaya rambut
jabriknya, tak diragukan lagi, sama dengan yang mereka lihat kemarin
malam di penginapan.
Para bandit yang baru muncul
semuanya adalah pemain pria yang berpakaian norak. Mereka semua memiliki
aksesori berwarna perak dan sub-equipment bergantungan di sekujur
tubuhnya.
Silica bersembunyi dibalik mantel Kirito begitu rasa muak semakin meliputinya. Dia berbisik pelan:
"Ki-Kirito onii-chan... musuhnya terlalu banyak. Kita harus lari...!"
"Tenang saja. Siapkan saja kristal kamu sampai kuberi tanda untuk lari."
Kirito
menjawab dengan suara kalem, membelai rambut Silica, kemudian berjalan
ke sisi lain jembatan tersebut. Silica hanya terdiam dengan kaget. Ini
terlalu nekat. Pikir Silica, lalu dia memanggil Kirito:
"Kirito onii-chan...!"
Begitu suaranya terdengar---
"Kirito...?"
Gumam
salah satu bandit. Senyumnya memudar dan dia terpana; bola matanya
bergerak dari satu sisi ke sisi lain seperti sedang mencoba mengingat
sesuatu.
"Pakaian itu... pedang satu tangan tanpa perisai... «The Black Swordsman»...?"
Wajahnya berubah pucat seraya dia melangkah mundur.
"Ini serius Rosalia-san! Bajingan itu... dia seorang beater dan... clearer...!"
Mendengar
kalimat itu, ekspresi seluruh anggota lainnya mengeras kaget. Silica
juga terkejut. Dia hanya menatap bahu Kirito, yang tidak bisa dibilang
lebar, benar-benar tercengang.
Silica tahu bahwa dia
adalah pemain yang berlevel cukup tinggi setelah melihatnya bertarung.
Namun dia bahkan tidak pernah bermimpi kalau dia adalah salah seorang
«Clearer», grup elit dari para pemain kelas atas yang bertarung di
dungeon garis depan, dimana tidak seorangpun pernah menjejakkan kakinya,
dan bahkan mengalahkan para bos. Dia pernah dengar bahwa mereka
berkonsentrasi sepenuhnya untuk menyelesaikan SAO, dan bahkan sangat
sulit untuk bertemu mereka di lantai pertengahan---
Rosalia sekalipun terdiam disana dengan mulut terbuka untuk beberapa detik sebelum dia tersadar dan berteriak:
"Ke-kenapa
seorang clearer berkeliaran di sekitar sini!? Dia mungkin cuma menyebut
dirinya sendiri begitu untuk menakuti kita! Yang dipakainya hanyalah
sebuah cosplay. Dan--- kalau pun dia benar-benar «The Black Swordsman»,
dia pasti kalah dengan orang sebanyak ini!!"
Sepertinya
semangat mereka telah dikembalikan oleh kata-katanya, pengguna kapak
raksasa yang berdiri di depan para pemain oranye itu menyahut:
"I-iya! Kalau dia seorang clearer pastinya dia punya banyak item dan uang juga kan!? Ini bener-bener kesempatan besar!"
Semua bandit itu sepakat lalu mengeluarkan senjata mereka. Kepingan-kepingan logam itu mengilatkan cahaya jahat.
"Kirito onii-chan... kita ga mungkin menang, ayo lari!!"
Silica
berteriak mati-matian dengan kristal tergenggam erat di tangannya.
Seperti yang dikatakan Rosalia, Kirito tidak mungkin menang melawan
musuh sebanyak ini sekuat apapun dia. Tapi Kirito tidak bergerak. Ia
bahkan tidak mengeluarkan senjatanya.
Sepertinya
mereka menganggapnya sebagai bentuk kepasrahan; kesembilan pemain
tersebut, tidak termasuk Rosalia dan pemain hijau lain, seluruhnya
mengeluarkan senjata mereka dan berpacu satu sama lain untuk menyerang
Kirito. Mereka menerjang melewati jembatan kecil itu dan lalu---
"Yiaaa!!"
"Mati kauuu!!"
Mereka
mengepung Kirito, yang kepalanya tertunduk, dalam formasi setengah
lingkaran sebelum mereka semua menyerangnya dengan senjata
masing-masing. Badan Kirito bergetar hebat akibat kekuatan sembilan
serangan itu.
"Tidak---!!"
Silica berteriak sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.
"Enggak! Berhenti! Kirito onii-chan akan, m...mati!!"
Tapi mereka tidak mendengarkan.
Beberapa
dari mereka tertawa gila, sementara yang lain terus mengucapkan sumpah
serapah selagi mereka menyerang Kirito bagai dimabukkan oleh rasa kejam.
Rosalia, yang berdiri di tengah-tengah jembatan, tidak bisa
menyembunyikan kegembiraannya selagi dia menatap tragedi tersebut sambil
menjilati jarinya.
Silica menyeka air matanya lalu
menggenggam gagang pisaunya. Dia tahu kalau dia tidak dapat berbuat
apa-apa sekalipun ia ikut bertarung, tapi dia tidak lagi bisa untuk
hanya berdiri disitu dan menonton. Kemudian, persis sebelum dia
melangkah ke arah Kirito--- dia menyadari sesuatu dan berhenti.
Bar HP Kirito tidak berkurang.
Tidak,
sebenarnya bar HP itu hanya berkurang sedikit sekali, meskipun digempur
hujan serangan yang tidak berkesudahan. Itupun akan terisi kembali
setelah beberapa detik.
Bandit-bandit itu akhirnya
sadar kalau swordsman hitam di depan mereka tidak menunjukkan
tanda-tanda akan tumbang. Ekspresi bingung muncul di wajah mereka.
"Kalian pada ngapain sih!? Bunuh dia!!"
Mendengar perintah Rosalia, hujan serangan pun berlanjut selama beberapa detik kemudian. Namun situasinya tidak berubah.
"Hei... apa yang terjadi...?"
Salah
satu bandit membuat wajah seakan dia telah melihat sesuatu yang
benar-benar ganjil sebelum dia berhenti bergerak dan melangkah mundur.
Keterkejutannya itu dengan cepat menyebar ke delapan orang lainnya, yang
kemudian berhenti menyerang lalu menjauhkan diri mereka dari Kirito.
Tempat itu hening seketika, kemudian di tengahnya, Kirito pelan-pelan mengangkat kepalanya. Sebuah suara pelan terdengar:
"...Sekitar
400 setiap 10 detik? Itu jumlah damage yang kalian bersembilan berikan
padaku. Aku level 78, HP ku 14,500… ditambah aku otomatis mendapat 600
poin setiap 10 detik dengan «Battle Healing». Kalian semua tidak akan
bisa mengalahkanku walau terus memukulku berjam-jam."
Bandit-bandit
itu terdiam di tempat dengan mulut terbuka lebar, seperti terkena syok.
Akhirnya, si pengguna dua pedang, yang sepertinya adalah wakil ketua
mereka, berkata dengan suara kering.
"Ini... apa benar bisa begini...? Ini bahkan sama sekali ga masuk akal..."
"Iya lah."
Kirito pun mengeluarkan ucapan ini:
"Cuma
perbedaan angka saja akan membuat perbedaan kekuatan yang sangat besar;
itulah bagian ga masuk akal dari sistem level MMORPG!"
Para
bandit itu melangkah mundur, seakan mereka terintimidasi oleh suara
Kirito, yang tampak seperti menyembunyikan sesuatu dibaliknya.
Wajah-wajah kaget mereka digantikan dengan muka ketakutan.
"Che."
Rosalia
menggerutu lalu kemudian mengeluarkan sebuah kristal teleport dari
pinggangnya. Dia mengangkatnya tinggi-tinggi dan membuka mulutnya:
"Teleport..."
Bahkan
sebelum dia dapat menyelesaikan kalimatnya, udara tampak bergetar
selama sepersekian detik dan kemudian Kirito sudah berdiri tepat di
depannya.
"Ack..."
Begitu Rosalia
membeku sesaat, Kirito merebut kristal dari tangannya, lalu menggenggam
kerahnya dan menariknya kembali ke arah bandit-bandit lainnya.
"Le-lepaskan aku!! Kau ingin melakukan apa brengsek!!"
Kirito
melemparnya ke arah sekelompok bandit tersebut, yang sedang berdiri
terpana, dan kemudian mulai mengobrak-abrik kantongnya tanpa berkata
apa-apa. Kristal yang dikeluarkannya juga berwarna biru. Tapi warnanya
jauh lebih tua daripada kristal teleport.
"Orang yang
memintaku melakukan ini membeli kristal koridor ini dengan semua uang
yang dimilikinya. Katanya dia sudah mengatur Kastil Besi Hitam sebagai
tempat keluarnya.. Jadi aku akan menteleport kalian semua ke penjara,
terus «The Army» bisa mengurus sisanya dari situ."
Rosalia, yang sedang duduk di bawah, terdiam selama beberapa saat sebelum dia tersenyum seperti itu hanya gertakan.
"Dan kalau aku bilang aku ga mau?"
"Akan kubunuh kalian semua."
Senyum di wajahnya membeku begitu mendengar jawaban singkat Kirito.
"adalah yang ingin kukatakan... tapi jika begitu maka aku akan menggunakan ini."
Kirito
mengambil sebuah pisau kecil dari dalam mantelnya. Jika diperhatikan
dengan seksama, terlihat sebuah cairan hijau yang samar-samar di
permukaannya.
"Racun pelumpuh; ini racun level lima,
jadi kalian ga akan bisa bergerak untuk sekitar sepuluh menit. Waktu
segitu cukup untuk memasukkan kalian semua ke koridor... Jalan sendiri,
atau kujebloskan; itu pilihanmu."
Tidak ada yang
menggertak sekarang. Setelah melihat mereka semua menundukkan kepalanya
tanpa suara, Kirito melepaskan pisaunya, mengangkat kristal biru tua itu
tinggi-tinggi, kemudian berteriak.
"Koridor terbukalah!"
Kristal itu pecah berkeping-keping dalam sekejap lalu muncul sebuah pusaran biru cahaya.
"Dasar sial..."
Pengguna
kapak yang berpostur tinggi adalah yang pertama berjalan ke koridor
dengan bahu tergantung. Sisa pemain-pemain oranye kemudian lenyap di
dalam cahaya satu demi satu, beberapa dengan diam, beberapa lagi sambil
menyumpah-nyumpah ketika berjalan memasukinya. Setelah pemain hijau yang
mengumpulkan informasi mengikuti mereka, yang tersisa hanyalah Rosalia.
Bandit berambut merah itu mencoba bergerak sekalipun
tidak bahkan setelah semua kawanannya lenyap ke koridor. Dia duduk
dengan kaki bersila dan menatap Kirito seperti mau menantangnya.
"...Yah, coba saja kalau bisa. Kalau kau menyakiti pemain hijau kau akan menjadi pemain oranye..."
Kirito menggenggam kerahnya bahkan sebelum ia selesai bicara.
"Kuberitahu kau: aku ini solo; menjadi oranye untuk sehari dua hari ga berarti apa-apa bagiku."
Kirito berkata dengan dingin sebelum menyeretnya ke koridor. Rosalia melawan dengan memukul-mukulkan lengan dan kakinya.
"Tunggu,
kumohon, berhenti! Maafkan aku! Huh?! ...Ah, benar, kau, maukah kau
bekerja denganku? Dengan kemampuanmu kita bisa mengalahkan guild
manapun..."
Rosalia tidak pernah menyelesaikan
perkataannya. Kirito melempar Rosalia ke koridor dengan kepala duluan.
Setelah dia menghilang, koridor itu bersinar terang selama sesaat
kemudian lenyap.
Semuanya menjadi tenang lagi.
Padang
bunga yang penuh dengan suara-suara alami, kicauan burung dan aliran
air, menjadi sepi kembali seakan semua yang baru saja terjadi hanyalah
sebuah kebohongan. Tapi Silica tidak bisa bergerak. Kekagetannya
terhadap identitas asli Kirito, kelegaannya terhadap perginya para
bandit, semua emosi ini membanjir secara bersamaan, membuatnya tidak
mampu untuk membuka mulutnya sekalipun.
Kirito
memiringkan kepalanya dan diam-diam mengamati Silica yang sedang
terkesima selama beberapa saat sebelum dia akhirnya mengatakan sesuatu
hampir seperti bisikan:
"...Maaf, Silica. Sepertinya
aku malah menggunakanmu sebagai umpan. Aku sudah mempertimbangkan untuk
memberitahumu sendiri... tapi kupikir kamu akan ketakutan sehingga aku
tidak jadi melakukannya."
Silica mati-matian mencoba
menggelengkan kepalanya, namun ia tidak bisa; saking banyaknya
pikiran-pikiran yang berputar membanjiri kepalanya.
"Aku akan mengantarmu ke desa."
Ujar Kirito lalu dia mulai berjalan. Silica entah bagaimana berhasil memaksa suaranya keluar menuju Kirito.
"Kakiku—kakiku tidak mau bergerak."
Kirito
menengok ke belakang dan menawarkan tangan kanannya disertai sebuah
senyuman; Silica akhirnya tersenyum begitu ia memegang erat tangan itu.
Keduanya
tetap terdiam sampai mereka tiba di Weathercock Tavern di lantai
tigapuluh lima. Ada banyak sekali hal yang ingin dikatakan Silica, tapi
ia tak mampu mengatakannya, seakan ada batu koral yang tersangkut di
kerongkongannya.
Ketika mereka naik ke lantai dua dan
memasuki kamar Kirito, cahaya merah matahari terbenam sudah mengalir
masuk melalui jendela. Silica akhirnya berhasil berbicara dengan suara
gemetar kepada Kirito, yang sudah tampak seperti siluet hitam karena
cahaya matahari.
"Kirito onii-chan... kamu mau pergi...?"
Setelah terdiam lama, siluet itu pun mengangguk pelan.
"Iya...
aku sudah pergi dari garis depan selama lima hari. Aku harus kembali
mulai menyelesaikan game ini lagi secepat mungkin..."
"...Benar juga..."
Sebenarnya, Silica ingin memintanya untuk membawa serta dirinya.
Tapi ia tidak bisa.
Levelnya
Kirito 78. Levelnya dia 45. Dengan selisih level 33--- perbedaan yang
memisahkan mereka jelas sangat menyakitkan. Jika dia mengikuti Kirito ke
garis depan, Silica akan mati dalam sekejap. Walaupun mereka berada
dalam game yang sama, dinding yang lebih tinggi dari apapun di kehidupan
nyata berdiri diantara dunia mereka yang begitu berbeda.
"...A...Aku..."
Silica
menggigit bibirnya dan mati-matian berusaha untuk menahan emosinya yang
terancam meluap; dua aliran air mata yang terbentuk sebagai hasil dari
perasaannya itu lalu bergulir menuruni pipinya.
Tiba-tiba, dia merasakan tangan Kirito di pundaknya. Sebuah suara pelan yang lembut berbisik tepat disampingnya:
"Level
itu cuma angka-angka. Kekuatan di dunia ini tak lebih dari sebuah
ilusi. Ada hal-hal yang jauh lebih penting dari itu. Jadi ayo kita
bertemu lagi di dunia nyata. Kalau kita bertemu lagi, kita akan bisa
berteman lagi."
Sebenarnya, Silica ingin bersandar ke
Kirito di depannya. Namun begitu ia merasakan ucapan Kirito menyebarkan
kehangatannya dalam hatinya yang sedang hancur, ia menyadari kalau dia
tidak boleh berharap lebih darinya. Kemudian dia menutup matanya dan
bergumam:
"Oke. Ini—ini janji ya."
Dia
memisahkan dirinya dari Kirito, menatap wajahnya, dan akhirnya dia bisa
tersenyum dengan sungguh-sungguh. Kirito juga tersenyum lalu berkata:
"Jadi, ayo kita panggil Pina."
"Oke!"
Silica
mengangguk lalu melambaikan tangan kanannya untuk memunculkan layar
utama. Dia menggulung inventaris itemnya dan mengeluarkan «Pina's
Heart».
Dia meletakkan bulu biru langit yang keluar dari layar di meja lalu dia juga mengeluarkan «Bunga Pneuma».
Dengan bunga putih mutiara di tangannya, dia menutup layar itu lalu memandang Kirito.
"Yang
harus kamu lakukan hanyalah meneteskan tetesan air yang ada di
tengah-tengah bunga itu ke bulu Pina. Setelah kamu melakukan itu Pina
akan kembali."
"Oke..."
Sambil memandangi bulu biru langit itu, Silica berbisik dalam pikirannya.
Pina...
aku punya banyak sekali cerita untukmu; tentang petualangan menakjubkan
yang kualami hari ini... dan tentang orang yang menyelamatkanmu, orang
yang menjadi kakakku hanya untuk sehari.
Dengan air mata di matanya, Silica memiringkan bunga di tangan kanannya menuju bulu tersebut.
(Selesai)
Kehangatan Hati (Lantai ke-48 Aincrad, Juni 2024)
Kincir air yang besar itu berputar dengan mantap, memenuhi seluruh toko dengan suara menenangkan.
Walaupun
ini hanya rumah kecil untuk digunakan kelas support diantara perumahan
khusus pemain, harganya naik seperti pasang karena kincir air itu. Saat
aku pertama menemukan rumah ini di distrik utama Lindus di lantai 48,
pikiranku tiba-tiba berkata 'ini dia!', tepat sebelum harganya
mengejutkanku.
Sejak saat itu, aku mulai bekerja keras
membanting tulang, meminjam uang dari berbagai tempat, dan berhasil
mengumpulkan tiga juta Coll hanya dalam dua bulan. Kalau ini adalah
dunia nyata, tubuhku akan dipenuhi otot dari semua pengalamanku
memukulkan palu, dan tangan kananku akan penuh dengan kapalan tebal.
Tapi
semua itu terbayar sudah, aku memperoleh sertifikatnya hanya selangkah
lebih dulu dari pesaingku dan membuka "Toko Senjata Spesial Lizbeth" di
rumah berkincir air ini. Ini terjadi tiga bulan lalu saat musim semi
yang sejuk.
Bagian 1
Setelah
meminum kopi pagiku dengan cepat untungnya ini Aincrad sambil
mendengarkan berputarnya kincir air seperti mendengarkan BGM, aku
memakai seragam blacksmithku dan melirik pantulanku di cermin besar yang
tergantung di dinding.
Meskipun aku menyebutnya
seragam blacksmith, sebenarnya pakaianku ini sekedar mirip pun tidak,
tapi pakaianku ini sebenarnya lebih mirip seragam pelayan wanita: sebuah
atasan merah tua dengan lengan baju yang menggembung dan sebuah rok
layang dengan warna yang sama, ditambah sebuah celemek putih bersih
diatasnya dan sebuah pita merah di dadaku.
Bukan aku
yang memilih pakaian ini; seorang pelanggan setia sekaligus temanku lah
yang memilihnya. Menurutnya, 'wajahmu baby face jadi pakaian kaku ga
cocok buatmu.'
Nah itulah yang dia bilang, dan aku tuh
seperti 'urus urusanmu sendiri!' Tapi penjualan naik dua kali lipat
sejak aku mulai memakai seragam ini, jadi aku ga punya pilihan selain
terus memakainya.
Nasehatnya tidak berhenti di
pakaianku, tapi bahkan sampai juga ke rambutku; sekarang rambutku sudah
dirombak menjadi sangat pink dan halus. Tapi berdasarkan respon
pelanggan, sepertinya penampilan ini cocok denganku.
Aku,
Lisbeth si blacksmith, berumur lima belas saat aku pertama kali masuk
ke SAO. Dulu di dunia nyata kudengar aku terlihat lebih muda dari
usiaku, tapi di dunia ini aku bahkan terlihat lebih muda lagi. Ketika
rambut merah mudaku, mata besarku yang biru, dan bibirku yang mungil
dikombinasikan dengan celemek bergaya kuno, pantulanku di cermin
terlihat hampir seperti boneka.
Karena di dunia lain
aku hanya anak SMP yang tidak peduli dengan mode, jurangnya pun makin
melebar. Entah bagaimana aku telah terbiasa dengan penampilanku, namun
karena kepribadianku tidak berubah sama mudahnya, aku sudah beberapa
kali menakuti pelangganku dengan tingkahku dari waktu ke waktu.
Aku
memeriksa apa ada yang terlupa kusiapkan sebelum aku ke bagian depan
toko dan membalik tanda 'TUTUP'. Aku memandang beberapa pemain yang
telah menunggu bukanya tokoku, lalu memperlihatkan senyum terbaikku dan
menyapa mereka.
"Selamat pagi! Silakan!"
Sebenarnya, belum terlalu lama sejak aku bisa melakukan ini secara alami.
Mengelola
sebuah toko sudah menjadi mimpiku sejak lama, tapi melakukannya di
dalam game ternyata sangat berbeda dengan di dunia nyata. Aku mengalami
sendiri bagaimana susahnya penyambutan dan pelayanan ketika aku pertama
mulai sebagai pedagang jalanan dengan sebuah penginapan sebagai
markasku.
Karena menahan senyum terlalu sulit bagiku,
aku memutuskan untuk menang melalui kualitas, dan sepertinya menaikkan
level skill weaponsmithku adalah jawabannya, terbukti dengan banyaknya
pelanggan setiaku yang terus menggunakan senjataku bahkan setelah aku
membuka toko ini. Setelah selesai menyapa mereka, aku meninggalkan
resepsionis ke pegawai NPC ku lalu menyembunyikan diri di ruang kerja
yang tersambung ke toko milikku. Ada sekitar sepuluh item yang harus
kubuat hari ini.
Segera setelah aku menarik tuas di
dinding, kekuatan mekanik dari kincir air mulai digunakan oleh puputan
untuk meniupkan udara ke kompor arang, pemoles pun mulai berputar. Aku
mengeluarkan sebongkah logam mahal dari inventarisku dan memasukkannya
ke kompor arang yang baru mulai memanas. Setelah cukup panas, aku
memindahkannya ke landasan tempa menggunakan sepasang penjepit. Aku
berlutut dengan satu kaki dan menggenggam paluku, lalu memanggil menu
pop-up dan memilih benda yang ingin kubuat. Sekarang yang harus
kulakukan hanyalah memukul bongkahan logam itu sebanyak jumlah yang
diperlukan dan benda itu pun tertempa. Tidak ada teknik yang diperlukan
untuk ini dan kualitas senjata yang dihasilkan pun acak; tapi kupikir
hasil akhirnya bergantung dengan sekuat apa konsentrasiku, jadi aku
menegangkan semua otot-ototku dan mengangkat palunya pelan-pelan.
Kemudian, persis saat aku akan menghantam logam itu---
"Hei, Lis!"
"Ahh!"
Pintu
ruang kerjaku terbuka dengan keras dan aku pun meleset; alih-alih
membentur logam, aku malah mengenai alas tempaku dengan dentang yang
menyedihkan dan percikan-percikan bunga api.
Begitu aku mengangkat kepalaku, pengacau itu sedang menggaruk kepalanya dan tersenyum dengan lidahnya terjulur keluar.
"Maaf~ Lain kali aku akan hati-hati."
"Kira-kira udah berapa kali ya aku dengar kata-kata itu ...Yah, seenggaknya ini terjadi sebelum aku mulai."
Aku
berdiri sambil menghela nafas panjang dan mengembalikan bongkahan logam
itu ke dalam kompor arang sebelum menempatkan kedua tanganku di
pinggang dan berbalik. Kemudian aku memandang gadis yang sedikit lebih
tinggi dariku.
"...Hei, Asuna."
Sahabatku
dan seorang pelanggan setia, si pengguna rapier Asuna, berjalan
melintasi ruangan ke arahku lalu duduk di atas sebuah kursi kayu. Lalu
dia menekan rambut coklat kemerah-merahannya yang panjang yang melewati
bahunya dengan tangannya. Semua pergerakannya seperti bersinar, seakan
dia adalah seorang bintang film, dan membuatku terpana meskipun aku
sudah lama mengenalnya.
Aku pun duduk di kursi di depan alas tempaku itu dan menyandarkan paluku ke dinding.
"...Jadi, hari ini ada apa? Kamu datang lebih pagi dari biasanya."
"Ah, aku ingin kamu merawat ini."
Asuna
mengeluarkan rapiernya, dengan bilahnya masih disarungkan, kemudian
melemparnya. Aku menangkapnya dengan satu tangan lalu menariknya keluar.
Rapier itu sedikit tumpul karena sudah lama digunakan, namun tidak
cukup tumpul untuk menyebabkan masalah memotong pada bilahnya.
"Kondisinya masih lumayan bagus kan? Terlalu awal untuk dirawat."
"Iya kamu benar. Tapi aku ingin ini jadi benar-benar berkilau."
"Hmmm?"
Aku
menatap Asuna dengan teliti. Pakaian ksatrianya yang putih bercorak
palang merah dan rok mininya tetap sama seperti biasanya, namun
sepatunya bersinar seperti baru dan dia bahkan memakai sepasang anting
perak.
"Kamu lagi aneh~ Aku baru kepikiran sekarang,
hari kan ini hari kerja. Gimana tentang kuota clearing guild kamu?
Bukannya kamu bilang kalian lagi kesusahan di lantai enam puluh tiga?"
Mendengar ucapanku, Asuna tersenyum malu:
"Ya... aku dapet cuti hari ini. Karena nanti aku punya janji dengan seseorang..."
"Ohh~!"
Aku bergeser mendekat ke Asuna sambil tetap duduk di kursiku.
"Kasih tahu aku dong. Kamu mau ketemu siapa?"
"Ra-rahasia!"
Asuna memerah dan menghindari tatapanku. Aku menyilangkan lenganku, menggangguk, lalu berkata:
"Ah~ Kupikir aneh kamu menjadi lebih cerah belakangan ini. Jadi akhirnya kamu dapet pacar."
"Eng-enggak kayak gitu!!"
Pipi Asuna memerah makin tua. Dia terbatuk lalu menanyakanku sebuah pertanyaan sambil sedikit melirik-lirik:
"...Apa aku, bener-bener seberbeda itu sekarang...?"
"Tentu
saja~ Waktu aku pertama ketemu kamu, kamu selalu berkonsentrasi
menyelesaikan dungeon! Waktu itu kupikir kamu sedikit terlalu kaku, tapi
kemudian, mulai musim semi ini, kamu mulai berubah sedikit; seperti
beristirahat dari menyelesaikan game waktu hari kerja --- dulu kamu ga
akan pernah melakukan itu."
"Be-bener ...mungkin aku memang telah terpengaruh...
"Jadi, siapa dia? Aku kenal ga?"
"Ku... kurasa enggak... kayaknya."
"Lain kali bawa dia kesini."
"Ga kayak gitu! Ini masih, yah... satu arah..."
"Hmm...?"
Kali
ini aku benar-benar terkejut. Asuna adalah sub-leader dari guild
terkuat, KoB, dan salah satu dari lima cewek tercantik di Aincrad.
Laki-laki yang menginginkan perhatian Asuna ada sebanyak bintang di
langit, tapi aku bahkan tidak pernah membayangkan kalau kebalikannya itu
ada.
"Begini lho, dia orang yang bener-bener aneh."
Ucap
Asuna dengan kedua matanya merenung ke dalam kejauhan. Senyum lembut
terlihat di bibirnya. Kalau ini adalah komik percintaan, maka sekarang
di latarnya akan ada kelopak-kelopak bunga.
"Menurutku
dia ga bisa ditebak, atau dia cuma melakukan semuanya dalam temponya
sendiri... tapi walaupun begitu, dia bener-bener kuat."
"Oh, lebih kuat dari kamu?"
"Iya, beneran; kalau kita duel, aku bertahan semenit saja ga akan bisa."
"Ohh~ Aku bisa menghitung orang yang mampu melakukan itu dengan jari."
Segera setelah aku mulai memeriksa daftar clearer di kepalaku, Asuna mulai mengibaskan tangannya.
"Ah, jangan bayangkan dia~!"
"Yah, aku menantikan untuk segera melihatnya. Dan kalau begitu ceritanya, aku akan mengandalkanmu untuk promosi juga!"
"Kamu ga pernah melewatkan kesempatan ya. Akan kukenalkan dia ---ah, oh! Cepet dirawat!"
"Iya, iya. Akan kuselesaikan sekarang juga jadi tunggu sebentar."
Aku berdiri dengan rapier Asuna di tanganku dan berjalan ke pemoles yang berputar di pojok ruangan.
Aku
mengeluarkan pedang tipis itu dari sarungnya. Senjata ini dikategorikan
sebagai «Rapier» dengan nama unik «Lambent Light». Termasuk salah satu
pedang terbaik yang pernah kubuat. Walau aku menggunakan bahan mentah
terbaik, palu terbaik, alas tempa terbaik, dan segalanya yang terbaik
sekalipun, kualitas senjata yang dihasilkan masih berbeda-beda
dikarenakan faktor acak. Karena itulah, aku hanya bisa membuat pedang
berkualitas seperti ini setiap sekitar tiga bulan.
Pelan-pelan
aku menempelkan pedang itu ke pemoles dengan kedua tanganku. Teknik
yang terlibat dalam memoles senjata juga tidak ada, tapi aku tidak
berniat untuk mengabaikannya.
Aku meluncurkan pedang
itu dari pangkal hingga ujungnya. Bunga-bunga api berlompatan keluar
dengan terang, suara metalik terdengar, dan di saat yang bersamaan kilau
gemerlapan kembali ke pedang tersebut. Begitu proses pemolesan selesai,
rapier itu kembali ke ke penampilan keperak-perakannya, bersinar dengan
cahaya matahari pagi.
Aku menyarungkan bilahnya lagi
dan melemparkannya ke Asuna. Lalu aku menangkap koin perak 100 coll yang
dilemparkannya pada saat yang bersamaan dengan ujung-ujung jariku.
"Makasih!"
"Aku juga akan memintamu memperbaiki armorku nanti... tapi aku kehabisan waktu sekarang jadi daaah!"
Asuna berdiri dan menggantung rapier itu di sisi pinggangnya.
"Aku penasaran dia seperti apa sih~ Mungkin aku harus ikut pergi."
"Ehh, ja-jangan!"
"Hahaha, aku bercanda. Tapi lain kali bawa dia ya."
"Se-segera."
Asuna
melambaikan tangannya dan keluar dari ruang kerjaku seakan dia
melarikan diri. Aku menghela nafas panjang dan roboh lagi ke kursiku.
"...Pasti enak."
Aku tersenyum dengan sedikit pahit mendengar ucapan yang terlontar dari mulutku.
Satu
setengah tahun sudah lewat sejak aku datang ke dunia ini. Karena
kepribadianku, aku tidak bersenang-senang dan malah menuangkan segalanya
untuk mengembangkan tokoku hingga seperti sekarang ini. Tetapi sekarang
aku telah memiliki sebuah toko dan hampir menyempurnakan skill smithku,
aku juga mulai merindukan pertemanan lagi, kemungkinan besar karena aku
tidak punya tujuan yang jelas lagi.
Karena tidak ada
banyak perempuan di Aincrad, lumayan banyak lelaki yang mencoba
mendekatiku, tapi karena beberapa alasan aku tidak pernah merasa ingin
menanggapinya. Jadi ketika topik ini dibicarakan aku merasa cukup iri
pada Asuna.
"Kapan ya aku bakal ngerasain «Pertemuan Bersejarah» juga~"
Aku
bergumam, lalu menggeleng-gelengkan kepalaku untuk menghilangkan
pikiran-pikiran aneh ini dan berdiri. Aku mengambil bongkahan logam yang
sekarang sudah merah panas, mengeluarkannya dari kompor arang dan
meletakkannya kembali ke alas tempa. Sepertinya dialah yang akan menjadi
rekanku untuk sementara waktu ini. Dengan pikiran-pikiran ini
bergelayutan di kepalaku, kuangkat paluku dan menghantamkannya. Hiiyaa.
Bunyi
berirama logam yang menggaung di ruang kerjaku biasanya membuat
pikiranku jernih, tapi hari ini ganjalan-ganjalan di hatiku itu tidak
mau pergi.
Siang keesokan harinya dia mengunjungi toko milikku.
Aku menyelesaikan semua pesanan senjata kemarin dan sekarang aku terlelap di kursi batu di depan toko.
Aku
bermimpi. Mimpi tentang saat aku masih SD. Dulu aku anak yang rajin dan
pendiam, tapi aku punya kebiasaan tertidur saat pelajaran siang
pertama. Guru-guru sering mencecarku karena tertidur.
Saat
itu aku mengagumi guru lelaki muda ini yang baru saja lulus dari
universitas. Aku masih merasa malu ketika ditegur, namun untuk beberapa
alasan aku sangat menyukai caranya dia membangunkanku. Dia akan
menggoyang-goyangkan bahuku dengan pelan dan bicara dengan suara yang
pelan dan halus---
"Erm, maaf tapi..."
"I-iya, maafkan aku!"
"Appaa?!"
Aku
berteriak dan melompat seperti pegas. Didepanku berdiri seorang pemain
laki-laki dengan ekpresi terkejut terpasang di wajahnya.
"Huh...?"
Aku
melihat sekelilingku. Yang terlihat bukanlah ruang kelas yang berisi
barisan-barisan meja. Pepohonan yang tertanam di sepanjang jalan, jalur
air yang mengiringi jalanan batu yang luas, halaman yang tertutup
rerumputan; rumah keduaku, Lindus.
Tampaknya aku tadi
melamun untuk pertama kalinya setelah beberapa lama. Aku batuk untuk
menyembunyikan rasa maluku dan menyambut orang yang kelihatannya adalah
pelanggan.
"Se-selamat datang. Kamu mencari senjata?"
"Erm, iya."
Pemuda itu mengangguk.
Dia
tidak terlihat seperti seseorang yang berlevel sangat tinggi. Dia
tampak hanya sedikit lebih tua dariku; rambut hitam dengan baju, celana,
dan sepatu yang simpel. Satu-satunya persenjataan yang dia miliki
hanyalah pedang satu tangan di punggungnya. Senjata-senjata di tokoku
memerlukan stats yang tinggi dan aku khawatir apa levelnya dia cukup
tinggi, tapi aku tidak memperlihatkan kekhawatiranku dan memandunya ke
dalam toko.
"Bagian pedang satu tangan di sebelah sana."
Melihatku menunjuk ke arah bagian senjata-senjata dasar, dia tersenyum sedikit canggung dan berkata.
"Ah, begini, aku ingin memesan yang buatan sendiri..."
Aku
makin tambah khawatir. Bahkan senjata pesanan yang termurah pun, yang
butuh bahan-bahan khusus untuk menempanya, berharga lebih dari seratus
ribu coll. Kalau dia mulai panik mendengar harganya, aku juga jadi malu,
jadi kucoba menghindari situasi itu.
"Harga logam sekarang lagi agak tinggi, jadi kupikir harganya akan sedikit mahal..."
Begitu kuberitahu, pemuda berpakaian serba hitam itu mengucapkan hal yang sama sekali tak bisa dipercaya dengan ekpresi cuek.
"Ga usah khawatir terhadap harganya. Tolong tempa saja pedang terbaik yang kamu bisa sekarang."
"..."
Aku terbelalak menatap wajahnya selama beberapa saat kemudian entah bagaimana aku berhasil membuka mulutku.
"...Yaa, walau kamu bilang begitu... aku harus punya gambaran tentang kualitasnya..."
Intonasiku sedikit lebih kasar dari biasanya, tapi nampaknya dia tidak peduli dengan itu dan hanya mengangguk.
"Bener juga. Kalo gitu..."
Dia mengambil pedang di punggungnya, masih disarungkan, dan memberikannya padaku.
"Gimana kalau pedang dengan kualitas sama atau lebih bagus dari yang ini?"
Tidak
terlihat seperti senjata yang hebat. Gagangnya dililit oleh bahan kulit
berwarna hitam; warna yang sama dengan pangkalnya. Tapi saat aku
mengambilnya dengan tangan kananku---
Berat!!
Aku
hampir menjatuhkannya. Persyaratan stat kekuatannya luar biasa tinggi.
Sebagai seorang blacksmith dan pengguna gada, aku cukup percaya diri
dengan kekuatanku. Tapi aku ga akan pernah bisa mengayunkan pedang ini.
Dengan
ragu-ragu aku menariknya dari sarungnya dan pedang yang hampir hitam
sempurna itu berkilat. Aku tahu pedang ini adalah pedang berkualitas
tinggi hanya dengan melihatnya sekilas. Kuklik pedang itu dengan jariku
untuk memanggil layar popup: kategori «Pedang-Panjang/Satu Tangan», nama
uniknya «Elucidator». Tidak ada nama pembuatnya, berarti pedang ini
bukanlah buatan seorang blacksmith.
Kalian bisa memisahkan semua senjata di Aincrad menjadi dua kelompok.
Satu
adalah "Buatan pemain", artinya senjata yang dibuat oleh kami, para
blacksmith. Yang satunya lagi adalah senjata yang diperoleh dari
berpetualang sebagai "Benda yang dijatuhkan monster". Tak perlu
dikatakan lagi, para blacksmith tidak begitu suka senjata-senjata yang
dijatuhkan itu. Aku bahkan tidak bisa memulai untuk menghitung semua
nama seperti 'Tidak bernama' atau 'Tidak bermerek' yang diberikan pada
senjata-senjata tersebut.
Tetapi pedang ini tampak
seperti benda yang sangat langka diantara benda yang dijatuhkan monster.
Jika kalian membandingkan kualitas rata-rata senjata buatan pemain dan
senjata yang dijatuhkan monster, yang lebih baik adalah yang pertama.
Tapi sekali-sekali, «Pedang Setan» seperti ini muncul — begitulah yang
kudengar.
Bagaimanapun, harga diriku sekarang menjadi
taruhannya. Sebagai seorang blacksmith, ga mungkin aku akan kalah dengan
senjata jatuhan. Aku mengembalikan pedang yang berat itu dan mengambil
sebuah pedang panjang yang tergantung di dinding belakang toko. Aku
menempa pedang ini sebulan lalu dan inilah pedang terbaik yang bisa
kutempa sekarang. Pedang yang kutarik dari sarungnya itu dibubuhi warna
kemerah-merahan, seakan-akan diliputi oleh api.
"Ini pedang terbaik di tokoku sekarang. Kemungkinan besar ga akan kalah dengan pedangmu."
Dia mengambil pedang itu tanpa bicara, mengayunkannya dengan satu tangan, kemudian memiringkan kepalanya.
"Sedikit enteng ya."
"...Aku menggunakan logam tipe kecepatan untuk membuatnya..."
"Hmm..."
Ekpresi
curiga terlihat di wajahnya dan dia mengayunkan pedang itu beberapa
kali lagi sebelum memalingkan tatapannya ke arahku dan bertanya.
"Boleh aku mengetesnya sedikit?"
"Tes apanya...?"
"Ketahanan."
Pemuda
itu menarik pedangnya, yang ia pegang di tangan kirinya dari tadi, lalu
meletakkannya di atas konter. Kemudian dia berdiri di sampingnya dan
perlahan-lahan mengangkat pedang yang kemerah-merahan dengan lengan
kanannya.
Menyadari apa yang ingin dia lakukan, aku mencoba menghentikannya.
"Tu-tunggu! Kalau kamu lakukan itu pedangnya akan rusak!"
"Kalau pedang ini rusak semudah itu maka ini tidak berguna. Kalau itu terjadi akan kuurus nanti."
"Itu..."
Itu
benar-benar gila, adalah yang ingin kukatakan, tapi kuhentikan diriku.
Dia memegang pedangnya di atas kepalanya dan matanya bersinar tajam.
Segera, pedang itu mulai bersinar dengan cahaya biru.
"Hyah!"
Dengan
sebuah pekikan, dia mengayunkan pedang itu dengan kecepatan luar biasa.
Kedua pedang tersebut saling beradu satu sama lain sebelum aku sempat
berkedip, dan dentumannya bergema keras di dalam toko. Karena kilatan
yang dihasilkannya terlalu terang, aku memicingkan mataku untuk
melihatnya, lalu mundur selangkah ke belakang...
Bilahnya terbelah dua dengan rapi dan telah benar-benar hancur.
---Pedang karya terbaikku.
"AHHHHHH!!"
Aku
berteriak dan buru-buru menggapai tangan kanannya. Kuambil setengah
bagian yang tersisa dan memeriksanya dengan hati-hati dari semua sudut.
...Reparasi... sudah tidak mungkin.
Begitu
sampai pada kesimpulan itu bahuku terkulai lemas, setengah yang sisanya
lagi berhamburan menjadi pecahan poligon. Setelah beberapa detik yang
hening lewat, aku mengangkat kepalaku pelan-pelan.
"Wha...wha..."
Aku menggenggam kerahnya selagi bibirku gemetaran.
"Kamu mau ngapain sekarang---!! Ini rusak---!!"
"Ma-maaf! Aku ga pernah mengira kalau pedang yang kuayun akan patah..."
...Snap.
"Dengan kata lain, kamu ingin mengatakan kalau pedangku lebih lemah dari yang kamu kira!?"
"Errr---ummm--- yaa, iya."
"Ah!! Sekarang kamu langsung jujur gitu aja!?"
Aku lepaskan kerahnya, kuletakkan kedua tanganku di pinggul dan menegakkan dadaku.
"Ku---
kuberitahu kamu! Kalau aku punya bahan yang tepat aku bisa membuat
senjata-senjata yang bisa mematahkan pedangmu sebanyak apapun yang aku
mau!"
"Oh?"
Dia tersenyum mendengar ucapan yang kukatakan dalam kondisi marah itu.
"Kalau begitu aku ingin memintamu untuk membuatnya; sesuatu yang bisa mematahkan pedang ini begitu saja."
Dia mengambil pedang di konter dan menyarungkannya. Darah akhirnya menyerbu naik ke kepalaku dan---
"Jadi gitu ya!? Oke! Kalo gitu kamu bantuin juga! Mulai dengan membantuku mendapatkan bahan-bahannya!"
Aku
tahu kalau aku baru saja membuat kesalahan, tapi nasi sudah menjadi
bubur. Ga mungkin aku mundur sekarang. Tapi dia tidak bergeming sama
sekali dan mencermatiku dengan kasar.
"...Begini, aku tidak keberatan, tapi bukannya lebih baik kalau aku pergi sendiri? Akan jadi masalah kalau kamu menyulitkanku."
"Argh--!!"
Ternyata
orang yang sehebat ini dalam memanas-manasi orang benar-benar ada. Aku
mengibas-ngibaskan tanganku dengan liar dan protes seperti anak kecil.
"Ja-jangan meremehkanku! Begini begini, aku seorang pengguna gada!"
"Whew~"
Pemuda itu bersiul. Sekarang dia cuma asyik sendiri.
"Kalau begitu, aku akan menantikannya. ---Omong-omong, akan kubayar pedang yang kupatahkan."
"Ga usah melakukan itu! Inget aja kalau aku membuat pedang yang lebih bagus dari pedangmu, akan kubuat kamu membayar segunung!"
"Oke, sebanyak apapun yang kamu mau. ---Aku Kirito. Kuharap kita berteman baik sampai pedangnya selesai."
Aku menyilangkan tanganku dan membuang pandangan.
"Kuharap kita berteman baik, Kirito."
"Uwa, kamu langsung memanggil namaku seperti itu? Yah, aku oke oke saja sih. Kuharap kita berteman baik, Lisbeth."
"Kaaah--!!"
...kesan pertama terburuk yang pernah ada untuk membentuk sebuah kelompok.
Bagian 2
Rumor
tentang «Logam Itu» mulai beredar diantara para blacksmith sekitar
sepuluh hari yang lalu. Tentu saja, tujuan utama SAO adalah mencapai
lantai teratas dan mengalahkan gamenya. Tapi selain itu, terdapat juga
berbagai jenis quest lainnya: misi dari para NPC, misi pengawalan,
mencari harta karun, dan lain-lain. Tetapi karena hadiahnya biasanya
termasuk equipment yang diinginkan, kebanyakan quest tersebut memiliki
waktu jeda setelah diselesaikan sebelum tersedia lagi. Bahkan ada juga
quest yang hanya bisa diselesaikan sekali saja, alhasil quest itu pun
benar-benar menarik perhatian para pemain.
Salah satu
dari misi-misi semacam itu ditemukan di dusun kecil di sudut lantai 55.
Seorang NPC kepala desa berjanggut putih berkata... Ada naga putih yang
hidup di pegunungan bagian barat, yang menyantap kristal setiap hari
sebagai makanannya dan menimbunnya dalam jumlah besar di dalam perutnya
hingga menciptakan suatu logam yang langka dan sangat berharga. Jelas
ini adalah misi yang hadiahnya berupa bahan material yang menakjubkan,
jadi sejumlah besar orang langsung membentuk kelompok penyerangan yang
bisa mengalahkan naga tersebut dengan mudahnya. ---Namun mereka tidak
mendapatkan apa-apa. Naga itu hanya menjatuhkan sedikit Coll dan
beberapa equipment berkualitas rendah, yang bahkan tidak bisa menutupi
biaya ramuan penyembuh dan kristal yang digunakan.
Setelah
itu, semua orang menduga kalau logam itu hanya berpeluang untuk
dijatuhkan, oleh karena itu banyak kelompok berbicara pada tetua tadi
dan mengalahkan naga tersebut, tapi masih belum ada orang yang menemukan
logam itu. Dalam seminggu, tak terhitung banyaknya jumlah naga putih
yang terbunuh, tetapi tidak ada kelompok yang berhasil menemukan logam
itu. Seseorang akhirnya mengusulkan bahwa ada kondisi khusus yang harus
dipenuhi, jadi sekarang semua orang berusaha keras untuk mencari tahu
apa kondisi yang dimaksud.
Setelah mendengarkan
penjelasanku, pemuda yang bernama Kirito, yang menghirup teh yang tidak
ingin kubuat, yang duduk di kursi ruang kerjaku dengan kakinya
disilangkan, menjawab 'ah...' dan mengangguk pelan.
"Aku
juga pernah denger tentang ini. Sepertinya memang ada kemungkinan
memperoleh material langka. Tapi sejauh ini belum ada orang yang
mendapatkannya kan? Apa kita bisa mendapatkan sesuatu kalau kita pergi
sekarang?"
"Diantara teori-teori yang beredar, salah
satunya mengklaim kalau 'harus ada blacksmith di dalam kelompok', karena
tidak banyak blacksmith yang melatih skill bertarung mereka dengan
baik."
"Jadi itu sebabnya; kedengarannya bener juga sih--- kalau benar begitu, kita harus segera berangkat."
"......"
Aku menatap wajah Kirito dengan marah.
"Aku
heran kamu bisa hidup sampai hari ini dengan akal sehat yang kurang
kayak gitu. Ini bukan berburu goblin! Kita harus membentuk kelompok yang
bagus dan..."
"Tapi kalau kita melakukan itu, maka
nantinya jika material itu jatuh pun, ada kemungkinan kita ga akan
mendapatkannya kan? Naga putih itu ada di lantai berapa?"
"...Lantai 55."
"Heh... Kalau gitu aku sendirian pun bisa; kamu bahkan ga perlu bantuin."
"...Kamu
ini kuat banget, apa cuma bodoh banget? Biarlah, aku ga peduli,
pemandangan kamu menangis sambil teleport melarikan diri juga kedengaran
lumayan menarik."
Kirito hanya tergelak, menghabiskan tehnya tanpa membalas, dan menaruh cangkirnya kembali di atas meja.
"Aku siap berangkat kapan aja; gimana dengan kamu, Lisbeth?"
"Ah...
sudahlah, karena kamu ga akan menambahkan sebutan kehormatan juga,
panggil aja aku Lis... gunung naga putih itu ga terlalu besar, jadi kita
harusnya bisa kembali hari ini juga. Aku bersiap-siap dulu sebentar
ya."
Setelah membuka layar pengaturan-ku, pertama aku
memasangkan armor sederhana di atas rok-ku, lalu memastikan kalau gada
milikku berada di dalam inventaris dan aku memiliki cukup ramuan dan
kristal.
Aku menutup layar itu dan berkata oke,
kemudian Kirito kembali berdiri. Untungnya, tidak ada pelanggan yang
terlihat selama kita menuju pintu toko dari ruang kerjaku. Aku lekas
membalik tanda di pintu.
Aku mengangkat kepalaku dan
melihat keluar; cahaya matahari yang masuk masih terang, jadi masih ada
waktu lumayan banyak sebelum hari menjadi gelap. Apakah kita akan
mendapatkan logam itu atau tidak--- yang terakhir sepertinya lebih
mungkin bagaimanapun aku memikirkannya--- Aku tidak ingin pulang terlalu
malam.
Walaupun begitu.
...Bagaimana aku berakhir di situasi aneh ini...
Setelah meninggalkan toko, aku berjalan menuju gerbang plaza sambil merenung.
Aku
pastinya punya kesan buruk terhadap lelaki berpakaian serba hitam yang
berjalan dengan santainya di sampingku--- seperti yang seharusnya. Bukan
saja apapun yang dikatakannya membuatku marah, dia juga seorang
megalomaniak yang sombong, dan yang paling penting, dia menghancurkan
mahakaryaku.
Tapi tetap saja, aku berjalan beriringan
dengan orang yang baru saja kukenal. Kita bahkan membentuk sebuah
kelompok dan bersiap untuk memburu monster di lantai lain; ini
benar-benar seperti--- seperti ken...
Sampai disini,
aku langsung memutus pemikiran itu dengan paksa. Aku belum pernah
mengalami hal seperti ini sampai sekarang. Walau aku lumayan dekat
dengan beberapa pemain laki-laki, aku selalu membuat alasan untuk
menghindar pergi bersama mereka hanya berdua saja. Aku ingin memastikan
kalau orang pertama yang berpasangan denganku adalah orang yang
benar-benar kusukai, setidaknya begitulah rencanaku.
Tapi ketika aku sadar, aku sudah bersama orang aneh ini... kenapa bisa sampai kayak gini sih!
Sama
sekali tidak menyadari kegalauanku, Kirito melihat seorang penjual
makanan di dekat gerbang plaza dan buru-buru mendatanginya. Sewaktu ia
berbalik, di mulutnya sudah ada sebuah hot dog raksasa.
"Kaamu vau nuga?"
...Pergolakan
batinku seketika dipenuhi dengan rasa tak berdaya dan aku merasa
seperti orang idiot karena menjadi satu-satunya yang galau. Jadi aku
berteriak membalas:
"Iya!"
Rasa
renyah hot dog itu--- lebih tepatnya, makanan misterius yang terlihat
seperti hot dog--- masih tersisa di mulutku ketika ketika sampai di
dusun yang dirumorkan itu di lantai 55.
Kita juga tidak bermasalah dengan monster-monster di sini.
Mempertimbangkan
bahwa garis depannya adalah lantai 63 sekarang, monster-monster disini
lumayan kuat. Tapi levelku sekitar 65, dan si sombong Kirito itu
harusnya sekuat itu juga, jadi kita melalui pertempuran-pertempuran
nyaris sama sekali tidak terluka.
Satu-satunya kesalahan adalah tema lantai ini melibatkan padang es dan salju---
"Achoo!"
Aku
bersin dengan keras segera setelah kita memasuki desa kecil itu dan
rileks. Dikarenakan semua lantai lainnya sedang berada di awal musim
panas, aku menjadi lengah. Bukan saja tanah disini dilapisi salju, namun
setiap bangunan masih memiliki stalagtit es raksasa bergantung di
atapnya.
Dinginnya musim salju yang menusuk tulang ini
menyebabkan seluruh badanku menggigil hebat. Kirito, yang berdiri di
sampingku, memasang ekspresi menjengkelkan dan berkata:
"...Kamu ga bawa baju lagi?"
"...Enggak."
Kemudian,
Kirito yang tampaknya berpakaian tipis itu mengoperasikan layarnya.
Terwujudlah sebuah mantel bulu hitam, yang dipakaikannya pada kepalaku.
"...Kamu sendiri gapapa?"
"Ini semua cuma masalah tekad."
Setiap
kalimat yang diucapkan orang ini membuatku kesal. Tetapi mantel bulu
itu terlihat cukup hangat, jadi aku tidak mampu menolaknya dan
memakainya dengan cepat. Aku menghela nafas lega begitu dinginnya
terpaan angin itu menghilang seketika.
"Umm... menurut kamu rumahnya tetua itu yang mana?"
Mendengar
ucapan Kirito, aku mengamati desa kecil ini, dan menemukan sebuah rumah
yang besarnya tidak biasa di seberang plaza utama.
"Rumahnya yang itu kan?"
"Iya."
Kita berdua mengangguk dan mulai berjalan.
...Beberapa menit kemudian.
Sesuai
prediksi, kita menemukan NPC tetua berjanggut putih dan sukses
mengawali pembicaraan. Ceritanya penuh dengan detil-detil tidak berguna
yang dimulai dari masa kanak-kanaknya yang panjang dan membosankan,
masuk ke tahun-tahun remajanya, melewati hari-hari kesusahannya saat
dewasa, dan kemudian tiba-tiba menyebutkan seekor naga putih di
pegunungan di barat. Ketika dia akhirnya selesai, cahaya oranye matahari
terbenam sudah telanjur meliputi seluruh desa.
Kita
meninggalkan rumah tetua desa itu merasa benar-benar kehabisan tenaga.
Salju yang menutupi rumah-rumah ternodai warna oranye ketika matahari
terbenam. Benar-benar pemandangan yang indah tiada tara, namun---
"...Aku ga pernah mengira kalau menerima quest aja menghabiskan waktu sebanyak itu..."
"Tidak bisa dipercaya... yah, sekarang gimana? Apa kita nunggu sampai besok aja?"
Aku memalingkan kepalaku dan memandang Kirito.
"Hmmm--- tapi kudengar naga putih itu nokturnal. Apa gunungnya yang itu?"
Memandang
arah yang ditunjuk oleh Kirito, aku melihat sebuah puncak putih yang
mencakar langit. Walau aku mengatakan seperti itu, batasan struktural
Aincrad berarti tingginya tidak mungkin melebihi 100 meter, jadi
mendakinya seharusnya tidak sulit.
"Oke, ayo kita pergi. Aku juga ingin cepat-cepat melihat muka nangismu."
"Asal jangan terpukau dengan skill pedangku yang hebat aja."
Kita
berdua membuang muka dari satu sama lain dengan sebuah 'hmph'. Tapi
entah mengapa, bagaimana ya, meskipun aku berdebat dengan Kirito, hatiku
mulai terasa sedikit goyah---
Aku menggelengkan
kepalaku dengan paksa demi menghilangkan pikiran-pikiran bodoh ini dan
kemudian mulai merintis jalanku melewati salju.
Meskipun kecuraman gunung naga putih itu terlihat berbahaya dari jauh, ternyata sebenarnya sangat mudah didaki.
Sewaktu kupikirkan lagi, banyak tim dadakan yang berhasil melakukan ini tanpa masalah, jadi ga mungkin pendakian ini susah.
Walaupun
sudah petang, yang mempengaruhi kekuatan monster yang muncul, monster
terkuat yang mungkin muncul sekarang hanyalah tengkorak es bernama
«Frost Bone». Apalagi, monster bertipe tulang bukanlah tandingan bagi
gada milikku. Aku dengan mudah terus meremukkan mereka dengan suara
rekah yang jelas.
Setelah berjalan melalui jalanan
berlapis salju selama beberapa lusin menit dan berbelok menuju tebing es
yang curam, kita sudah mencapai puncaknya.
Bagian
bawah lantai selanjutnya sangatlah dekat. Tiang-tiang raksasa dari
pilar-pilar kristal yang rekah menonjol dari lapisan salju yang tebal.
Cahaya ungu dari matahari terbenam terbiaskan oleh tiang-tiang ini dan
terhambur menjadi spektrum warna-warni pelangi, melukis pemandangan yang
hanya bisa digambarkan dalam mimpi-mimpi.
"Waah...!"
Begitu aku bersorak tanpa ditahan dan akan berlari ke sana, Kirito menggenggam kerahku untuk menghentikanku.
"Oi... Kamu ngapain!"
"Hei, siap-siap memakai kristal dulu."
Menghadapi
ekspresinya yang sangat serius, aku hanya bisa mengangguk tanpa
perlawanan. Aku mewujudkan kristalnya lalu menaruhnya ke dalam kantong
celemekku.
"Dan juga, dari sekarang akan mulai
berbahaya, jadi sebaiknya aku melanjutkan sendiri saja. Begitu naga
putihnya muncul, sembunyi aja dibalik pilar kristal sebelah sana dan
jangan sekali-kali keluar."
"...Kenapa? Levelku juga lumayan tinggi! Aku juga mau membantu!"
"Tak Boleh!"
Bola
mata Kirito yang hitam menatap langsung kedua mataku. Begitu pandangan
kita bertemu, aku mengerti bahwa orang ini benar-benar khawatir terhadap
keselamatanku dari lubuk hatinya, jadi aku menghela desahan panjang dan
mengalah. Aku tidak berkata apapun dan hanya mengangguk kecil.
Sebuah
senyuman menjalar di wajah Kirito selagi dia membelai kepalaku dan
berkata "ya sudahlah, ayo pergi." Aku hanya terus mengangguk.
Rasanya seperti atmosfernya tiba-tiba berubah sama sekali.
Setelah
berpergian sejauh ini dengan Kirito, apa mungkin perasaanku berubah?
Atau aku terbawa suasana--- yang manapun, aku sama sekali tidak merasa
kalau ini adalah pertemuan yang mengancam nyawa.
Lebih dari setengah pengalamanku adalah menempa senjata, jadi aku belum pernah memasuki medan tempur yang kejam.
Tapi
aku merasa orang ini berbeda. Dia punya tatapan yang hanya dimiliki
oleh orang yang bertarung setiap hari di tempat paling berbahaya yang
mungkin.
Aku terus berjalan dengan emosi campur aduk sebelum sebentar kemudian kita tiba di bagian tengah puncak.
Dengan
cepat kita melihat kesana-kemari, tapi tidak menemukan tanda apapun
dari naga putih. Namun, kita melihat sebuah wilayah yang tersegel oleh
pilar-pilar kristal---
"Wow..."
Di
situ terdapat sebuah mulut gua raksasa yang berdiameter setidaknya
sepuluh meter. Cahaya yang terpantul di dinding menjangkau jauh ke dalam
lubang, sementara kegelapan yang tak tertembus menutupi wilayah yang
lebih dalam lagi.
"Dalem banget..."
Kirito
menendang sebuah bongkahan kecil kristal ke dalam lubang itu. Kristal
yang jatuh itu berkilau sesaat sebelum sama sekali menghilang tanpa
suara.
"Jangan jatuh."
"Ga bakalan!"
Tidak
lama setelah aku menjawab, sebuah lengkingan liar yang tajam menembus
keluar dari gua itu dan menjalar ke seluruh gunung melalui udara yang
ternoda biru oleh matahari terbenam.
"Sembunyi di balik situ!"
Kirito
menunjuk ke arah sebuah pilar raksasa terdekat dan berbicara dengan
nada memerintah. Aku buru-buru mengikuti instruksinya sambil melambai
berlebihan pada bayangan Kirito dan berteriak:
"Hei...
serangan naga putih itu adalah sayatan menggunakan kedua cakar, tiupan
yang membekukan, dan serangan badai salju... h- hati-hati!"
Setelah
dengan cepat menambahkan kalimat terakhir itu, aku melihat Kirito, yang
menjaga punggungnya tetap ke arahku, sok keren memberi tanda oke dengan
tangan kirinya. Ruang kosong di depannya mulai bergetar, dan sebuah
sosok besar meledak keluar dari lubang tersebut.
Berbagai
macam poligon-poligon besar berbentuk aneh muncul dalam aliran yang
berkelanjutan. Selagi terus bermunculan--- mereka saling bersambungan
satu dengan yang lain dan identitas sosok besar itu pun makin jelas.
Jeritan yang menggentarkan orang menggaung tak terkendali sekali lagi.
Tak terhitung banyaknya pecahan yang terhambur keluar ke semua arah
sebelum menghilang ke dalam sinar cahaya.
Seekor naga
putih yang ditutupi semacam sisik dari kaca es muncul. Pelan-pelan dia
mengepakkan sayapnya yang besar selagi melayang-layang di langit.
Situasinya menakutkan--- atau mungkin lebih pantas digambarkan sebagai
sangat sangat indah. Dia membelalak dengan matanya yang besar, terwarnai
merah delima, memberikan tatapan merendahkan pada kita berdua.
Kirito
dengan tenang menggapaikan tangannya menuju punggungnya dan
menghunuskan pedang satu-tangannya yang hitam legam dengan nada
sempurna. Kemudian, seakan suara itu mengirimkan sebuah sinyal, sang
naga putih membuka rahang raksasanya--- dan dengan suara keras,
menyemprotkan gas putih yang bergelombang.
"Itu tiupannya! Lari dari situ!"
Meskipun
aku berteriak, Kirito tidak bergeming. Dia berdiri tegak sempurna dan
melambung ke atas dengan pedang di tangan kanannya.
Ga mungkin senjata setipis itu bisa menangkis sebuah serangan tiupan---
Segera
setelah aku memikirkannya, pedang Kirito mulai berputar seperti kincir
angin yang berpusat di tangannya. Berdasarkan efeknya yang berwarna
hijau muda, pastilah itu sebuah skill pedang. Dalam hanya sedetik,
pedang tersebut mencapai kecepatan yang tak terlihat oleh mata manusia
dan tampak seperti perisai cahaya.
Tiupan es itu
mengalir langsung ke arah perisai cahaya selagi memancarkan cahaya putih
yang memusingkan, memaksaku untuk mengalihkan kedua mataku. Tapi, saat
menghantam pedang-perisainya Kirito, udara dingin itu terhambur seperti
teruapkan.
Aku lekas fokus pada badan Kirito untuk memastikan HP nya.
Mungkin
memang mustahil untuk benar-benar menangkis tiupan itu, karena bar
nyawanya pelan-pelan terkuras. Tapi yang mengejutkan adalah, luka yang
diterimanya sudah pulih hanya dalam beberapa detik. Ini pasti skill
bertarung «Battle Healing» yang levelnya sangat tinggi--- tapi untuk
menaikkan skill ini, orang tersebut harus menerima luka pertarungan yang
sangat banyak. Mempertibangkan lantai yang sekarang, mustahil melakukan
itu tanpa membahayakan dirinya.
Kirito... siapa dia...?
Baru
sekarang aku mulai benar-benar penasaran mengenai identitas swordsman
hitam ini. Kekuatannya yang tak masuk akal membuatnya terlihat seperti
pemain kunci strategis. Tapi namanya tidak termasuk ke dalam daftar
pemain guild terkuat yang didominasi KOB.
Saat ini,
Kirito, yang telah memprediksi dengan akurat akhir dari serangan es yang
gencar ini, mulai bergerak. Dia menerobos kabut bersalju dan meloncat
menuju sang naga yang tengah mengambang di udara.
Normalnya,
ketika menghadapi musuh yang terbang, seseorang harusnya menyerang
pertama kali dengan tombak atau sejenis senjata lempar; hanya setelah
senjata jarak jauh tersebut memukul jatuh musuh ke darat dahulu baru
para pemakai senjata jarak dekat ikut bertarung. Tapi secara
mengejutkan, Kirito terbang ke atas sampai dia hampir menyentuh kepala
naga putih itu, dimana dia mulai mengawali kombinasi teknik pedang
berturut-turut di udara.
Dengan dentingan tajam,
serangan gencar Kirito menghantam torso naga putih pada kecepatan lebih
cepat dari yang bisa diikuti mata manusia. Meski naga putih itu membalas
dengan kedua cakarnya, perbedaan kemampuan mereka berdua terlalu jauh.
Saat Kirito sudah pelan-pelan mendarat ke tanah, bar HP naga putih itu sudah berkurang lebih dari sepertiganya.
...Ini pembantaian satu arah. Menonton pertarungan luar biasa ini membuat badanku tak henti-hentinya bergidik.
Tiba-tiba
naga putih itu menyasar Kirito yang mendarat dan meletuskan tiupan
esnya, tapi kali ini dia berlari untuk menghindari serangan itu dan
kemudian kembali meloncat ke udara. Dengan suara yang berat dan dalam,
sebuah serangan yang kuat menghantam sasarannya, dan HP naga putih itu
pun berkurang signifikan.
Bar HP nya langsung berubah
dari kuning ke merah, pertarungan itu harusnya berakhir hanya dengan
satu atau dua serangan lagi. Aku memutuskan kali ini aku akan memuji
kemampuan Kirito dengan jujur dan mengambil langkah maju dari balik
pilar kristal.
Saat itu juga, seakan dia punya mata di belakang kepalanya, Kirito tiba-tiba berteriak:
"Bodoh! Jangan keluar dulu!"
"Apa? Jelas-jelas sudah mau selesai kan? Cepet selesaikan aja deh..."
Begitu aku menjawab dengan suara keras---
Naga
itu, terbang lebih tinggi lagi dari yang tadi, membentangkan penuh
sayapnya. Begitu sayapnya terkepak ke depan, salju yang tepat di bawah
naga itu meletup beterbangan.
"......?"
Aku
berdiri membeku terkejut oleh adegan di hadapanku. Kirito menancapkan
pedangnya ke tanah beberapa meter di depanku dan menggerakkan mulutnya
seperti ingin memberitahuku sesuatu, namun sosoknya segera terhalangi
oleh salju. Sesaat kemudian sebuah tekanan yang hebat, seperti sebuah
dinding angin, menghantam dan dengan mudah meniupku ke udara.
Sial... serangan badai salju!
Saat
aku terguling di udara, aku akhirnya ingat apa yang aku sendiri ucapkan
mengenai serangan naga putih. Untungnya, skill ini daya serangnya tidak
besar, jadi aku hampir tidak mendapat luka apapun. Aku membuka lebar
kedua lenganku dan mengambil postur mendarat.
Tapi begitu saljunya menghilang--- tidak ada pijakan di tanah di hadapanku.
Itu lubang raksasa yang ada di puncak gunung. Aku telah tertiup ke udara tepat di atas lubang raksasa ini.
Pikiranku langsung berhenti; seluruh tubuhku benar-benar membeku.
"Kau pasti bercanda..."
Dengan
pikiranku yang sama sekali lumpuh, aku hanya bisa menggumamkan
kata-kata itu, seraya tangan kananku menggapai udara sia-sia---
...Sebuah tangan yang hanya ditutupi sarung tangan kulit berwarna hitam tiba-tiba menyambar jemariku.
Mataku yang tak fokus tiba-tiba terbelalak.
...!
Kirito,
yang tadi menghadapi naga putih itu di tempat yang jauh, berpacu ke
sini dengan kecepatan menakutkan dan melompat ke udara tanpa ragu-ragu.
Dia menarik tangan kanannya untuk menggenggam tangan kananku lalu
menarikku dalam dekapannya. Setelah itu dia melonggarkan lengan kanannya
untuk melingkarkannya pada punggungku dan memelukku dengan erat.
"Pegangan yang kuat!"
Mendengar
suara Kirito bergaung di samping telingaku, aku lupa diriku sendiri dan
memeluk erat badannya dengan kedua lenganku. Kita mulai jatuh sekejap
kemudian.
Di tengah mulut gua itu, kita berdua jatuh
lurus ke bawah sambil berpelukan satu sama lain. Angin menderu-deru di
telinga dan mantel kita berkibar liar.
Kalau lubang
ini terus memanjang ke bawah sampai ke permukaan lantai, maka jatuh dari
ketinggian ini artinya kematian yang pasti. Pikiran ini tiba-tiba
melintas di benakku, tapi aku hanya tidak merasa ini benar-benar terjadi
sekarang. Yang bisa kulakukan hanyalah terbengong menatap lingkaran
cahaya putih yang menghilang.
Tiba-tiba, lengan kanan
Kirito yang memakai pedang mulai bergerak. Dia mengangkat pedang itu
dengan paksa dan mengayunnya ke depan. Sebuah kilatan cahaya meletup,
ditemani oleh gema keras 'clang' dari logam yang saling berbenturan.
Gaya
tolaknya mengubah lintasan jatuh kita, mendorong kita menuju dinding
gua. Dinding beku yang biru pelan-pelan mendekat, dan aku tak bisa
berbuat apapun selain menggigit gigiku. Kita akan tabrakan---!
Tepat
sebelum kita akan membentur dinding, Kirito mengangkat pedang di tangan
kanannya sekali lagi dan menusukkannya ke dinding dengan kekuatan
penuh. Percikan api meledak keluar seakan senjata itu membentur batu
asah. Serangan tiba-tiba itu mengurangi kecepatan jatuh kita, namun
tidak mampu untuk benar-benar menghentikan kita jatuh.
Suara
lengkingan dari logam yang memotong berlanjut selagi pedang Kirito
terus memotong dinding esnya. Aku memutar leherku untuk melihat ke bawah
dan sadar bahwa kita sudah bisa melihat dasar gua yang tertutup salju.
Aku mengamatinya makin dekat dan dekat, sampai hanya ada sekitar
beberapa detik lagi yang tersisa sebelum kita tabrakan. Aku setidaknya
ingin menahan diri dari berteriak, jadi aku menggigit bibirku dan
memeluk erat Kirito.
Kirito melepaskan pedangnya,
menggunakan kedua lengannya untuk memelukku dengan erat, dan memutar
badannya supaya dia yang berada di bawah. Lalu---
Sebuah benturan. Suaranya amat keras.
Kepingan-kepingan
salju yang terlempar ke udara oleh gaya yang dihasilkan oleh jatuhnya
kita mulai mendarat dengan pelan di pipiku sebelum meleleh.
Sensasi
dinginnya menarik kembali pikiran-pikiranku yang terpencar. Aku membuka
mataku, dan pandanganku bertemu dengan bola mata hitam Kirito yang
berbaring sangat dekat sekali dariku.
Kirito masih memelukku dengan erat; dia mengangkat sudut mulutnya dan tersenyum lemah.
"...Masih hidup?"
Aku balas mengangguk dan menjawab:
"Iya, masih hidup."
Selama
beberapa lusin detik--- atau mungkin beberapa menit, kita hanya
berbaring diam dalam posisi itu. Panas dari tubuh Kirito membuatku bisa
tenang dan mengosongkan pikiran.
Setelah beberapa
saat, Kirito melepaskan lenganku dan kembali berdiri pelan-pelan.
Pertama dia mengambil pedangnya yang jatuh dekat situ dan
mengembalikannya ke inventarisnya, setelah itu menarik keluar sebuah
botol yang sepertinya adalah ramuan penyembuh kelas atas dari kantong di
pinggangnya, dia juga mengambil sebotol lagi untukku.
"Udah, minum aja."
"...Oke."
Aku
mengangguk dan duduk untuk menerima ramuan itu sambil memeriksa bar HP
ku sendiri. Aku masih punya sekitar sepertiga, tapi Kirito, yang
langsung membentur tanah, sudah sampai di zona merah.
Aku
menarik sumbatnya dan meneguk cairan manis itu dalam satu tarikan
nafas, lalu berpaling pada Kirito. Masih dalam posisi rileks, aku mulai
menggerakkan bibir yang kesulitan mengatakan hal baik.
"Ummm... ma-makasih udah menyelamatkanku..."
Kirito memperlihatkan dengan lemah seringainya yang biasa dan menjawab:
"Masih terlalu cepat berterima kasih kepadaku."
Dia melirik langit sesaat.
"...Syukurlah naga putih itu tidak mengejar kita, tapi gimana caranya kita keluar dari sini..."
"Eh... kita ga bisa teleport aja?"
Aku menggapai saku celemekku dan mengambil sebuah kristal biru berkilauan untuk menunjukkan pada Kirito. Tapi---
"Sepertinya itu ga bisa, perangkap ini dibuat khusus untuk pemain, aku ragu kita bisa keluar segampang itu."
"Kenapa bisa begini..."
Kirito
mengisyaratkan padaku dengan matanya untuk mencobanya, jadi aku
menggenggam kristal itu dengan erat dan memberi perintah:
"Teleport! Lindus!"
...Teriakanku menggema kosong pada dinding yang beku sebelum akhirnya menghilang. Kristal itu hanya terus berkedip dengan bisu.
Kirito meremas pelan bahuku tanpa membuat suara apapun.
"Kalau
kupikir kita bisa memakai kristal, pastinya tadi sudah kupakai waktu
kita jatuh. Tapi karena tempat ini rasanya adalah zona anti kristal..."
"..."
Kepalaku jatuh dalam keputusasaan; Kirito meletakkan tangannya di kepalaku dengan sebuah 'pat' dan mengusutkan rambutku.
"Udah udah, jangan nangis. Kalau kita ga bisa memakai kristal, pasti ada jalan lain untuk keluar dari sini."
"...Mungkin enggak, mungkin ini adalah lubang tak bisa keluar yang menjamin kematian... atau harus kubilang, kita sudah mati!"
"Hmmm, kamu bener juga."
Menonton Kirito mengangguk setuju sekali lagi membuatku kehilangan semua energi di badanku.
"Si... sikap kamu gimana! Kamu bisa sedikit lebih positif lagi ga sih?"
Setelah aku tiba-tiba berteriak, Kirito tersenyum dan berkata:
"Ekspresi marah itu jauh lebih seperti kamu, pertahankan terus ya!"
"Wha......"
Pipiku bersemi merah dan tubuhku membeku di tempat. Kirito lalu mengangkat tangannya dari kepalaku dan kembali berdiri.
"Yah, ayo kita coba beberapa hal. Ada ide?"
"..."
Aku
tersenyum pahit pada Kirito, yang jelas-jelas tidak terpengaruh oleh
situasi kita sekarang dan mempertahankan sikapnya yang biasa. Merasa
sedikit lebih gembira, aku menampar pipiku dengan kedua tangan lalu
berdiri.
Aku mengamati sekelilingku; bagian bawah gua
ini adalah permukaan es yang datar dengan sedikit salju. Diameternya
harusnya sekitar 10 meter persis seperti mulut gua. Dinding es di dekat
puncaknya terus memantulkan cahaya matahari terbenam, namun tempat ini
sebentar lagi akan benar-benar ditelan kegelapan.
Aku
mengamati sekitarku, tetapi tidak ada jalan keluar yang kelihatan baik
di dinding maupun di lantai. Aku menaruh kedua tanganku di pinggang,
memeras otakku, dan memberi tahu Kirito ide pertama yang terpikir
olehku.
"Mm... bisa kita minta tolong seseorang?"
Kirito menyangkalnya seketika:
"Uh.. kayaknya tempat ini dianggap sebuah dungeon."
Pemain
yang didaftarkan sebagai 'teman', seperti Asuna dalam kasusku, bisa
berkomunikasi melalui sejenis pesan disebut 'pesan pribadi'. Tetapi,
fungsi tersebut tidak bisa digunakan di dalam dungeon, 'sistem jejak'
juga tidak bisa digunakan untuk menemukan mereka.
Aku membuka layar pesan dalam harapan buta, tapi seperti kata Kirito, memang tidak bisa.
"jadi... gimana kalau kita berteriak pada pemain lain yang datang memburu naga itu?"
"Kurasa kita sekitar 80 meter jauhnya dari atas, jadi kuduga suara kita ga akan mencapai sejauh itu."
"Kurasa iya... Tunggu! Sekarang kamu yang ngasih ide!"
Ketika
aku mengecam Kirito, kesal karena dia terus menerus menyangkal
ide-ideku, dia menjawab dengan sesuatu yang tak masuk akal:
"Lari di dinding."
"......Kamu bodoh ya?"
"Yaaa, ayo kita cari tahu."
Selagi
aku menatapnya dengan ekspresi tercengang, Kirito berjalan ke salah
satu sisi gua dan mulai berlari menuju dinding di sisi yang berlawanan
dengan kecepatan yang tak wajar. Salju beterbangan dari lantai dan badai
angin menerpa mukaku.
Persis sebelum dia menabrak
dinding, Kirito menundukkan badannya dan melompat ke atas dengan gaya
ledakan. Dia menginjak dinding di ketinggian yang tak bisa dipercaya dan
kemudian mulai berlari secara diagonal di dinding tersebut.
"Ya tuhan..."
Selagi
aku menonton dengan kagum, Kirito sudah jauh di atasku dan berlari ke
atas dalam pola spiral di dinding seperti salah satu ninja dari film
kelas tiga. Siluetnya semakin kecil dan kecil---
Lalu, ketika dia sepertiga perjalanan ke atas, tiba-tiba dia terpeleset.
"Ahhhhhhhh!!!"
Kirito menggelepar selagi dia jatuh menuju kepalaku.
"Kyaaaaa!!!"
Begitu
aku mengelak mundur sambil berteriak, muncul lubang berbentuk manusia
tepat di tempat aku berdiri tadi. Semenit kemudian, setelah Kirito
menghabiskan ramuan penyembuhnya yang kedua, aku duduk di sampingnya dan
mengeluh.
"Aku tahu kamu itu idiot, tapi aku ga pernah kebayang kalau kamu sebodoh ini..."
"Aku bisa berhasil kalau ancang-ancangnya lebih panjang lagi."
"Ga mungkin."
Aku langsung membalas dengan pelan.
Kirito
mengabaikan ucapanku dan kembali memasukkan botol ramuan yang kosong ke
kantongnya. Setelah merenggangkan lengannya, dia berkata:
"Yah, udah terlalu gelap, jadi kita berkemah di sini aja.
"Untungnya, kupikir ga akan ada monster yang akan muncul di lubang ini."
Matahari sudah terbenam, dan dasar lubang ini sudah menjadi lumayan gelap.
"Sepertinya iya..."
"Kalau begitu..."
Kirito
membuka sebuah layar dan mewujudkan beberapa barang. Sebuah lentera,
panci, beberapa kantong kecil yang aku tidak tahu gunanya apa, dan dua
gelas pun muncul.
"...Kamu selalu bawa-bawa ini?"
"Aku lumayan sering berkemah di luar."
Ujarnya dengan ekspresi begitu serius hingga aku tidak berpikir kalau dia bercanda.
Dia
mengklik lenteranya; lentera itu menyala dengan suara fwoosh dan
menerangi sekitarnya dengan cahaya oranye yang lembut. Kirito menaruh
pancinya di atas lentera itu, kemudian memasukkan beberapa bongkah salju
sebelum menuangkan isi kantong kecil tadi. Dia menutup panci itu dengan
tutupnya dan meng-dobel klik-nya; sebuah layar timer memasak pun
muncul.
Aku segera mencium aroma herbal. Sekarang aku
baru sadar, aku belum makan apa-apa selain hotdog tadi pagi. Perutku
tiba-tiba menuntut makanan dengan keras seakan baru saja ingat kalau dia
kelaparan.
Timer masaknya menghilang dengan suara 'pin pon,' kemudian Kirito membagi isi panci itu ke dalam dua gelas.
"Jangan terlalu berharap, keahlian memasakkku nol."
"Makasih..."
Kehangatannya
berpindah ke tanganku melalui gelas yang diserahkan Kirito padaku.
Isinya adalah sop sederhana dari daging kering dan bumbu-bumbu dari
tumbuhan, namun level bahan-bahannya sepertinya tinggi dan rasanya lebih
dari enak. Panasnya juga menyebar ke seluruh tubuhku yang dingin.
"Perasaan ini misterius banget... Aku ga merasa kalau ini nyata."
Aku bergumam sambil meminum sopnya.
"Maksudku situasi ini, berkemah di wilayah yang belum terjamah dan makan bersama orang tak dikenal..."
"Ah, iya juga... itu karena kamu pengrajin. Aku melakukan PuG
[33] dengan pemain-pemain lain dan lumayan sering berkemah dengan mereka."
"Hmm, beneran? ...ceritain dong padaku, tentang dungeon-dungeon dan semuanya."
"Huh? Mm...oke. Walau menurutku sih ga menarik... oh tunggu, sebelum aku mulai......"
Kirito
mengumpulkan gelas-gelas yang kosong serta panci, lalu mengembalikannya
ke dalam inventarisnya. Dia membuka panelnya lagi dan mewujudkan dua
benda yang terlihat seperti bongkahan pakaian yang tergulung.
Setelah
dia membukanya, terungkap bahwa itu adalah kantong tidur. Penampilannya
sama persis dengan yang di dunia nyata, hanya saja lebih besar.
"Ini barang-barang kelas atas. Menjaga panas dengan sempurna, ditambah efek sembunyi dari monster agresif."
Dia
melemparkan satu kepadaku sambil tersenyum. Sewaktu aku
menghamparkannya di atas salju, ukurannya nampak bisa memuat tiga orang
seukuranku. Tercengang oleh ukurannya, aku berkata pada Kirito:
"Kamu hebat juga membawa barang-barang ini kemana-mana, dua lagi......"
"Yaa aku harus memanfaatkan inventarisku untuk sesuatu kan."
Kirito
lekas menanggalkan equipmentnya dan berbaring di kantong tidur sebelah
kiri. Aku juga menanggalkan mantel dan gadaku, lalu berguling masuk ke
dalam kantong tidur. Memang barang kelas atas; di dalamnya sangat
hangat, dan jauh lebih lembut dari kelihatannya. Kita terpisah sejauh
satu meter dengan lentera diantaranya. Tapi aku masih merasa sedikit...
malu, jadi aku berbicara lagi untuk menghilangkan kesunyian:
"Mm... iya, lanjut dengan ceritanya..."
"Oh, tentu..."
Kirito
pelan-pelan mulai bercerita setelah dia meletakkan kepalanya di atas
tangannya. Dia bercerita waktu dia dijebak oleh MPK--- para kriminal
yang dengan sengaja mengumpulkan massa untuk menyergap pemain-pemain
lain di dalam dungeon, dan bertarung melawan gerombolan bos dengan
damage kecil tapi HPnya ga kira-kira untuk dua hari penuh dengan
bergiliran tidur dengan pemain-pemain lain. Ada juga waktu dia melempar
dadu dengan seratus pemain lain untuk sebuah item langka. Semua
ceritanya menggetarkan, menyenangkan, dan sedikit menggelikan.
Cerita-ceritanya juga membuat satu hal menjadi jelas--- dia adalah
seorang Clearer, mereka yang mempertaruhkan nyawa di garis depan. Tapi
juga berarti orang ini dibebankan dengan nasib ribuan pemain. Dia bukan
jenis orang yang harus membahayakan nyawanya hanya untuk
menyelamatkanku.
Aku berpaling pada Kirito dan memandang wajahnya. Matanya yang hitam memantulkan cahaya dari lentera.
"Hei... Kirito, boleh aku tanya sesuatu...?"
"...Kenapa tiba-tiba serius?"
"Kenapa
kamu menolongku waktu itu...? Ga ada jaminan kamu bakal berhasil. Yah,
lebih mungkin kalau kamu cuma akan mati bersamaku, jadi...
kenapa......?"
Ekspresi Kirito mengeras untuk sesaat, tetapi dia segera mengendur ke wajahnya yang biasa dan merespon dengan suara tenang:
"...Aku
lebih memilih mati bersama mereka daripada menyaksikan orang lain mati
tanpa melakukan apa-apa. Apalagi kalau orang itu adalah cewek seperti
kamu, Lis."
"...Kamu memang bener-bener idiot. Kamu mungkin cuma satu-satunya orang yang bakal ngomong kayak gitu."
Walau
aku membalas dengan ketus, mataku tidak mampu menahan air matanya.
Sebagian hatiku sakit, dan aku mencoba sekeras mungkin untuk
mengendalikan dan menyembunyikannya. Aku belum pernah mendengar
kata-kata sekeras kepala, setulus, dan sehangat itu semenjak aku datang
ke dunia ini. Tidak, aku bahkan belum pernah mendengar kata-kata seperti
itu sebelumnya di dunia nyata.
Perasaan tersiksa dari
kesendirian dan keinginan untuk lebih berinteraksi dengan orang lain
yang telah terkubur dalam di sudut hatiku tiba-tiba berkobar dan
menelanku seperti badai. Aku ingin kehangatan Kirito cukup dekat untuk
hatiku merasakannya---
Tanpa menyadarinya, kata-kata itu tercurah keluar dari mulutku:
"Maukah kamu... menggenggam tanganku?"
Aku berbalik ke arah Kirito, menarik lengan kananku keluar dari kantong tidur, dan menggapaikannya ke sebelah kiriku.
Mata
Kirito sedikit terbelalak, tapi dia menjawab 'iya' dengan suara pelan
lalu mengulurkan tangan kirinya. Begitu jemari kita bersentuhan, kita
berdua menyentakkan tangan masing-masing untuk menjauh sesaat, tapi
kemudian mengulurkannya lagi untuk saling berpegangan tangan.
Aku
menggenggam erat tangan Kirito, yang jauh lebih hangat dari sop yang
baru saja kumakan. Meski punggung tanganku masih terletak di atas es,
aku tidak merasa kedinginan. Aku merasakan kehangatan manusia. Aku
merasa aku akhirnya memahami kerinduan apa yang mengendap di sudut
hatiku semenjak aku datang ke dunia ini.
Karena aku
takut menjadi sadar dengan fakta bahwa dunia ini adalah sebuah ilusi---
bahwa tubuh asliku berada di suatu tempat yang jauh, tidak terjangkau
seberapapun kerasnya aku mencoba, aku terus membuat tujuan untuk diriku
dan memfokuskan segalanya pada pekerjaanku. Aku meyakinkan diriku kalau
menaikkan level skill blacksmithku dan mengembangkan tokoku adalah
kenyataanku.
Tetapi sebagian diriku selalu menyadari
kalau semua ini palsu, tidak lebih dari sekedar data. Yang kudambakan
adalah kehangatan manusia asli.
Tentu saja, badan
Kirito juga adalah data. Kehangatan yang kurasakan sekarang hanyalah
sinyal-sinyal elektronik untuk direspon otakku. Namun aku akhirnya
menyadari bahwa itu tidak masalah. Aku bisa merasakan hatinya--- baik di
dunia nyata maupun di dunia buatan ini, inilah satu-satunya kebenaran
yang ada.
Begitu aku menggenggam erat tangan Kirito,
aku tersenyum dan menutup mataku. Walaupun jantungku berdetak sangat
cepat, sayangnya aku cepat tertidur dan kesadaranku terseret ke
kegelapan yang nyaman.
Bagian 3
Wangi
manis yang menyegarkan perlahan-lahan singgah di hidungku; Pelan-pelan
kubuka mataku dan melihat seluruh dunia diliputi oleh sinar putih.
Cahaya fajar, yang sudah terpantul beberapa kali oleh dinding es,
membuat salju di dasar gua tampak gemerlapan.
Aku
menggeser mataku dan melihat sebuah teko bertengger di atas lentera,
dengan uap yang bergoyang di atasnya. Sepertinya wangi ini berasal dari
situ. Di depan lentera itu duduk seseorang yang wajahnya hanya bisa
kulihat dari samping. Namun begitu aku melihat sosoknya, nampaknya api
kecil dalam hatiku telah menyala.
Kirito menolehkan kepalanya, mengungkapkan senyuman kecil, dan berucap:
"Pagi."
"......Pagi."
Jawabku.
Selagi aku bersiap untuk bangun, aku sadar bahwa tangan kananku, yang
harusnya bergantung keluar saat aku pergi tidur, sudah terletak kembali
dengan rapi di dalam kantong tidur. Kubawa kehangatan yang tertinggal di
telapak tangan ke bibirku, lalu melonjak seketika.
Kirito
membawakanku cangkir panas, yang baru saja menggeliat keluar menuju
salju. Setelah mengucapkan terima kasih, kuterima cangkir itu dan duduk
di sampingnya. Isinya adalah sejenis teh bunga beraroma mirip mint yang
belum pernah kurasa sebelumnya. Pelan-pelan aku meminumnya seteguk demi
seteguk. Memperkenankannnya tenggelam dengan lembut ke dalam badanku.
Hatiku menghangat gembira.
Aku menggeser badanku,
menyandarkannya tepat pada Kirito. Begitu aku memutar kepalaku, mata
kita bertemu sekejap sebelum lekas berpisah. Selama sebentar, hanya
suara dua orang meminum teh yang terdengar.
"Hei......"
Akhirnya, berbisik dengan suara pelan selagi mataku terus menatap cangkirku.
"Hmmm?"
"......Kalau kita benar-benar gak bisa keluar dari sini, kita mau ngapain?"
"Tidur setiap hari."
"Cepet banget jawabnya. Pikirkan sedikit lebih serius lagi dong!"
Aku tersenyum sambil mendorong lengan Kirito dengan sikuku.
"......Tapi, itu gak buruk juga sih......"
Setelah mengatakannya, aku mulai menyandarkan kepalaku menuju bahu Kirito—
"Ah......!?"
Tiba-tiba Kirito menjerit dan condong ke depan. Aku, kehilangan sandaran, berakhir jatuh ke tanah dengan bunyi gedebur.
"Duuh, tadi itu kenapa!"
Aku
mengeluh marah selagi menegakkan kembali batang tubuhku, namun Kirito
berdiri bahkan tanpa menoleh kembali. Menyusul kemudian, ia berlari
menuju bagian tengah lubang melingkar ini.
Karena curiga, aku juga bangun dan mengikutinya.
"Apaan sih?"
"Oh, tunggu sebentar......"
Kirito
berlutut di lantai dan mulai menyingkirkan salju, yang menumpuk di
tanah, dengan kedua tangannya. Dia lekas menggali lubang yang dalam
selagi bunyi kikisan berkumandang. Lalu-
"Ah!?"
Sorot
cahaya keperakan tiba-tiba berkilas ke dalam mataku. Sesuatu yang
terkubur jauh di dalam salju memantulkan sinar matahari terbit.
Kirito
menggali keluar benda itu, mengambilnya dengan kedua tangan, lalu
kembali berdiri. Tak mampu menahan rasa penasaran, aku mengintainya dari
jarak yang teramat dekat.
Benda itu persegi empat,
putih keperakan, transparan. Cuma sedikit lebih besar dari kedua tangan
Kirito. Bentuknya familiar, dengan ukuran yang familiar— sebongkah
material logam. Tapi aku belum pernah lihat yang berwarna seperti ini.
Kusentuh
pelan material itu dengan jari tangan kananku. Sebuah layar otomatis
langsung muncul. Nama benda itu "Bongkahan Crystalite".
"Ini— ini bukannya..."
Saat aku memandang wajah Kirito, dia pun, mengangguk dengan wajah bingung.
"Ya... Ini logam yang kita cari... kenapa ada di sini ya..."
"Tapi, kenapa itu bisa terkubur di sini?"
"Hmm......"
Kirito
terus menatap bongkahan yang tergenggam di tangan kanannya seraya
berpikir, sebelum melepas keluar ucapan singkat, "Ah..."
"...Naga putih itu memakan kristal...... yang disuling di perutnya menjadi...... Hehe, jadi begitu!"
Tampaknya
dia telah memahaminya dan mulai tersenyum, lalu melemparkan bongkahan
logam itu ke arahku. Aku buru-buru menangkapnya dengan kedua tangan dan
menahannya di dekat dadaku.
"Hei, apaan sih! Jangan cuma berhenti setelah paham sendiri!"
"Gua ini bukan jebakan. Ini sarang sang naga."
"Eh- Eeh?"
"Dengan kata lain, bongkahan itu adalah ekskresi sang naga. Fesesnya."
"Fe..."
Saat pipiku kejang-kejang, aku menjatuhkan pandangan pada bongkahan di dadaku.
"Geeee"
Tanpa berpikir, aku melemparnya kembali pada Kirito.
"Woah"
Yang
dipukul mundur oleh Kirito dengan cekatan menggunakan ujung-ujung
jarinya. Setelah saling melempar satu sama lain seperti anak kecil,
akhirnya kita berhenti dengan Kirito bekerja cepat mengembangkan bidang
itemnya untuk menyimpan bongkahan itu.
"Yah, kalau begitu, tujuan kita sudah tercapai. Sekarang, yang tersisa adalah......"
"Kalau saja kita bisa keluar dari sini..."
Kita berdua menghela nafas seraya bertukar pandangan.
"Untuk sementara waktu, gak ada pilihan lagi selain mencoba apapun yang terpikir."
"Kurasa begitu. Aah, coba aku punya sayap seperti naga..."
Saat aku mengatakannya. Sadar akan sesuatu, kubiarkan mulutku termangu, kehilangan kata-kata.
"...Kenapa, Lis?"
Menghadapi Kirito, yang mengamatiku, dengan kepalanya miring ke samping.
"Hei. Kata kamu tempat ini sarang naga kan?"
"Ah. Selama ada fesesnya, itu..."
"Itu gak penting! Naga itu nokturnal, sekarang sudah pagi, bukannya dia akan pulang ke sarangnya..."
"..."
Selama
sebentar, pandanganku dan pandangan Kirito bertemu, yang terdiam,
kemudian kita berdua menengadah ke langit di pintu masuk lubang. Tepat
pada saat itu...
Jauh di atas, tinggi di udara,
diantara potongan melingkar cahaya putih, lahirlah bayangan hitam
remang-remang. Bayangan itu bahkan bertambah besar selagi kita
menatapnya. Hanya butuh sekejap sebelum aku dapat melihat sepasang
sayap, ekor yang panjang dan empat kaki bersenjatakan cakar.
"Dia... dia..."
Kita mundur bersama. Sayangnya, tentu saja, tidak ada tempat buat kabur.
"Dia datang..."
Kita berdua menjerit sambil mengeluarkan senjata masing-masing.
Sang
naga putih, yang menukik turun ke dalam lubang, menyadari keberadaan
kita dan mengeluarkan raungan bernada tinggi, berhenti persis sebelum
menghantam tanah. Kedua mata merahnya dengan pupil vertikal dipenuhi
rasa bermusuhan yang jelas pada penyusup-penyusup di sarangnya. Akan
tetapi, tidak ada tempat bersembunyi di bawah lubang sempit itu.
Kusiapkan gadaku seraya menekan rasa gugup.
Sama halnya, Kirito menyiapkan pedang satu tangannya dan maju ke hadapanku, berkata dengan cepat.
"Dengar, tetap di belakangku. Langsung minum ramuan setelah kehilangan HP walau sedikit."
"I- Iya..."
Aku cuma mengangguk patuh kali ini.
Sang
naga membuka mulutnya yang besar dan meraung sekali lagi. Kedua
sayapnya menciptakan hembusan angin yang menghempaskan salju ke udara.
"Bitan!" "Bitan!" Ekor panjang sang naga menyentak tanah, setiap hentakan menggali parit yang dalam di permukaan bersalju itu.
Mengacungkan
pedang di tangan kanannya tanpa jeda, untuk memperoleh inisiatif,
Kirito mendadak menghentikan pergerakannya tepat sebelum dia akan
menyerbu maju.
"...Ah... Mungkin..."
Ia berujar dengan suara pelan.
"A- Ada apa?"
"Enggak..."
Tanpa
menjawab pertanyaanku, Kirito menyimpan pedangnya ke dalam sarung, dan
tiba-tiba berbalik lalu merangkulku dengan erat menggunakan lengan
kirinya.
"Ehh!?"
Tanpa mengerti apapun, aku panik dan aku diangkat naik setinggi bahu Kirito.
"H- Hei, kamu mau.. Wahh!!"
Suara
"Zuban!" berbunyi berbarengan dengan hentakannya, dan bersama dengan
itu, pemandangan di sekeliling menjadi kabur. Kirito berlari menuju
dinding dengan tenaga kasar. Persis sebelum menabrak, ia melakukan
lompatan hebat, dan seperti upaya kemarin untuk keluar, ia mulai berlari
di permukaan dinding yang cekung. Namun, seakan tidak punya niat untuk
naik, orbitnya tetap datar. Kepala sang naga yang penuh nafsu makan
berputar dan terus menyasar kita, akan tetapi Kirito terus berlari
dengan kecepatan melampaui yang bisa diikuti sang naga.
Beberapa
detik kemudian, ketika Kirito akhirnya mendarat di dasar lubang, mataku
benar-benar pusing. Akhirnya kubuka mataku setelah mengedipkannya tak
terhingga kali, di hadapanku adalah bagian belakang sang naga. Ia telah
kehilangan kita dan mengayunkan kepalanya ke kiri dan kanan dengan
gelisah.
Baru saja kupikir Kirito berencana untuk
menyerang dari belakang, ia secara mengejutkan diam-diam mendekati sang
naga— Dengan tangan kanannya terulur, dia menggenggam paksa ujung ekor
sang naga yang berayun-ayun.
Di saat itu, sang naga
mengeluarkan pekikan bernada tinggi. Jeritan kaget— atau mungkin itu
cuma khayalanku saja. Merasa makin tidak mampu memahami maksud Kirito,
aku juga baru akan berteriak.
Tiba-tiba sekali, sang naga putih membentangkan kedua sayapnya dan mulai naik dengan tajam dengan kecepatan yang menakutkan.
"Oof!"
Angin
menerpa wajahku. Tanpa waktu untuk memikirkan tentang itu sekalipun,
tubuh kita melayang di udara dengan gaya seperti ditembakkan panah.
Selagi kita berpegangan pada ekor sang naga, ia bergoncang ke kiri dan
ke kanan sambil berlari mendaki lubang. Bagian bawah lubang yang
melingkar itu sangat cepat terpisah jauh.
"Lis! Pegangan!!"
Merespon
suara Kirito, kupegang erat kepalanya tanpa sadar. Cahaya matahari
menyinari bubungan es di sekitar yang menjadi semakin cerah terus
menerus dengan puncak suara angin yang menusuk berubah dengan rumit—
Saat itu kukira dunia meledak dalam cahaya putih, kita terbang keluar
dari lubang.
Saat kubuka mataku yang berkedap-kedip, pemandangan dari atas lantai 55 yang luas menyebar di bawahku.
Tepat
di bawah adalah gunung salju berbentuk kerucut yang cantik. Sedikit
lebih jauh, sebuah desa kecil. Di balik padang salju yang sangat luas
dan hutan tebal, atap tirus dari setiap rumah di distrik utama tergabung
bersama. Adegan dimana ini semua berkilauan, diwarnai cerahnya cahaya
mentari, bahkan membuatku lupa dengan kengeriannya, tanpa sadar aku
bersorak.
"Waa..."
"Yea..!!"
Kirito
juga berteriak keras, dan melepaskan tangan kanannya dari ekor sang
naga. Dia membawaku seperti anak-anak dan mempercayakan dirinya pada
inersia, menari di udara.
Penerbangan itu cuma
beberapa detik, tapi terasa seperti sepuluh kalinya. Aku yakin aku
tersenyum. Luapan angin dan cahaya menyapu bersih hatiku. Emosiku
terhaluskan.
"Kirito— Kamu tahu, aku!!"
Aku berteriak dengan sepenuh hati.
"Apa!?"
"Aku, aku suka kamu!!"
"Apa!? Aku gak dengar!!"
"Bukan apa-apa!!"
Berpegang
erat ke kepalanya, tawaku meledak. Pada akhirnya, momen yang rasanya
hampir seperti keajaiban ini berakhir, kita mendekat ke tanah. Berputar
untuk satu ronde terakhir, Kirito melebarkan kedua kakinya dan mengambil
sikap mendarat.
Saljunya berbunyi, "Bafun!", saat
terbang ke udara. Terbang layang yang panjang. Kita meneruskan
perjalanan menembus kristal putih bagai penggerus salju selagi melambat,
kita akhirnya berhenti di dekat puncak gunung.
"...Fuu."
Kirito menghirup nafas dan meletakkanku ke tanah. Dengan ragu, aku memalingkan kepala dan melepaskan lenganku darinya.
Kita
berdua memandang ke arah lubang besar itu bersama; sang naga yang
sepertinya kehilangan jejak kita pelan-pelan berputar-putar di langit.
Kirito
menempatkan tangannya di pedang yang ada di punggungnya, sedikit
menarik bilahnya, namun segera mengembalikannya ke sarungnya dengan
bunyi cling. Dengan senyum lembut di wajahnya, ia menghadap sang naga
dan berkata lembut.
"...Kamu pasti kesusahan karena
mereka yang datang memburumu sampai sekarang. Begitu cara mendapatkan
itemnya tersebar, orang-orang yang datang untuk membunuhmu juga harusnya
hilang. Jadi mulai sekarang, hiduplah dengan tenang."
...Menghadapi
seekor monster, yang hanya bergerak sesuai algoritma yang diatur
sistem, dan melakukan hal semacam itu; adalah hal yang kuanggap bodoh
sampai kemarin. Namun karena beberapa alasan, entah kenapa sekarang aku
merasa aku bisa menyambut lembut ucapan Kirito ke dalam hatiku.
Menggapai dengan tangan kananku, dengan lembut kugenggam tangan kiri
Kirito.
Kita berdua tanpa suara mengamati adegan ini
saat sang naga putih menolehkan kepalanya, sebelum mengeluarkan pekik
panjang yang jelas dan turun ke sarangnya. Hening.
Sebelum lama, Kirito melirikku, dan bicara.
"Kalo gitu, ayo pulang?"
"Kurasa iya."
"Mau pakai kristal?"
"...Enggak, jalan aja yuk."
Aku menjawab seraya tersenyum dan melangkah maju memegang tangan Kirito. Lalu aku menyadari sesuatu dan memandang wajahnya.
"Ah...Lentera dan kantong tidur dan sebagainya, kita tinggalin ya."
"Kamu baru bilang sekarang... Yah, gapapa sih. Mungkin ada orang yang mau pakai."
Kita
bertukar pandang dan tertawa, kali ini dengan yakin, kita mulai
berjalan pelan melalui jalan setapak gunung, mengikuti jalan pulang.
Kulihat sekilas lingkungan di sekitarku, langitnya jernih, tanpa satu
pun awan di langit.
"Aku pulang!"
Aku membuka pintu rumah tersayangku dengan penuh semangat.
"Selamat datang."
Meski
si NPC wanita penjaga toko yang berdiri di konter hanya membalas
salamku dengan sopan, kulambaikan tanganku dan berbalik, memandang
sekeliling tokoku. Aku pergi cuma sekedar sehari, namun anehnya, tokoku
terlihat segar.
Kirito, yang telah membeli makanan
take-out dari kios yang sama dengan kemarin memasuki toko di belakangku,
dengan hot dog di mulutnya.
"Bagaimanapun sekarang hampir siang, jadi kamu harusnya makan di kios itu saja."
Selagi aku mengutarakan protes, Kirito menyeringai seraya menggerakkan tangan kirinya, memunculkan sebuah layar.
"Sebelum itu, ayo kita buat dulu, pedangnya."
Memanipulasi
inventarisnya dengan cekatan, ia mewujudkan bongkahan perak.
Menangkapnya dengan hati-hati— mengabaikan asalnya untuk sementara— aku
mengangguk.
"Benar, ayo lakukan. Sini ke ruang kerjaku."
Membuka
pintu di belakang konter, bunyi berdebam kincir air menjadi terdengar
jelas lebih keras. Menarik turun tuas di dinding, puputan mulai
bergerak, mengirim udara masuk. Tungku perapian langsung mulai menyala
merah terang.
Dengan lembut kujatuhkan bongkahan itu ke tungku, dan berbalik ke arah Kirito.
"Pedang satu tangan yang lurus aja kan?"
"Yep. Aku mengandalkanmu."
Kirito mengangguk sambil ia duduk di bangku bundar yang diperuntukkan bagi pengunjung.
"Dimengerti. —Cuma peringatan, tapi hasil akhirnya dipengaruhi oleh faktor acak, jadi jangan berharap terlalu banyak ya."
"Kita tinggal pergi lagi kalau ini gagal. Kali ini dengan tali."
"...Ya, tali yang panjang."
Mengingat
jatuh yang hebat itu, tanpa kusadari aku tersenyum. Menjatuhkan
pandanganku ke tungku, aku sadar kalau bongkahannya telah cukup
terbakar. Kukeluarkan ia dengan penjepit, lalu kuletakkan di alas tempa.
Aku mengambil palu smith terbaikku dari dinding,
melakukan pengaturan di menu, dan sekali lagi melirik wajah Kirito.
Menjawab anggukan tanpa suaranya, aku tersenyum, dan dengan gagah
mengangkat palu ke atas kepalaku.
Kutempa semangatku
saat aku memukul logam yang bersinar kirmizi; bersamaan dengan bunyi
"Kan!" yang jelas, kilatan api yang terang melimpah berhamburan di sana
sini.
Di dalam seksi smith di Bantuan Referensi,
mengenai proses pembuatan, "Sesuai dengan jenis senjata yang dibuat, dan
tingkat logam yang digunakan, bongkahan perlu dihantam sebanyak jumlah
tertentu." adalah semua yang tertulis untuk mendeskripsikannya.
Dengan
kata lain, selama menghantam logam dengan palu, kemampuan pemain tidak
berpengaruh; beginilah seharusnya cara membacanya, tetapi ada berbagai
macam jenis rumor dan teori-teori gaib yang beredar tentang SAO, bahwa
presisi dari ritme hantaman dan semangat bertarung sang blacksmith bisa
mempengaruhi hasilnya, pendapat ini sudah melekat erat di benak
masyarakat.
Aku menganggap diriku orang yang rasional,
tapi aku cuma yakin dengan teori ini karena pengalamanku yang panjang.
Oleh karena itu, aku menghilangkan semua pikiran lain selagi memproduksi
senjata, mengkonsentrasikan kesadaranku di tangan kanan yang memukulkan
palu, menghantam tanpa henti dengan pikiran kosong— itulah yang
kupercaya.
Tetapi.
Sewaktu memukul
bongkahan itu, menghasilkan bunyi gemerincing yang menyegarkan, berbagai
pikiran berputar di kepalaku sekarang, tak bisa keluar.
Kalau
pedang ini sukses dibuat, dan permintaannya selesai— Kirito tentu akan
kembali menyelesaikan game di garis depan, dan seharusnya tak akan ada
banyak kesempatan untuk bertemu. Meski dia datang untuk perawatan
pedangnya, paling bagus sepuluh hari sekali.
Yang seperti itu.. Aku tidak mau yang seperti itu. Aku merasa ada suara yang berteriak dalam diriku.
Selagi
lapar akan kehangatan orang lain— enggak, itulah mengapa, itulah
alasannya mengapa aku bimbang untuk memperpendek jarak dengan pemain
pria manapun sampai sekarang. Aku takut musim salju kesepian di dalamku
berubah drastis dengan cinta. Hal itu bukanlah cinta sejati, hanya
angan-angan yang tercipta oleh dunia ilusi; tadinya aku berpikir begitu.
Tapi tadi malam, saat merasakan kehangatan dari
tangan Kirito, aku sadar, perasaan ragu itu adalah duri ilusi yang telah
membelengguku. Aku adalah aku— si blacksmith, Lisbeth, dan di saat
bersamaan, Shinozaki Rika. Kirito juga sama. Bukan karakter dari game,
tapi manusia sungguhan yang hidup. Karenanya, cintaku untuknya; perasaan
ini juga nyata.
Jika aku berhasil menempa pedang yang
memuaskan, aku akan menyatakan perasaanku kepadanya. Bahwa aku ingin
dia berada di sisiku, bahwa aku ingin dia kembali ke rumah ini dari
labirin, setiap hari, itulah yang akan kukatakan padanya.
Di
saat bongkahannya ditempa, kilauannya bersinar sangat terang, perasaan
di dalam diriku juga, tampaknya sudah menegaskan diri. Aku merasa
perasaanku mengalir keluar dari tangan kananku, mengucur pada senjata
yang lahir dari paluku itu.
..Dan akhirnya, saat itu pun datang.
Aku
tak tahu berapa banyak hantaman sejauh ini— mungkin berada diantara dua
ratus sampai dua ratus lima puluh kali— segera menyusul bunyi palu,
bongkahannya melepaskan curahan cahaya putih yang jelas menyilaukan.
Objek
persegi panjang itu berubah bentuk sedikit demi sedikit selagi
bersinar. Bagian depan dan belakangnya mulai membesar, lalu kemudian,
tonjolan yang menyerupai pangkal pedang menggelembung keluar.
"Ohh..."
Melepaskan
bisikan kagum dengan nada rendah, Kirito beranjak dari kursi, dan
mendekat. Begitu kita menonton berhadapan, penciptaan objek itu selesai
dalam hitungan detik, akhirnya menyingkapkan bentuknya sebagai pedang
satu tangan panjang.
Cantik; pedang yang benar-benar
cantik. Sebagai pedang satu tangan panjang, ia terlihat indah. Bilahnya
pucat, dan ramping, walau tidak seramping rapier. Seakan mewarisi sifat
bongkahannya, ia bisa terlihat sedikit bening. Bilahnya berwarna putih
menyilaukan. Gagangnya perak, dengan sedikit bubuhan warna biru.
«Dunia
Dimana Pedang Melambangkan Pemainnya»; bagai mendukung slogan itu,
variasi senjata yang terpasang di SAO terlalu banyak. Jika seseorang
menulis nama khas senjata-senjata di setiap kategori dari awal, katanya
panjangnya akan mencapai ribuan baris.
Berbeda dengan
RPG biasa, keanekaragaman nama senjata makin bervariasi semakin tinggi
tingkat senjatanya. Senjata kelas rendah, misalnya, untuk pedang panjang
satu tangan, «Bronze Sword», «Steel Sword»; untuk yang bernama pasaran
semacam itu, tak terhitung banyaknya jumlah pedang seperti itu yang ada
di dunia ini, tapi bagi senjata-senjata tingkat tertinggi seperti yang
ada di sini sekarang; ambillah misalkan «Lambent Light» Asuna,
kemungkinan besar hanya ada satu di dunia, objek tunggal-untuk-jenisnya
secara harfiah.
Tentu saja, rapier dengan tingkat
kekuatan yang sama, baik buatan pemain atau drop dari monster, mungkin
memang ada. Tetapi setiap dari mereka memiliki penampilan yang berbeda.
Dan dengan itu, senjata level tinggi punya daya tarik tertentu, menjadi
sesuatu seperti rekan tempatmu berbagi jiwa.
Karena
nama senjata dan penampilannya diputuskan oleh sistem, bahkan kami, sang
pembuatnya tidak begitu mengerti. Kuangkat pedang yang gemerlapan di
atas alas tempa itu— atau setidaknya, aku mencoba mengangkatnya; aku
kaget dengan beratnya, yang tidak sesuai dengan penampilan luarnya yang
elegan. Persyaratan kekuatan fisiknya tidak kalah dengan pedang hitam
milik, «Elucidator». Menegangkan punggungku, kuangkat pedang itu
setinggi dada sambil menjerit.
Menyentuh dengan jari
tangan kananku menopang dasar bilah pedang, aku mengkliknya sekali. Aku
melihat layar pop-up yang bangkit ke permukaannya.
"Yah,
sepertinya namanya «Dark Repulser». Aku baru pertama kali mendengarnya,
jadi aku tidak percaya ini disebutkan di daftar informasi toko
sekarang. —Nih, coba aja."
"Aah."
Kirito
mengangguk dan menjangkaukan tangan kanannya, ia mencengkram gagang
pedang ini. Dia mengangkatnya seakan tak terpengaruh dengan beratnya.
Melambaikan tangan kirinya untuk memunculkan menu utama, ia manipulasi
sosok equipmentnya, menyasar sang pedang putih. Dengan ini, pedang itu
akan terpasang pada Kirito dalam sistem, memperkenankan potensi
numeriknya untuk dipastikan.
Namun Kirito langsung
menutup layarnya, dan setelah mundur beberapa langkah, ia menukarnya ke
tangan kiri, mengayunkannya berulang kali dengan bunyi kibasan.
"...Gimana?"
Tanpa menunggu aku bertanya. Kirito diam menatap bilah pedangnya sejenak, namun— segera, dia tersenyum lebar.
"Berat juga ya. ...Pedang yang bagus."
"Beneran!? ...Yesss!!"
Aku
melakukan pose kejayaan dengan tangan kananku tanpa pikir. Dengan
tangan itu terulur, kuadukan ia dengan kepalan tangan kanan Kirito.
Sudah lama sejak aku merasa seperti ini.
Dulu
sekali— saat aku berjualan dari kios di jalan utama lantai sepuluh, aku
merasa seperti ini ketika senjata yang kubuat asal-asalan dipuji
pelanggan. Aku senang aku menjadi seorang blacksmith, itulah perasaanku
sejujurnya, dari dasar hatiku di detik itu. Saat aku terus mengasah
kemampuanku dan pindah untuk berbisnis hanya dengan pemain berlevel
tinggi, aku sudah melupakan perasaan ini sebelum aku menyadarinya.
"...Masalah dengan hatiku, hah... semuanya..."
Menanggapi ucapanku yang keluar sambil lalu, Kirito memiringkan kepalanya dengan muka penasaran.
"Eng- Enggak, bukan apa-apa. -Ngomong-ngomong, minum di suatu tempat yuk. Aku laper."
Meninggikan
suara untuk menyembunyikan rasa maluku, kudorong punggung Kirito dari
belakangnya. Aku bermaksud untuk keluar dari ruang kerja dengan sikap
begitu, tapi— sebuah pertanyaan mendadak menghampiriku.
"...Hei."
"Hm?"
Kirito menoleh ke belakang. Yang tergantung di bahunya; pedang satu tangan yang hitam.
"Ngomong-ngomong—
Di awal, kamu pernah bilang, pedang yang setara dengan yang ini, iya
kan. Pedang putih itu pastinya pedang yang bagus, tapi menurutku gak
beda jauh dengan pedang drop monster itu. Kenapa kamu perlu dua pedang
yang serupa satu sama lain?"
"Aah..."
Kirito berbalik, menatapku dengan ekspresi yang menunjukkan bahwa dia ragu-ragu akan sesuatu.
"Yah, aku gak bisa menjelaskan semuanya. Kalau kamu gak akan bertanya lebih jauh dari itu, aku bisa ngasih tahu."
"Apaan tuh, sok keren."
"Minggir sedikit."
Setelah
aku melangkah mundur ke dinding ruang kerja, dengan pedang putih masih
tergantung, Kirito menarik pedang hitam, dari punggungnya dengan bunyi
bernada tinggi, menggunakan tangan kanannya.
"...?"
Aku
tak bisa memahami tujuannya. Setelah tadi memanipulasi sosok
equipmentnya, dengan sistem sekarang, status equipmentnya seharusnya
hanya pedang di tangan kirinya; menggenggam senjata lain di tangan
kanannya semestinya tidak berguna sama sekali. Sebaliknya, dengan
sesuatu yang terhitung sebagai status equipment yang aneh seperti itu,
mengaktifkan skill pedang tidak dimungkinkan.
Melirik
sekilas wajahku yang kebingungan, Kirito dengan tenang memasang
kuda-kuda dengan pedang kiri dan kanannya. Pedang kanan di depan, pedang
kiri di belakang. Merendahkan pinggulnya sedikit, dan dengan itu, tepat
di detik berikutnya.
Efek kilasan kirmizi meledak, mewarnai ruang kerja dengan warnanya.
Pedang
di tangan Kirito saling bergantian, menyerang sisi depannya dengan
kecepatan yang tak bisa diikuti mata. "Kyubabababa!", bunyi ini
menimulkan tekanan di udara, dan meski tidak menyasar apapun, objek di
dalam ruangan bergoyang.
Jelas itu teknik pedang yang diatur oleh sistem. Tapi— aku gak pernah dengar ada skill yang memakai dua pedang!
Di
depanku, berdiri diam selagi aku menarik nafas, Kirito mengangkat
badannya, usai menyelesaikan teknik serangan berturutan yang mungkin
mencapai sepuluh serangan berantai.
Menyimpan kedua pedang— mengembalikan hanya pedang di tangan kanan ke punggungnya, dia memandang wajahku dan bicara.
"Dan jadi, begitulah. —aku perlu sarung buat pedang ini. Boleh aku milih satu?"
"Ah... I-Iya."
Entah
sudah berapa kali aku dibuat tercengang oleh Kirito. Walau aku harusnya
sudah terbiasa sekarang, untuk sementara, aku memutuskan untuk menahan
pertanyaanku, menggapaikan tanganku ke dinding, menampilkan menu utama.
Menggulung
layar penyimpanan, aku mengamati ringkasan dari stok sarung pedang yang
kukumpulkan dari pengrajin yang dekat denganku. Memilih satu yang agak
mirip dengan yang dipakai Kirito di punggungnya, terbuat dari kulit
berwarna hitam, aku mewujudkannya. Setelah kupasangkan logo kecil
tokoku, aku menyerahkannya pada Kirito. Kirito yang telah menyimpan
pedang putih ke sarungnya dengan bunyi singkat, membuka sebuah layar dan
menyimpannya. Kupikir dia akan memasang keduanya di punggung, tapi
tampaknya tidak seperti itu.
"...Jadi ini rahasia? Yang tadi itu."
"Nn, yaa, iya. Jangan bilang siapa-siapa ya."
"Oke."
Informasi
skill adalah garis hidup terpenting seseorang, jadi kalau dia
menyuruhku untuk tidak bertanya, aku tak akan menanyakannya. Disamping
itu, aku senang dia bahkan membolehkanku mengintip rahasianya, dan
mengangguk dengan senyuman kecil.
"...Kalau begitu."
Kirito meletakkan tangannya di pinggul dan ekspresinya berubah.
"Ini menjadi akhir dari permohonanku. Aku akan membayar pedang ini. Berapa harganya?"
"Aah, tentang itu..."
Aku menggigit bibir sejenak— kuverbalkan jawaban yang selalu bergolak di dalamku.
"Aku gak butuh, pembayaran apapun."
"...Eeh?"
"Sebagai balasannya, Aku ingin Kirito membuatku jadi smith ekslusifmu."
Mata Kirito menunjukkan sedikit tanda terkejut.
"...Maksudmu, apa...?"
"Kapanpun
kamu selesai clearing, datanglah ke sini, dan biarkan aku merawat
equipmentmu... —Setiap hari, dari sekarang, terus menerus."
Detak
jantungku meninggi tanpa batas. Baik perasaan ini dari badan virtualku,
atau mungkin dari jantungku sebenarnya, yang juga berdebar dengan cara
yang sama— aku penasaran tentang itu di sudut pikiranku. Kedua pipiku
terbakar. Setiap bagian wajahku pasti telah benar-benar berwarna merah
sekarang.
Bahkan Kirito, yang selalu menjaga poker
face-nya, sepertinya sudah sadar makna dibalik ucapanku, menundukkan
kepalanya karena malu. Aku selalu mengira kalau dia lebih tua, tapi
setelah melihatnya dalam kondisi begitu, kelihatannya dia dari generasi
yang sama, atau bahkan mungkin lebih muda dariku.
Kukumpulkan keberanianku dan maju selangkah ke depan, merangkul lengannya.
"Kirito... aku..."
Aku
meneriakkan kata-kata itu begitu keras saat kita kabur dari sarang
naga, tapi saat membicarakannya sekarang, lidahku menolak bergerak. Aku
terus menatap bola mata hitam Kirito, berharap kata itu keluar entah
bagaimana— Saat itulah.
Pintu ruang kerjaku dibuka dengan paksa. Aku refleks melepaskan tangan Kirito, dan terloncat.
"Lis, aku khawatir banget!!"
Orang
itu, yang menyerbu masuk seketika, memelukku dengan kekuatan yang sama
dengan suatu hantaman badan selagi berteriak dengan suara besar. Rambut
panjang berwarna kastanye itu menari lembut di udara.
"Ah, Asuna..."
Asuna lanjut berbicara tanpa jeda, menatap wajahku dari dekat, terkunci dalam ekspresi tercengang, setiap saat.
"Pesan-pesan
tidak bisa sampai ke kamu; posisimu di peta bahkan tidak bisa dilacak;
ditambah lagi pelanggan-pelanggan setiamu tidak ada yang tahu apa-apa,
jadi kemana kamu pergi kemarin malam! Aku sampai pergi ke Kastil Besi
Hitam untuk mengeceknya, tahu!"
"Ma- Maaf. Aku terjebak di labirin sebentar..."
"Dungeon!? Lis, kamu pergi sendiri!?"
"Nah, bersama orang itu..."
Aku
menunjuk ke arah diagonal di belakang Asuna dengan lirikanku. Asuna
berputar ke belakang, dan usai menyadari swordsman berpakaian hitam yang
berdiri di situ, terlihat bosan, ia membeku dengan mata dan mulutnya
terbuka kosong. Mengikutinya, dengan suara satu oktaf lebih tinggi—
"Ki- Kirito-kun!?"
"Eeh!?"
Kali ini, aku yang terkejut. Aku memandang Kirito, yang sedang berdiri tegak, seperti Asuna.
Dia terbatuk kecil, lalu bicara seraya mengangkat tangan kanannya.
"Yah, Asuna, lama tidak berjumpa... tidak juga sih, sebenarnya. Cuma beberapa hari."
"I-Iya. ...Mengejutkan ya. Jadi begitu, kamu langsung datang ke sini. Padahal kalau kamu memberitahu aku, aku bisa menemanimu."
Asuna
menyembunyikan telapak tangannya di belakang, dan tergelak malu,
mengetuk lantai berulang-ulang dengan tumit sepatunya. Kulihat pipinya
itu dibubuhi bayangan berwarna merah muda bunga sakura.
Aku mengerti keseluruhan situasinya.
Bukan
kebetulan Kirito datang ke toko ini. Menepati janjinya kepadaku, Asuna
merekomendasikan tempat ini... pada seseorang di hatinya.
...Aku harus bagaimana... aku harus bagaimana.
Yang
meliuk berputar-putar di pikiranku, hanyalah kalimat itu. Aku merasa
panas dari seluruh tubuhku pelan-pelan mengalir keluar dari ujung kaki.
Aku tak punya kekuatan. Aku tak mampu bernafas. Emosiku bertingkah,
tanpa ada cara untuk melepaskannya...
Berbalik menghadap aku yang sedang kaku, Asuna berkata dengan santai.
"Orang ini, apa dia mengatakan hal yang kasar pada Lis? Dia mungkin meminta satu dua hal yang aneh, kan?"
Dan dengan itu, dia sedikit memiringkan kepalanya ke samping.
"Eh... Tapi artinya, kamu bersama Kirito-kun tadi malam?"
"Y... Yaaa..."
Seketika
itu juga aku maju selangkah, menggenggam tangan kanan Asuna, dan
membuka pintu ruang kerjaku. Kulihat Kirito sejenak, dan lekas bicara
sambil mencoba untuk tidak memandang wajahnya.
"Tolong tunggu sebentar. Kita akan segera kembali, jadi..."
Kutarik
tangan Asuna seperti itu, keluar lewat konter. Menutup pintunya, kami
pergi keluar toko melalui celah diantara display windows.
"Tunggu, tunggu, Lis, ada masalah apa?"
Meski mendengar suara Asuna bertanya, tanpa suara aku mengarah ke jalan utama, terus berjalan dengan tempo cepat.
Aku
cuma, tidak kuat lagi untuk berdiri di hadapan Kirito. Jika aku tidak
kabur, sepertinya aku akan sadar bahwa aku kehilangan jalan.
Bagai sudah menyadari kondisiku yang aneh, Asuna mengikuti tanpa bicara. Dengan lembut kulepaskan tangan gadis itu.
Kami
memasuki jalan kecil yang menghadap timur, berjalan sebentar, lalu
menemukan sebuah kafe kaki lima yang terlihat seperti tersembunyi oleh
dinding batu yang tinggi. Tidak ada pelanggan sama sekali. Kupilih meja
di pinggir, dan duduk di kursi berwarna putih.
Asuna mengamati wajahku sambil ia duduk di sisi yang berlawanan, tak memberikan kesan apapun dari pikirannya.
"...Kenapa, Lis...?"
Aku
menegang untuk mengumpulkan sedikit tenaga yang kubisa, senyuman besar
di wajahku. Senyum yang sama seperti biasanya, senyum yang sama dengan
saat kita berbagi gosip dengan ceria.
"...Yaaa, itu orangnya, kan..."
Menyilangkan lenganku, aku bersandar maju untuk memandang wajah Asuna.
"E- Eeh?"
"Orang yang disukai Asuna!"
"Ah..."
Asuna menjatuhkan pandangannya, bahunya terlihat menciut. Ia mengangguk dengan pipinya bersemu.
"...Iya."
Jleb; seraya mengabaikan rasa sakit tajam yang menusukkan diri ke dadaku, kutampilkan senyuman lebar lagi.
"Yah, tentunya dia orang yang aneh; sangat."
"...Apa Kirito-kun melakukan sesuatu...?"
Kukumpulkan seluruh kekuatanku dan membalas dengan anggukan, pada Asuna yang tampak khawatir.
"Dia cuma datang tiba-tiba dan menghancurkan pedang terbaik di tokoku kok."
"Wah... Ma- Maaf..."
"Ini bukan sesuatu yang Asuna harus minta maaf kok."
Melihat
Asuna yang menyilangkan tangan seakan dia sendiri yang melakukannya,
sesuatu yang jauh di dalam hatiku berdebar lebih jauh lagi.
Sedikit lagi... Tinggal sedikit lagi, terus berjuang, Lisbeth.
Berbisik pada diriku sendiri dalam hati, entah bagaimana aku berhasil mempertahankan senyumanku.
"Nah,
jadinya, untuk membuat jenis pedang yang diminta orang itu, ternyata
dibutuhkan logam yang langka, jadi kita pergi ke lantai atas untuk
mendapatkannya. Selagi melakukan itu, kita terjebak dalam sebuah
perangkap kecil gitu; kita kesusahan keluar dari perangkap itu, makanya
aku tidak pulang."
"Jadi begitu... Harusnya kamu panggil aku saja, ah, pesan tidak bisa dikirim juga, hah..."
"Harusnya aku mengajak Asuna juga, maaf ya."
"Tidak, guildku ada aktivitas clearing kemarin, jadi... jadi, kamu tempa pedangnya?"
"Ah, iya. Duh, aku tidak akan mau melakukan pekerjaan menyusahkan seperti ini lagi."
"Kamu benar-benar harus menagih dia harga yang sangat mahal untuk itu."
Kita mulai tertawa bersamaan.
Kusimpan senyuman kecil di mukaku, menyebutkan satu komentar terakhir.
"Yah, dia aneh, tapi pastinya bukan orang jahat. Aku akan mendukungmu, jadi lakukan yang terbaik ya, Asuna."
Itu batasku. Akhir ucapanku gemetar.
"I- Iya, makasih..."
Saat
Asuna mengangguk, dia mencondongkan kepalanya ke samping dan memandang
wajahku. Sebelum dia bisa melihat apa yang tersembunyi di bawah kelopak
mataku, aku mendadak berdiri, dan berkata.
"Ah, oh iya! Aku, aku ada janji untuk membeli sejumlah stok. Aku mau pergi sebentar!"
"Eh, di toko... Kirito-kun gimana?"
"Temani dia, Asuna! Aku mengandalkanmu!"
Aku
berpaling, dan mulai berlari. Kulihat Asuna, di belakangku, dan
buru-buru melambaikan tanganku padanya. Tidak mungkin aku bisa berbalik.
Setelah aku berlari menuju plaza gerbang, ke tempat
dimana aku tidak bisa melihat kafe terbuka itu, kuambil belokan pertama,
membelok ke salatan. Aku bertahan di ujung kota, menyasar wilayah tanpa
pemain, berlari tanpa jeda untuk satu tujuan.
Saat penglihatanku kabur, aku menyekanya dengan tangan kananku. Menyekanya lagi dan lagi selagi berlari.
Saat
kusadari, aku sudah mencapai dinding kastil yang mengelilingi kota.
Sebelum rentangan dinding yang melengkung lembut itu, pohon-pohon besar
ditanam dengan jarak teratur satu sama lain. Aku memasuki bayangan salah
satunya, berdiri diam dengan tanganku di batangnya.
"Uguu... Uu..."
Suaraku
merembes dari tenggorokan, tanpa upaya apapun untuk meredamnya. Air
mata yang telah kutahan mati-matian mengalir keluar satu demi satu,
lenyap setelah mereka mengucur menuruni pipiku.
Ini
kedua kalinya aku menangis sejak datang ke dunia ini. Sejak waktu aku
panik dan menangis di hari pertama aku masuk, aku meyakinkan diriku
bahwa aku tidak akan pernah menangis lagi. Kupikir aku tidak butuh air
mata ini, yang dipaksa mengalir oleh sistem ekspesi emosi. Tapi aku
tidak pernah merasakan air mata yang lebih panas, lebih menyakitkan dari
yang mengalir di pipiku sekarang, meski dibandingkan dengan yang di
dunia nyata sekalipun.
Saat aku mengobrol dengan
Asuna, ada satu hal yang tidak pernah berhasil keluar. "Aku juga suka
dia," ucapan ini nyaris keluar berkali-kali. Tetapi, gak mungkin aku
bisa mengatakannya.
Di tokoku, sesaat setelah aku
menyaksikan Kirito dan Asuna berbicara satu sama lain, aku mengerti
bahwa tidak ada tempat untukku di samping Kirito. Sebabnya adalah— Di
gunung bersalju itu, aku membahayakan nyawa Kirito. Tidak seorangpun
bisa berdiri di sampingnya, selain orang yang memiliki hati sama
kuatnya. Ya... Misalnya, seseorang seperti Asuna...
Keduanya
terhubung oleh gaya tarik yang kuat, layaknya sepasang pedang dengan
sarungnya yang dibuat dengan cermat. Itulah yang sangat kurasakan. Dan
di atas segalanya, Asuna sudah memikirkan Kirito berbulan-bulan, dan
dengan kerja keras yang dilakukannya agar jarak diantara mereka
menyempit sedikit demi sedikit, hari demi hari, gak mungkin aku bisa
melakukan sesuatu seperti tiba-tiba melemparkan diriku ke hubungan
tersebut.
Benar... Aku baru mengenal Kirito selama
seharian penuh. Pergi melakukan petualangan yang aku tidak terbiasa
bersama orang yang tak dikenal, hatiku pasti cuma terkejut karenanya.
Ini bukan kebenaran. Ini bukanlah perasaanku yang sesungguhnya. Jika aku
jatuh cinta, aku tak akan buru-buru; pelan-pelan memikirkannya— Aku
seharusnya selalu, selalu berpikir seperti itu.
Tapi kenapa, kenapa air mata ini terus saja mengalir.
Suara
Kirito, kelakuannya, semua ekspresi yang ditunjukkannya selama dua
puluh empat jam ini mengambang di depan kelopak mataku yang tertutup
satu demi satu. Sensasi dia membelai rambutku, memegang lenganku,
tangannya menggenggam tanganku. Kehangatannya, panas dari jantung yang
berdetak itu- Selagi ingatan membara mengenai hal-hal itu menghampiriku,
rasa sakit yang tajam menggema jauh di dalam dadaku.
Lupakan. Semua itu mimpi. Cuci semuanya dengan air mata ini.
Memegang
erat batang pohon di pinggir jalan, aku menangis. Memandang ke bawah
sambil meredam suaraku, aku terus menangis. Air mata ini akan kering
cepat atau lambat di dunia nyata, akan tetapi nampaknya cairan pencuci
yang meluap dari mataku ini tak punya niat untuk berhenti mengalir.
Dan— dari belakangku, terdengar suara itu.
"Lisbeth."
Seluruh
badanku gemetar kaget begitu namaku dipanggil. Suara yang halus, lembut
itu, masih tersisa dengan gema dari nada kelaki-lakian aslinya.
Ini
pasti mimpi. Gak mungkin dia bisa ada di sini. Memikirkan hal itu,
kupalingkan wajahku ke atas, bahkan tak menghiraukan untuk menyeka air
mataku.
Kirito berdiri di situ. Mata dibalik gombak
hitam itu, memperlihatkan rasa sakit dari duka yang unik untuknya,
memandangku. Aku balas melirik sepintas pada mata itu, lalu segera
berbisik disertai gemetar dalam suaraku.
"...Ini gak bagus, datang ke sini sekarang. Aku juga baru akan kembali ke Lisbeth yang semangat seperti biasa sebentar lagi."
"..."
Kirito
maju selangkah tanpa suara; ia mencoba menjangkauku dengan tangan
kanannya. Kugelengkan kepalaku dengan ringan, menghentikannya.
"...Bagaimana kamu menemukan tempat ini?"
Mendengarnya, Kirito termenung, dan menunjuk ke arah tengah kota.
"Dari sana..."
Di
ujung jari itu, jauh sekali dari sini, puncak menara gereja, dibangun
berlawanan dengan gerbang plaza, menonjol di atas riak-riak bangunan.
"Aku mengamati seluruh kota, dan menemukan kamu."
"He, he."
Air
mataku diam-diam terus mengalir turun seperti sebelumnya, namun setelah
mendengarkan jawaban Kirito, senyum mengambang ke mulutku.
"Kamu tak masuk akal seperti biasanya, hah."
Bagiannya yang itu pun... Aku menyukainya. Hingga tingkat yang sia-sia.
Aku merasa gelora menangis lain lagi memancar di dalam diriku. Aku menahannya dengan panik.
"Maaf, aku... baik-baik saja, lihat kan. Buruan dan kembali ke Asuna sana."
Saat dimana aku berhasil berucap dan baru akan berbalik, Kirito melanjutkan perkataannya.
"Aku... aku ingin berterima kasih ke Lis."
"Eh...?"
Bingung oleh ucapan tak terduga itu, kutatap wajahnya.
"...Aku,
dulu, ada saat dimana anggota guildku terbunuh... Dengan itu, aku
memutuskan untuk jangan lagi, untuk pernah dekat dengan orang lain."
Kirito sepintas bermuka masam, mengunyah bibirnya.
"Itulah
kenapa, biasanya, aku menghindari membentuk kelompok dengan siapaun.
Meski begitu, kemarin, momen dimana Lis mengajakku untuk melakukan quest
itu, hasilnya baik-baik saja entah mengapa. Aku selalu berpikir bahwa
ini aneh sepanjang hari itu. Kenapa aku berjalan beriringan orang
ini..."
Aku lupa rasa sakit di dadaku untuk sekejap, kupandang Kirito.
Artinya— Artinya, aku...
"Sampai
sekarang, siapapun yang memintanya, kutolak mereka semua. Saat mereka
yang kukenal... Enggak, bahkan mereka yang namanya aku tidak tahu pun,
cuma dengan menonton orang lain bertarung, aku cuma membeku ketakutan.
Aku merasa ingin melarikan diri saja. Itulah kira-kira kenapa aku selalu
mengasingkan diri di tempat terdepan di bagian terdepan dari garis
depan, dimana orang jarang datang. -Waktu kita jatuh ke lubang itu, aku
bahkan berpikir kalau lebih baik untuk mati bersama daripada menjadi
yang ditinggalkan; itu jelas bukan bohong."
Ia
menunjukkan senyuman samar. Rasanya seperti sejumlah tak terbatas rasa
menyalahkan diri sendiri terletak jauh di dalamnya, nafasku terambil.
"Tapi
kamu hidup. Aku tak menyangka, namun fakta bahwa aku bisa terus hidup
bersama Lis membuatku sangat senang. Dan, malam itu... Saat kamu
memberikan tanganmu padaku, semuanya terbuka jelas. Tangan Lis terasa
hangat... Orang ini masih hidup, itulah yang kupikir. Aku, dan juga
semua orang, kita pastinya tidak hidup hanya demi menyambut kematian
suatu hari nanti; Aku yakin kita hidup demi melanjutkan hidup. Jadi...
Terima kasih, Lis."
"..."
Kali ini, senyuman sejati bangkit jauh dari dalam hatiku. Dikendalikan oleh emosi kuat yang misterius, kubuka mulutku.
"Aku
juga sama... aku juga sama; Aku selalu mencarinya. Untuk sesuatu
istimewa yang sejati, di dunia ini. Buatku, itu adalah kehangatan tangan
kamu."
Mendadak sekali, duri es yang menusuk jauh di
dalam hatiku mencair dengan lembut, rasanya mirip seperti itu. Air
mataku juga telah berhenti beberapa saat lalu. Untuk jangka waktu yang
singkat, kita menatap satu sama lain tanpa suara. Sensasi yang muncul
sewaktu kita terbang berjalan masuk sekali lagi, bersentuhan dengan
hatiku hanya untuk sekejap, dan lenyap.
Aku diganjar. Itulah yang kuyakini.
Kata-kata
dari Kirito tadi menelan kepingan-kepingan hancur dari cintaku yang
telah merekah, dan kurasakan mereka tenggelam jauh di suatu tempat dalam
diriku.
Aku mengedipkan mataku sekali dengan cepat, melepaskan tetesan-tetesan kecil, dan membuka mulutku untuk bicara dengan senyuman.
"Kata-kata tadi, pastikan Asuna mendengarnya juga. Gadis itu juga menderita. Bagaimanapun, ia ingin kehangatan Kirito."
"Lis..."
"Aku tidak apa-apa."
Aku mengangguk lembut, kugenggam dadaku dengan kedua tangan.
"Demam
ini akan membekas hanya sedikit lebih lama lagi. Jadi... kumohon,
Kirito, akhiri dunia ini. Aku pasti akan bekerja keras sampai saat itu.
Tapi, begitu kita kembali ke dunia nyata..."
Aku menyeringai dengan senyuman nakal.
"Kita langsung masuk ronde kedua."
"..."
Kirito
juga tersenyum, mengangguk dalam-dalam. Selanjutnya, ia mengayunkan
tangan kirinya, membuka sebuah layar. Saat aku penasaran apa yang ingin
ia lakukan, «Elucidator» dilepas dari punggungnya, disimpan ke
inventaris. Mengikutinya, ia memanipulasi susunan equipmentnya,
mewujudkan sebuah pedang baru menggantikan pedang sebelumnya. «Dark
Repulser», pedang putih itu diisi oleh emosiku.
"Mulai hari ini, pedang ini menjadi rekanku. Biayanya akan... diselesaikan untuk di dunia lain."
"Oh, sekarang kamu sudah bilang begitu. Harganya akan cukup lumayan."
Sambil berbagi tawa, kita beradu tinju satu sama lain.
"Yah, balik ke toko yuk. Asuna pasti sudah capek nungguin... Aku juga laper sih, sebenernya."
Kukatakan
itu, dan mulai berjalan setelah beranjak di depan Kirito. Untuk kali
terakhir, kuseka mataku dengan tegas, menghamburkan air mata-air mata
terakhir yang masih berada di sudut mataku, dan mereka pun lenyap
menjadi butiran cahaya.
Bagian 5
Hari ini dinginnya lebih menusuk dari biasanya,
Aku
masuk ruang kerjaku sambil menggosok-gosokkan kedua tanganku. Menarik
tuas di dinding, kuhangatkan tanganku di atas tungku perapian yang
langsung menyala, terbakar merah panas. Setidaknya bunyi menggebuk
kincir air masih tetap sama, tapi awal musim dingin sekarang sudah
sedingin ini, kalau pertengahan musim dingin tiba dan sungai kecil di
belakang membeku, aku khawatir entah apa yang akan terjadi padaku.
Aku
berpikir keras selama sejenak sebelum kembali sadar dengan kaget, dan
berunding dengan jadwalku. Masih ada delapan item yang menumpuk di
daftar pesanan hari ini. Hari akan segera berakhir jika aku tidak
bergegas dan menyelesaikannya.
Pesanan pertama adalah
pedang lurus satu tangan tipe ringan. Kutelusuri daftar bongkahanku,
kupilih satu yang merupakan kompromi bagus antara performa dan biaya
sebentar kemudian, lalu melemparkannya ke tungku perapian.
Di
waktu sekarang ini, penguasaan paluku sudah bertambah, dan bahkan aku
memperoleh beberapa logam baru, jadi aku sudah bisa menempa senjata
tingkat tinggi terus menerus. Memilih waktu di saat apinya telah panas
mencapai suhu yang sesuai, kuletakkan bongkahan itu di alas tempa.
Menyiapkan palunya, kuayunkan ia turun dengan tenaga tinggi.
Tapi,
berbicara mengenai pedang lurus satu tangan— Tidak satu pedang pun yang
mampu melampaui pedang satu itu yang kutempa musim panas lalu tahun
ini. Fakta itu membuatku frustasi, namun melegakan.
Pedang
yang telah mengubur pecahan hatiku itu mungkin masih terus mengamuk
dengan bersemangat di garis depan yang jauh lagi hari ini. Meski aku
memang merawatnya di batu asah di depan mataku ini sekali-sekali,
berbeda dengan senjata biasa, transparansi bilahnya tampak bertambah
setiap digunakan. Untuk beberapa alasan, sepertinya ia berbeda dengan
barang konsumsi numerik yang akan habis cepat atau lambat; rasanya lebih
seperti ia akan hancur berkeping-keping begitu tugasnya selesai— itu
prediksiku.
Ah tapi, hal itu mungkin masih berupa masa
depan yang tak akan terwujud beberapa saat lagi. Garis depan sekarang
di lantai tujuh puluh lima. Pedang itu masih harus bertugas lebih lama
lagi. Di tangan kanan orang itu— Kirito.
Waktu
kusadari, tampaknya aku sudah selesai memukulnya sebanyak jumlah yang
diperlukan; bongkahan itu mulai berubah bentuk seraya bersinar dengan
cahaya merah. Kuamati perubahan gaib seketika ini dengan nafas tertahan,
dan mengambil pedang yang segera muncul untuk memeriksanya.
"...Biasa, sepertinya."
Membisikkan
ucapan itu, kuletakkan pedang ini di atas meja kerja. Tanpa jeda, aku
mulai memilih-milih bongkahan berikutnya. Kali ini adalah kapak dua
tangan, dengan fokus pada jangkauannya...
Lama setelah
siang dimulai, aku entah bagaimana berhasil menyelesaikan semua
pesanan, dan berdiri. Menggerakkan kepalaku berputar melingkar,
kurenggangkan badanku kuat-kuat. Selagi aku mengambil nafas lega, sebuah
foto kecil yang tergantung di dinding memasuki penglihatanku.
Membuat
tanda damai sambil berpelukan, Asuna dan aku. Di samping Asuna, berdiri
setengah langkah ke bawah, Kirito dengan senyum masam. Diambil di depan
bangunan ini. Sekitar setengah bulan lalu— saat berita pernikahan
mereka berdua datang.
Siapapun yang mungkin kalian
tanya, mereka berdua pastinya serasi satu sama lain, tapi mencapai
tujuan itu akhirnya memakan waktu setengah tahun penuh. Aku menjadi
tidak sabar, dan mencoba ikut campur dalam hubungan mereka dengan
berbagai cara, dan ketika aku pada akhirnya diberitahu berita pernikahan
mereka, aku benar-benar senang buat mereka. Tapi tetap— terasa sedikit,
sakit yang mengoyak hati.
Aku masih menyaksikan yang
terjadi malam itu dalam mimpi-mimpiku. Mengingat satu malam bagai mimpi
yang berinar bak permata sederhana selama dua tahun yang hanya ada
sedikit naik-turun. Sampai saat ini pun, setelah tiga bulan berlalu, ia
masih menghangati hatiku layaknya bara api yang menyala.
"...Walaupun begitu..."
Saat
itu memang mengagumkan, bisikku dalam hati, dan jariku menelusuri foto
itu dengan lembut. Walau aku menilai diriku sebagai realis yang
rasional, aku memiliki watak seterus terang itu benar-benar tidak
kusangka dan tidak kusadari sama sekali.
"Aku selalu mencintaimu, sampai akhir."
Usai
mengetuk kuat suatu titik tertentu di foto itu, kupalingkan pikiranku.
Bertanya-tanya apa aku memasak makanan sederhana untuk makan siangku
yang telat, atau mungkin makan di luar untuk pertama kalinya sejak
beberapa waktu ini, kuinjakkan kakiku keluar dari ruang kerja— Lalu hal
itu terjadi.
Sebuah efek suara yang belum pernah
kudengar sampai sekarang bergema keras dari atas. Ding, ding, suara yang
menyerupai alarm lonceng... Seketika kutatap langit-langit, namun
tampaknya suara itu berasal dari tempat yang lebih tinggi lagi,
berkumandang dari arah lantai atas.
Aku baru saja akan
buru-buru keluar, saat sesuatu yang membuatku bahkan terkejut lebih
jauh lagi terjadi. Meski alasan di baliknya jelas, NPC penjaga toko,
yang berdiri di konter, tak membutuhkan seharipun istirahat sejak toko
ini dibuka, mendadak lenyap tanpa suara sedikitpun.
"...!?"
Kukedipkan
mataku, dan menatap tempat gadis itu berdiri hingga tadi, tetapi tidak
ada tanda ia kembali. Situasinya menjadi makin dan makin kusut.
Buatku, yang tersandung saat menuju keluar, pengalaman yang bahkan lebih mengherankan lagi menjadikanku berdiri kaku.
Di
bawah lantai atas yang membentang, seratus meter di atas, tepat sebelum
atap abu-abu polos itu- tergantung huruf-huruf merah raksasa, terletak
rapat-rapat. Aku terhanyut menatapnya; dua kalimat berbahasa Inggris,
"Warning", and, "System Announcement", tertata dalam pola papan catur.
"System... Announcement..."
Kejadian
ini pernah kusaksikan sebelumnya. Tidak mungkin aku akan pernah
melupakannya. Dua tahun lalu, di hari game kematian ini dimulai,
tontonan yang sama persis muncul di balik avatar hampa yang mengumumkan
perubahan peraturan pada sepuluh ribu pemain.
Akhirnya
melihat sekeliling setelah membeku melihatnya selama beberapa detik
penuh, kutemukan banyak pemain lain, yang melihat ke atas sambil berdiri
tegak, sama sepertiku. Aku berkerut saat merasa ada sesuatu yang aneh
mengenai pemandangan ini, alasannya terpikir seketika olehku.
Biasanya,
selagi berjalan menyusuri jalan, ada NPC-NPC menjajakan dagangan
mereka; tak seorang pun ada di sekitarku. Aku yakin mereka kemungkinan
menghilang di waktu yang sama dengan menghilangnya perawat tokoku,
tapi... kenapa sih—
Tiba-tiba sekali, bunyi dering
alarm itu berhenti. Setelah beberapa saat yang sunyi, kali ini, yang
terdengar adalah suara halus wanita, dalam volume yang sama kerasnya.
[Kami sekarang akan mengumumkan pemberitahuan penting ke semua pemain.]
Sama
sekali berbeda dengan suara sang Game Master, Kayaba Akihiko, dari dua
tahun lalu, merupakan suara sintetis buatan bercampur dengan bunyi gaduh
elektronik. Jelas ini merupakan pengumuman yang dibuat melalu sistem
game, tapi dengan hampir tidak adanya kehadiran manajemen di SAO, ini
adalah pertama kalinya aku mendengar pengumuman disampaikan seperti ini.
Kutegangkan telingaku untuk mendengar sambil menahan nafas.
[Game
sekarang akan memasuki mode administrasi paksa. Semua monster dan item
akan ditangguhkan. Semua NPC akan diberhentikan. HP semua pemain akan
disesuaikan menjadi jumlah maksimal masing-masing.]
Sistemnya error? Apa ada bug fatal yang muncul...?
Itu yang ada di pikiranku dalam sekejap. Hatiku dicengkram rasa tidak tenang. Tapi di saat berikutnya—
[Waktu Standar Aincrad, tujuh November, empat belas-lima puluh lima, game telah diselesaikan.]
...Demikianlah yang dilaporkan suara sistem.
Gamenya, sudah diselesaikan.
Aku
tak mengerti arti dari perkataan itu untuk beberapa detik.
Pemain-pemain lain di sekitarku juga, masih terdiam dengan ekspresi
mereka membeku. Akan tetapi, mendengar kalimat yang mengikutinya, mereka
semua melonjak gembira.
[Semua pemain akan log out secara berurutan. Cukup menunggu di posisi anda sekarang. Kami ulangi...]
Tiba-tiba,
"Wooah!", dan sorak-sorai gembira seperti itu meletus. Tanahnya, bukan,
seluruh Kastil Melayang Aincrad bergetar. Semua orang saling berpelukan
satu sama lain, bergulingan di lantai, berteriak keras-keras dengan
tangan mereka terangkat menuju langit.
Aku tidak
bergerak, tidak berkata apapun, hanya berdiri diam di depan toko
milikku. Entah bagaimana aku berhasil mengangkat kedua tanganku,
menutupi mulutku.
Jadi dia berhasil. Dia— Kirito berhasil. Dengan kenekatannya yang biasa...
Itulah
yang kupercaya. Bagaimanapun, garis depan yang paling depan masih di
lantai tujuh puluh lima, tapi dengan selesainya permainan ini seperti
ini, konyol, ceroboh, tindakan nekat ini pastinya ulah Kirito.
Aku merasa aku mendengar bisikan lembut di dekat telingaku.
...Aku, menjaga kata-kataku...
"Iya... Iya... Akhirnya, kamu berhasil..."
Dengan
itu, air mata yang panas menetes dari mataku. Tak menghiraukan untuk
menyekanya, kulontarkan tangan kananku dengan seluruh kekuatan, melompat
naik dan turun tanpa henti.
"O— oh!!"
Kututupkan kedua tangan ke mulutku, untuk menggapainya, yang berada jauh di lantai atas, aku berteriak sekeras mungkin.
"Kita pasti akan bertemu lagi, Kirito—!! ...Aku mencintaimu!!"
(Selesai)
Bab 2: Gadis Embun Pagi (Lantai Ke-22 Aincrad, Oktober 2024)
Bagian 1
Asuna selalu menyetel alarm paginya ke pukul tujuh lewat limapuluh.
Jika kamu bertanya mengapa pada pukul tersebut, ini karena alarm pagi Kirito yang berbunyi tepat pada pukul delapan.
Pagi
ini, Asuna sekali lagi terbangun dengan suara lembut dari instrumen
tiup kayu dan terus berbaring, menatap wajah tidur Kirito sambil
merebahkan kepalanya di atas tangannya.
Dia jatuh
cinta setengah tahun yang lalu. Mereka menjadi partner clearing dua
minggu yang lalu. Dan baru enam hari berlalu semenjak mereka menikah dan
pindah ke tempat ini, di dalam hutan lantai ke duapuluh dua. Meskipun
sebagai pasangan tercintanya, masih banyak hal tentang Kirito yang tidak
dia ketahui. Sempat, sambil mengintip wajah tidurnya, dia pelan-pelan
menjadi ragu akan usianya.
Baru beberapa waktu lalu,
karena sifatnya yang tidak peduli dan suka menyendiri, ia menduga bahwa
dia seharusnya lebih sedikit tua darinya. Namun, melihat kirito yang
terlelap dalam tidur, dengan kepolosan yang begitu naif, membuat dirinya
terlihat seperti anak yang masih kecil, tidak lebih tua dari Asuna.
Menanyakan
hal seperti usia mungkin— bukanlah masalah. Namun, melanggar batas ke
permasalahan di dunia nyata kuranglah disukai, dan lagipula, keduanya
telah menjadi suami istri. Daripada usia, bertemu lagi setelah kembali
ke dunia nyata, bertukar informasi dari nama dan alamat asli sampai ke
rincian kontak, akan lebih meyakinkan.
Akan tetapi, Asuna tidak berani untuk mengatakannya dengan suara keras.
Dia
takut kalau membicarakan permasalahan dunia nyata, «kehidupan
pernikahan» ini akan terasa hanyalah seperti khayalannya yang
bukan-bukan. Untuk Asuna yang sekarang, satu kenyataan yang paling
penting baginya, adalah hari-hari tenang di rumah hutan ini; bahkan jika
tidak bisa melarikan dari dunia ini, dengan tubuh mereka yang di dunia
nyata menyambut kematian, ia masih akan tetap puas, dapat terus hidup
seperti ini hingga akhir, meninggalkan dunia ini tanpa penyesalan.
Itulah
sebabnya dia enggan untuk bangun dari mimpi ini dulu— Berpikir
demikian, Asuna perlahan mengulurkan tangannya dan membelai wajah tidur
Kirito.
Biarpun begitu, wajah tidur itu memanglah kekanak-kanakan.
Pada
saat ini, memang sewajarnya kemampuan Kirito tidak perlu diragukan.
Dengan jumlah pengalaman yang sangat besar dari saat bermain pada masa
beta test, serta status numerik yang didapat lewat pertempuran yang
tidak ada hentinya, dan menggunakan semua itu secara efektif, penilaian
dan tekad. Dia mungkin kalah kepada pemimpin Knight of the Blood, «Holy
Sword» Heathcliff, tapi Kirito adalah pemain terkuat yang pernah dikenal
Asuna. Meski bagaimanapun memburuknya kondisi di medan pertempuran, dia
tidak akan pernah merasa takut dengannya yang berada di sisinya.
Namun,
saat ia menatap Kirito yang terbaring, entah bagaimana ada satu
perasaan yang begitu kuat berusaha untuk keluar dari dadanya bahwa dia
hanya seperti adik kecil yang naif dan rapuh. Perasaan bahwa ia harus
melindunginya.
Sambil bernafas dengan lembut, Asuna membungkuk, menyelubungi tubuh Kirito dengan tanganya. Dengan pelan dia kemudian berbisik.
“Kirito… Aku mencintaimu. Tinggallah bersamaku selamanya, oke?”
Pada
saat itu, Kirito bergerak dengan pelan, dan perlahan membuka kelopak
matanya. Pasangan itu saling bertukar pandang, dengan wajah mereka yang
didepan satu sama lain.
“Waa!!”
Asuna
segera mundur dengan panik. Mengalihkan dirinya ke sikap berlutut pada
tempat tidur, dia kemudian berbicara dengan wajah yang tersipu malu.
“Se-Selamat Pagi, Kirito, …Apakah kamu… dengan yang baru aku bilang…?”
“Selamat pagi. Tadi… eh, emang ada apa?”
Menghadap Kirito yang bangkit dan menjawab sambil menahan menguap, Asuna dengan kuat menggoyangkan-goyangkan tangannya.
“T-Tidak, tidak ada apa- apa!”
Menyelesaikan
sarapan pagi telor ceplok dengan roti gandum, salad dan kopi lalu
merapikan meja dalam beberapa detik, Asuna kemudian menepuk kedua
tangannya.
“Baiklah! Kemana kita akan bermain hari ini?”
"Oh, kamu."
Dan Kirito tersenyum kecut.
"Jangan membicarakan hal itu secara blak-blakan,"
"Tapi setiap hari sangatlah menyenangkan!"
Ini adalah pemikiran Asuna yang nyata dan murni.
Berpikir
kebelakang hanyalah membawa duka, tetapi dalam satu setengah tahun,
dari saat ia menjadi tawanan SAO sampai ia jatuh cinta dengan Kirito,
Asuna telah menempa dan mengeraskan hatinya.
Mengorbankan
tidur untuk meningkatan skillnya, dipilih menjadi sub-leader dari
clearing guild, Knights of the Blood, dia telah terjun ke banyak labirin
dengan begitu cepatnya bahkan cukup untuk membuat anggotanya menyerah
sesekali.
Semua yang ada dihatinya itu hanyalah
semata-mata untuk menyelesaikan game ini dan melarikan diri; sehingga ia
berkesimpulan bahwa semua aktivitas lain yang tidak berhubungan dengan
itu adalah sia-sia.
Dengan pemikiran yang seperti ini,
Asuna tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menyesal tidak bertemu Kirito
lebih awal. Hari-hari setelah bertemu dengan Kirito sangatlah berwarna,
penuh dengan begitu banyak kejutan yang bahkan melewati kehidupannya
yang lalu di dunia nyata. Jika bersama Kirito, semua waktu yang telah
dihabiskan disini dapat dianggap sebagai pengalaman yang langka.
Itulah
sebabnya bagi Asuna, akhirnya bisa mendapakatkan hari dimana mereka
berdua dapat menghabiskan waktu bersama, tiap-tiap detik dapat dianggap
perhiasan berharga dengan sendirinya. Dia ingin pergi, sebagai pasangan,
ke banyak dan lebih banyak tempat lagi bersama dan membicarakan banyak
hal yang berbeda.
Asuna meletakkan tangannya di pinggang dan berbicara sambil cemberut.
“Apakah Kirito-kun tidak ingin pergi ke suatu tempat dan bermain?”
Menanggapi
itu, Kirito tersenyum lebar dan melambaikan tangan kirinya, memunculkan
peta. Mengubahnya menjadi mode agar bisa terlihat, dia menunjukkannya
kepada Asuna
"Tepat disekitar ini."
Apa yang ditunjuk adalah sudut hutan, tidak terlalu jauh dari rumah mereka.
Menjadi
salah satu dari lantai bawah, Lantai ke duapuluh dua cukuplah luas.
Diameter dari seluruh wilayah ini mungkin lebih dari delapan kilometer.
Sebuah danau raksasa berada di tengah dan sampai ke pantai selatan,
disana terdapat kota utama, «Coral» Village. Di pantai utara terdapat
labirin. Sisa dari wilayah tersebut ditutupi oleh hutan konifer yang
indah. Rumah kecil milik Asuna dan Kirito berada di dalam sebuah area di
tepi selatan lantai ini, dan apa yang sekarang ditunjuk Kirito sekitar
dua kilometer jauhhnya, di arah timur laut.
"Well, Ini
tentang rumor yang aku dengar di desa kemarin.. Di daerah sini, dimana
hutan semakin rimbun...”itu” tampaknya akan keluar."
"Hah?"
Kepada Kirito yang sedang tersenyum lembut, Asuna dengan ragu menjawab.
"Apanya?"
"...H-Hantu."
Asuna diam sejenak, dengan takut dia bertanya
"...Itu berarti, seekor monster dari tipe Astral? Sesuatu seperti roh atau banshee?"
"Bukan, ini hantu asli. Seorang player... jadi, roh manusia. Sepertinya seorang wanita."
"Aah..."
Asuna
tanpa sadar menjengit. Mengarah ke topik seperti ini, Asuna yakin bahwa
dia akan terpengaruh jauh lebih buruk dari rata-rata orang. Dia cukup
tidak baik dengan hal semacam itu bahkan sampai memikirkan alasan yang
sembarangan untuk tidak mengikuti clearing labirin kastil tua,
membentangi lantai enampuluh lima dan enampuluh enam yang terkenal
karena tema horornya.
“T-Tapi lihat, ini adalah dunia
virtual permainan. Sesuatu seperti— hantu yang keluar, sesuatu seperti
ini tidak akan pernah terjadi.”
Memaksa dirinya untuk tetap tersenyum, dia mulai memprotes dengan suara keras.
“Benar atau tidaknya, aku juga ingin tahu…”
Namun untuk Kirito, yang tahu bahwa Asuna lemah terhadap hantu, ia dengan antusias lanjut menyerang.
“Misalnya…
Seorang pemain yang mati dengan penyesalan, merasuki NervGear yang
masih dipakai dan aktif… mengeluyuri wilayah, malam demi malam…”
“Hentik--!”
“Wahahaha,
maaf, ini hanya lelucon. Yah, aku ragu kalau roh akan benar-benar
muncul, tapi kalau kita mau pergi ke suatu tempat, lebih baik menuju ke
tempat yang lebih tinggi memiliki kemungkinan untuk terjadi sesuatu,
kan?”
“Aaah…”
Mengerutkan bibirnya memberi muka masam, Asuna mengganti fokusnya ke luar jendela.
Meskipun
musim dingin yang mendekati, cuacanya sangat baik. Sinar matahari
terasa hangat dan lembut, membasuh halaman kebun. Waktu yang paling
tidak cocok untuk acara seperti penampakan hantu. Karena bagaimana
Aincrad terancang, sungguh tidak mungkin untuk melihat matahari secara
langsung kecuali pada awal pagi dan sore hari, berkat pencahayaan
sekitar yang memadai, wilayahnya jelas ternyala.
Asuna berbalik ke arah Kirito dan menjawab, dengan kepalanya yang terangkat tinggi.
“Baiklah, Mari kita pergi. Untuk membuktikan kalau sesuatu seperti hantu tidaklah nyata."
“Jadi begitu, --Kalau kita tidak menemukannya hari ini, lain kali kita akan pergi di tengah malam, oke?”
“Tidak mungkin!! ….Aku tidak akan membuatkan makanan untuk orang yang jahat seperti itu.”
“Gah, lupakan itu. Kau tidak mendengar apa-apa.”
Cemberut kepada Kirito untuk terakhir kalinya, Asuna kemudian tersenyum lebar dan tertawa.
“Nah, mari kita selesaikan persiapan. Aku akan memanggang ikan, jadi Kirito-kun potong rotinya, oke?"
Dengan cepat memasukkan kotak makan siang dengan burger ikan, sekitar jam sembilan pagi ketika mereka meninggalkan rumah.
Melangkah ke rumput di kebun, Asuna berbalik kembali ke arah Kirito dan berbicara.
"Hei, biarkan aku naik di bahumu."
"Biarkan kamu naik di bahuku!?"
Kirito menjawab secara liar, kembali bertanya.
"Kau
lihat, selalu melihat dari ketinggian yang sama terasa membosankan,
seharusnya kan enteng dengan status kekuatan fisik Kirito-kun, kan?."
"Baiklah, mungkin itu benar ... Ya ampun, berapa sih umurmu ..."
"Usia tidak ada hubungannya dengan itu. Bukankah itu benar? Lagipula tidak ada yang melihat."
"Ba-baiklah, kurasa .."
Terkejut,
Kirito berjongkok dan berbalik ke arah Asuna sambil geleng-geleng
kepala. Mengangkat roknya, dia mengangkat kakinya ke bahu.
"Nah, ayo pergi. Tapi aku akan pastikan memukulmu jika kamu melihat ke belakang, Ok.."
"Itu sungguh tak beralasan ...?"
Menggerutu tentang situasi tersebut, Kirito dengan gesit berdiri, sehingga menaikan sudut pandang.
"Waa! Lihat, kamu bahkan dapat melihat danau dari sini!"
"Aku tidak bisa melihatnya!"
"Kalau begitu aku akan juga melakukannya untukmu nanti."
"..."
Menempatkan tangannya di atas kepala Kirito, yang telah merosot lebih karena kelelahan atas kejadian tersebut, Asuna berbicara.
"Sekarang, saatnya untuk berangkat! dari utara ke timur laut"
Tertawa
riang diatas bahu Kirito sambil terus berjalan ke depan, Asuna mampu
memahami betapa berharganya hari ini, mampu hidup bersama. Dia sepenuh
hati bisa percaya bahwa ini adalah saat ia merasa paling «hidup» di
semua tujuh belas tahun dari hidupnya.
Berjalan di
sepanjang jalan-Kirito adalah satu-satunya yang benar-benar berupaya,
tapi-Setelah sekitar sepuluh menit, salah satu danau yang menghiasi
lantai duapuluh dua akhirnya muncul dipandangan. Mungkin tergoda akan
cuaca cerah, sudah ada beberapa player yang berada di sana sejak pagi,
memancing ke danau, dimana umpannya menggantung di air. Jalan berliku di
sekitar danau, menjaadi tanjakan, cukup jauh dari tepi danau. Tapi saat
mereka mendekat, melihat player yang berpaling ke arah mereka dan
melambaikan tangan. Tampaknya setiap orang yang mereka lihat tersenyum
pada mereka dan beberapa bahkan tertawa keras.
"... sepertinya banyak orang yang melihat kita!"
"Ahaha, jadi ada orang-orang di sekitar ... Hei, Kirito-kun, lambaikan tangan pada mereka juga."
"Aku tak mau melakukannya."
Meski
mengeluhkan, Kirito tidak menunjukkan tanda-tanda untuk menurunkan
Asuna. Asuna mengerti jika Kirito malu atas peristiwa tersebut.
Jalannya
tiba-tiba menurun, ke arah kanan, menuju ke dalam hutan. Melalui celah
antar pohon konifer besar yang menyerupai cedar, menjulang di atas
segalanya, mereka berjalan beriringan. Gemerisik daun, deru aliran air,
dan kicau burung kecil terdengar. Semua suara ini adalah pelengkap untuk
suasana hutan, yang menjadi satu dalam warna-warna musim gugur.
Asuna memalingkan matanya ke arah puncak pohon, yang lebih dekat daripada biasanya.
"Pohon itu sungguh besar ... Hei, apakah kamu pikir kamu bisa mendaki pohon itu ...?"
"Hm ... Mm ..."
Menanggapi permintaan Asuna tersebut, Kirito memikirkannya untuk sementara waktu.
"Mungkin dalam batas-batas dari sistem ... Ingin mencobanya?"
"Nah, mari kita pikirkan itu lain kali. -Sekarang. Aku berpikir tentang mendaki."
Asuna
membentangkan tubuhnya yang berada pada bahu Kirito dan memandang ke
arah tepi luar Aincrad, melalui celah-celah di antara pepohonan.
"Benda
yang berada di sekitar tepi, tampaknya saling terhubung, itu
menghubungkan semua jalan ke lantai berikutnya, benar kan? aku
bertanya-tanya ...? Apa yang akan terjadi jika kita naik dari situ?"
"Ah, aku pernah mencoba itu sebelumnya."
"Eeh!?"
Mengendalikan tubuhnya, dia berbalik dan menatap Kirito.
"Kenapa kau tidak mengundangku juga."
"Yah, itu ketika kita tidak mengenal satu sama lain dengan baik."
"Apa, itu hanya karena Kirito-kun terus melarikan diri."
"... A-Apakah aku benar-benar melakukan hal tersebut?"
"Itu benar. Aku selalu mencoba mengundangmu,. Tapi kau bahkan tidak mau menemaniku untuk minum teh."
"I-Itu ... Ba-baiklah, kesampingkan hal itu."
Kemudian percakapan yang mulai aneh kembali ke topik semula, Kirito melanjutkan.
"Jika
kau menilai berdasarkan secara logis, memanjatnya pasti gagal. Memanjat
dari bagian batu-batu yang kasar sangat mudah,. Tapi setelah naik
sekitar delapanpuluh meter, pesan kesalahan muncul, 'Anda tidak bisa
melampaui daerah ini' dan membuatku jengkel. "
"Ah ha ha, jadi seperti yang diharapkan, kecurangan tidak bekerja, ya."
"Ini bukan bahan tertawaan, tanganku tergelincir. terkejut dan aku jatuh dari ketinggian ...."
"E-Eh!? Bukankah kamu bisa mati karena sesuatu seperti itu?"
"Ya.
Aku pikir aku akan ditakdirkan mati dan tertulis dalam daftar pemain
yang tewas, akan tetapi aku dengan segera menggunakan kristal
teleport.."
"Ya ampun, itu berbahaya. Pastikan dirimu tidak mengulanginya, Oke."
"Itulah yang ingin kukatakan!"
Berjalan-jalan
sambil bertukar percakapan tanpa tujuan, hutan berangsur-angsur menjadi
lebih rimbun. Bahkan kicauan burung mulai samar-samar, begitu juga
sinar matahari yang terpancar melalui pepohonan mulai memudar.
Asuna memandang berkeliling sekali lagi, ia bertanya pada Kirito.
"Hei, itu ... tempat dalam rumor, apakah jalan itu?"
"Yah, itu ..."
Kirito melambaikan tangannya, memeriksa posisi mereka di peta.
"Ah, kita cukup dekat dengan tujuan. Kita akan mencapainya dalam beberapa menit.."
"Hmm ... Hei, tentang kasus ini, apakah ada rincian tentang hal tersebut?"
Dia
tidak benar-benar ingin mendengar tentang hal itu, tapi tidak tahu
apapun membuatnya gelisah, dan mendorongnya untuk bertanya.
"Nah,
sekitar seminggu yang lalu, seorang pengrajin kayu telah datang ke sini
untuk mengumpulkan beberapa kayu. Kayu yang dapat dipanen dari hutan
ini memiliki kualitas yang cukup bagus, dan keika pemain sibuk dengan
pekerjaannya, hari mulai gelap... Pemain tersebut bergegas untuk
kembali, tetapi tertutup oleh rimbunnya pohon-pohon ... ada pemandangan
putih sekilas. "
"..."
Ini sudah menjadi batas untuk Asuna, namun Kirito tanpa ampun melanjutkan.
"Pemain
tersebut dengankebingungan berpikir bahwa sosok tersebut adalah seekor
monster, tapi rupanya bukan, itu adalah manusia, atau lebih tepatnya,
seorang gadis kecil, seorang pemain yang tadi aku sebutkan. Berpakaian
putih dan memiliki rambut hitam panjang. Secara perlahan ia menghampiri
menuju rimbunnya pepohonan. Jika bukan seekor mosnter, itu pastilah
seorang pemain, sambil berpikir seperti itu, ia menatap sosoknya."
"..."
"-Tidak ada kursor."
"Ee ..."
Sebuah teriakan keluar dari tenggorokan Asuna.
"Tidak
mungkin. Meskipun berpikir seperti itu, pemain tersebut semakin
mendekat.. Dan bahkan memanggilnya. Melakukan hal tersebut, gadis
tersebut menghentikan gerakannya... dia secara bertahap berbalik ke
arahnya ..."
"Cu-Cu-Cukup..."
"Lalu,
pria itu akhirnya menyadari sesuatu. Gadis itu, karena cahaya bulan
menyinari baju putihnya, pohon-pohon yang berada di sampingnya-bisa
dilihat tembus melalui dirinya."
"-!!"
Menyesakkan jeritan, Asuna mencengkeram rambut Kirito erat-erat.
"Ini
akhir hidupku jika dia berbalik, si pengrajin berpikir lalu berlari.
Akhirnya pergi cukup jauh untuk melihat cahaya dari desa, ia menduga
bahwa ia aman dan berhenti... kelelahan, ia berbalik lalu melihat ke
belakang .. . "
"- Ap!?"
"Dan tidak ada siapa pun di sana. Lalu ia hidup bahagia selamanya.."
"... Ki- Ki- Kirito-kun, kamu bodoh-!!"
Melompat
turun dari bahu Kirito, Asuna mengangkat tinjunya, bersiap-siap dengan
serius untuk melepaskan pukulan di punggungnya- pada saat itu.
Jauh
di dalam rimbunnya dan gelapnya hutan, meskipun masih tengah hari, pada
jarak Kirito dan Asuna, sesuatu yang putih mengintip mereka dari sisi
batang pohon konifer.
Diserang oleh aura menyeramkan,
Asuna membeku ketakutan. Bahkan jika tidak setakut Kirito, skill
persepsi milik Asuna yang telah disempurnakan melalui pengalaman.
menggunakan skill tersebut, dia bisa meningkatkan kejelasan apa pun
ketika ia memfokuskan sesuatu.
Sesosok putih tampak
berkibar tertiup angin. Itu bukan tanaman. Atau batu. Tapi kain. Atau
dengan rincinya, itu adalah gaun satu setel dengan garis-garis yang
berbeda. Mengintip keluar gaun tersebut adalah dua buah kaki.
Gadis
itu masih berdiri. Seperti yang Kirito jelaskan, dia adalah seorang
gadis muda yang mengenakan gaun satu satu setel yang berwarna putih,
tidak bergerak, ia diam-diam menatap Asuna dan Kirito.
Merasa
takut karena kesadarannya akan hilang, Asuna entah bagaimana berhasil
membuka mulutnya. Dia membisikkan sesuatu dengan suara serak.
"Ki... Kirito-kun, di sana."
Kirito segera mengikuti arah tatapan Asuna. Segera, dia juga, membeku.
"I-Ini pasti bohongan ..."
Gadis
itu tidak bergerak. Berdiri kira-kira sepuluh meter dari mereka,
tatapannya tertuju pada Asuna dan Kirito. Pada saat itu, Asuna
menguatkan dirinya sendiri, berpikir bahwa ia pasti akan pingsan jika
gadis itu datang lebih dekat.
Tubuh gadis itu
bergoyang-goyang. Seperti boneka mekanis yang telah kehabisan tenaga, ia
jatuh ke tanah. Sebuah bunyi ringan terdengar.
"Itu ..."
Saat itu, Kirito menyipitkan matanya.
"Tidak mungkin itu hantu!"
Dan berlari sambil berteriak.
"Tu-Tunggu, Kirito-kun!"
Meskipun
permohonan untuk berhenti dari Asuna yang tertinggal, Kirito bergegas
menuju gadis yang jatuh itu, bahkan tanpa melihat ke belakang.
"Ya ampun!"
Asuna
dengan enggan berdiri dan mengejarnya. Meski hatinya masih gemetar, ia
belum pernah mendengar tentang hantu yang bisa pingsan dan jatuh. Itu
tidak mungkin kecuali pemain.
Terlambat beberapa
detik, setelah mencapai tempat teduh di bawah pohon konifer, dia
menemukan gadis itu sudah tertidur dalam lengan Kirito. Dia masih tak
sadarkan diri. Matanya, ditutupi oleh bulu mata yang panjang, tangan
lemahnya tergantung lurus ke bawah. Menatap dengan sungguh-sungguh atas
sosoknya yang memakai gaun, dan Asuna memastikan kembali jika itu tidak
tembus pandang.
"Ap-apa dia baik-baik saja?"
"Hmm..."
Kirito berbicara, mengintip ke wajah gadis itu.
"Nah, sejujurnya.. kita tidak perlu bernapas di dunia ini, begitu pun detak jantung"
Dalam
SAO, fungsi gerak manusia dapat dibuat, tetapi dihilangkan. Hal ini
mungkinkan kita untuk menarik nafas, bersama dengan sensasi udara yang
berhembus melalui saluran pernafasan, tetapi avatar tidak perlu bernapas
secara sadar dan tidak akan melakukannya. Demikian juga detak jantung,
meskipun detak jantung terasa semakin kencang melalui ketegangan dan
kegembiraan, tidak mungkin untuk merasakan yang lain.
"Tapi tetap saja, dia tidak menghilang... jadi kurasa dia masih hidup. Tapi ini... jelas saja aneh..."
Setelah Asuna selesai berkomentar, Kirito memiringkan kepalanya ke samping.
"Apa yang Aneh?"
"Dia tidak mungkin hantu, berhubung aku bisa menyentuhnya seperti ini. Tapi kursornya... masih belum muncul..."
"Ahh..."
Asuna
sekali lagi mengkonsentrasikan pengelihatannya ke badan gadis itu.
Bagaimanapun, kursor berwarna akan segera muncul ketika objek di
Aincrad, seperti player, monster, maupun NPC ketika ditargetkan, tidak
terjadi disaat ini. Itu fenomena yang tidak pernah terjadi sampai
sekarang.
"Apakah mungkin bug, atau semacam itu?"
"Mungkin
benar. Dalam situasi seperti ini, Seseorang biasanya menghubungi GM di
permainan online lain, tapi tidak ada GM dalam SAO... Tetap saja, bukan
kursornya saja. Untuk seorang pemain, dia masih sangat muda."
Itu
benar. Tubuh yang ditahan Kirito luar biasa kecil. Dia tidak terlihat
lebih tua dari 10 tahun. Seharusnya ada batasan usia ketika menyeting
Nerve Gear, sebelum bisa sign up, melarang anak kecil, mungkin dibawah
13 tahun, untuk bisa menggunakannya.
Asuna mengulurkan tangannya dengan lembut, mengusap dahi gadis itu. Rasanya agak dingin dan halus saat disentuh.
"Mengapa.. ada gadis semuda ini didalam SAO..?"
Menggigit bibirnya dengan kuat, Kirito berbicara saat ia bangkit berdiri.
"Untuk
saat ini, kita tidak bisa meninggalkan dia sendiri. Kita harus
menemukan sesuatu ketika dia bangun. Ayo kita membawanya kembali bersama
kita."
"Ya, Itu benar."
Kirito
berdiri sambil membawa gadis itu di tangannya. Asuna dengan santai
menoleh ke sekitarnya, namun tidak mampu menemukan apapun selain tunggul
kayu besar yang busuk, dia tidak berhasil mengetahui alasan keberadaan
gadis itu di daerah ini.
Mereka berlari hampir di
sepanjang jalan, tapi gadis itu tidak sadar, bahkan setelah mereka
keluar dari hutan dan kembali ke rumah. Meletakkan gadis itu di tempat
tidur Asuna dan menyelimutinya, pasangan itu duduk, berdampingan, di
tempat tidur yang berdekatan milik Kirito.
Ada keheningan sesaat di udara, sebelum Kirito dengan santai memecah kesunyian.
"Nah, ada satu hal yang kita bisa yakin, yaitu bahwa dia bukan NPC karena kita bisa membawanya kesini."
"Ya... itu benar."
NPC
dibawah kendali sistem memiliki posisi tetap mereka masing-masing serta
rentang koordinat tertentu dan dengan demikian, tidak dapat dipindahkan
sesuai dengan keinginan pemain. Jika pemain mencoba menyentuh atau
memegang mereka, jendela laporan pelecehan akan muncul dalam hitungan
detik, memberi pemain kejutan menyakitkan dan melempar mereka pergi.
Mengangguk ringan setuju dengan pendapat Asuna, dilanjutkan dengan potongan oleh Kirito.
"Juga,
hal seperti itu tidak mungkin awal mula terjadinya suatu quest. Jika
pembukaan suatu quest, maka jendela quest seharusnya akan muncul begitu
kita menyentuhnya… Dengan kata lain, anak ini pastilah seorang pemain
yang tersesat... Atau setidaknya, pasti ada kesimpulan yang masuk akal."
Menggeser tatapannya ke tempat tidur secara cepat, kirito melanjutkan pemikirannya.
"Tidak
memiliki kristal, mungkin tidak khawatir tentang cara berkelana, aku
yakin dia tidak pernah berani keluar menuju field, dan hanya menetap di
«Starting City». Aku tak tau mengapa dia datang sejauh ini ke suatu
tempat seperti ini, namun di Starting City, kita mungkin menemukan
seseorang yang mengenalinya... mungkin juga kita bisa menemukan orang
tuanya atau pengasuhnya."
"Yeah. Aku berpikir seperti
itu juga. Aku tak percaya bahwa anak sekecil ini berkeliaran sendiri.
Dia seharusnya datang bersama keluarganya atau seorang seperti itu...
Meskipun, aku berharap mereka aman."
Setelah mengucapkan kalimat terakhir dengan kesulitan, Asuna berbalik dan menghadap Kirito.
"Hei, gadis ini akan bangun kan?"
"Ah.
Jika dia belum menghilang, dia seharusnya masih mengenakan Nerve Gear.
Kondisinya pasti tidak jauh berbeda dengan tidurnya. Itulah mengapa,
cepat atau lambat, dia akan bangun... aku yakin."
Menganggukkan kepalanya dengan penuh semangat, kata–kata Kirito penuh dengan harapan.
Karena
Asuna bangun, dia berlutut di depan tempat tidur dimana si gadis sedang
tertidur, dia mengulurkan tangan kanannya dan dengan lembut membelai
kepala si gadis tersebut.
Dia memang gadis yang
cantik. Dibandingkan dengan anak-anak, kehadirannya bisa dikatakan lebih
menyerupai seorang peri. Kulitnya mirip dengan batu pualam, halus dan
putih bersih. Rambut panjang hitamnya yang berkilau elegan, dan wajahnya
yang enak dipandang, tanpa keraguan, dia akan mempesona jika telah
membuka matanya dan tersenyum.
Kirito juga lebih
mendekat, menurunkan tubuhnya di samping Asuna. Menjulurkan tangan
kanannya dan membelai rambut si gadis dengan ragu–ragu.
"Dia tidak terlihat berusia sepuluh tahun... Mungkin sekitar delapan tahun?"
"Seharusnya sekitar segitu... Dia pemain termuda yang pernah aku temui."
"Benar. Aku bertemu beast tamer perempuan sebelumnya, namun tampaknya dia berusia sekitar tiga belas tahun."
Mendengar sesuatu yang belum pernah dia dengar, secara naluri Asuna menatap Kirito.
"Hmm, jadi kamu memiliki teman imut seperti itu, huh."
"Ah, kami hanya bertukar email hingga sekarang dan... ti- tidak, Cuma itu, tak ada hal lain!"
"Aku heran. Kirito-kun itu menyebalkan."
Dan Asuna berbalik dengan emosi mengerikan.
Karena merasa pembicaraan telah menuju arah yang aneh, Kirito berdiri dan berbicara.
"Ah, sudah selarut ini. Ayo kita makan."
"Tentang cerita itu, aku akan memastikan bahwa kamu harus menjelaskan semua detailnya di lain hari, oke."
Memelototi Kirito sekali lagi, Asuna juga berdiri, tertawa karena dia tidak mempermasalahkan masalah tersebut untuk saat ini.
"Well, mari kita makan. Aku akan membuatkan teh."
Sore
hari di musim gugur dilalui dengan damai, bahkan ketika langit memerah
karena matahari terbenam di ufuk timur, si gadis masih belum terbangun
dari tidurnya.
Ketika menutup tirai dan menyalakan
lampu di dinding, Kirito telah kembali dari perjalanannya ke desa.
Menggelengkan kepalanya perlahan, dia gagal menemukan petunjuk tentang
si gadis.
Tidak dalam kondisi menyenangkan untuk
menikmati makan malam untuk memilih sepasang sop atau roti, lalu Kirito
memulai berusaha setelah melihat berbagai macam koran yang dia bawa.
Meskipun
disebut koran, namun tidak seperti koran yang ada di dunia nyata dimana
lembaran kertas diikat secara bersamaan, namun sebaliknya, merupakan
selembar perkamen yang ukurannya mirip dengan majalah. Koran ini dapat
digambarkan seperti sistem layar jendela, dan dengan mengeditnya seperti
website, dapat digunakan untuk mengatur serta menampilkan informasi
yang telah dikumpulkan.
Isi korannya juga mirip dengan
situs walkthrough game yang diatur oleh pemain, yang terdiri dari :
berita, petunjuk bagi pemula, FAQs, daftar item, dll. Disamping itu, ada
juga bagian Hilang & Temukan / Q&A, dimana mataku tertuju. Aku
berfikir bahwa ada kemungkinan jika ada seseorang yang mencari seorang
anak perempuan. tetapi—
"...Tak ada, eh..."
"Tidak ada, huh..."
Menghabiskan
sepuluh menit melihat seluruh isi koran, dua kali melihat lagi dan
akhirnya merilekskan ketegangan yang ada di bahuku. Tak ada yang bias
kulakukan hingga si gadis terbangun dan menjelaskan seluruh kejadiannya.
Pada malam yang biasa, Kirito dan Asuna akan terjaga
hingga larut malam dan berbincang–bincang, bermain game, bahkan
berjalan–jalan di malam hari, atau aktifitas tak terhitung lainnya yang
jarang mereka lakukan, tapi keduanya tidak dalam mood untuk melakukan
hal–hal itu malam ini.
"Sepertinya satu hari telah terlewat."
"Hm. Aku kira juga begitu."
Asuna merespon kata–kata Kirito dengan anggukan.
Mematikan
lampu yang berada di ruang tamu, mereka berdua menuju ke dalam kamar
tidur. Karena si gadis menempati salah satu tempat tidur, salah satu
dari Kirito atau Asuna harus tidur harus tidur satu sama lain— well, hal
seperti itu sudah pernah dilakukan setiap malam, tapi— dan mereka
berdua cepat-cepat berganti pakaian tidur.
Lampu di kamar tidur juga dipadamkan, dan keduanya berbaring ke kasur.
Kirito
benar–benar memiliki beberapa skills unik dan aneh; Namun, skill mudah
tidur tampaknya termasuk ke dalam skill aneh yang dimilikinya. Ketika
Asuna mempunyai mood untuk mengobrol, dia berbalik ke arah kirito, dan
telah terdengar suara nafas ktika tidur.
"Ya ampun."
Sedikit
berguman atas ketidakterimaannya, Asuna berbalik ke sisi lain,
menghadap kasur dimana si gadis kecil masih tertidur. Dalam pucatnya
malam, si gadis berambut hitam masih tetap tertidur seperti sebelumnya.
Meskipun Asuna belum pernah melakukan upaya nyata untuk mengungkap masa
lalu si gadis ini, pikirannya secara perlahan memikirkan ke arah itu
ketika Asuna tetap menatap si gadis.
Jika si gadis ini
tinggal dengan pengasuhnya sampai sekarang, seperti orang tua ataupun
saudaranya, hal itu masih baik. Tetapi, jika kasusnya bahwa dia datang
ke dunia ini sendiri dan menghabiskan dua tahun dalam ketakutan dan
pengasingan— untuk anak usia delapan atau sembilan tahun, hari–hari itu
pastilah tidak menyenagkan. Jika gadis ini dalam situasi seperti itu,
dia mungkin tidak bias mempertahankan kewarasannya.
Mungkinkah—
Asuna memperkirakan kesimpulan terburuk. Mungkin, alasan mengapa dia
berkeliaran di tengah hutan dan tak sadarkan diri karena beberapa alasan
yang disebabkan kondisi mentalnya. Tentunya, tidak ada psikoterapi
dalam Aincrad; juga tidak ada sistem administrator untuk hal seperti
itu. Prediksi paling optimis untuk menyelesaikan game ini masih setengah
tahun lagi setidaknya, dan tidak bisa dicapai hanya oleh usaha Asuna
dan Kirito saja. Berdasarkan fakta, keduanya masih absen dari garis
depan, jumlah pemain pada level yang setingkat dengan Asuna dan Kirito
akan berkurang dua, serta menciptakan party yang seimbang pasti juga
lebih sulit.
Terlepas dari seberapa dalam penderitaan
yang dilalui gadis ini, Asuna tidak mempunyai kemampuan untuk
menyelamatkannya— Menyadari hal itu, Asuna merasakan sakit dalam
dadanya. Dia secara sadar berpindah ke sisi si gadis kecil yang masih
tidur.
Membelai rambut si gadis untuk sesaat, Asuna
berbalik secara lembut untuk menyelimiti dan berbaring di sampingnya.
Dengan kedua tangannya, Asuna memeluk tubuh kecilnya dengan erat.
Meskipun gadis tersebut tidak bergerak bahkan satu inci pun, ekspresinya
telihat tampak nyaman, lalu Asuna berbisik secara pelan.
"Selamat malam. Pasti akan menyenangkan jika kamu segera bangun besok..."
Bagian 2
Bermandikan
cahaya pagi, sebuah nada merdu terdengar dalam kesadaran Asuna yang
masih mengantuk. Suara itu adalah suara jam alarm dengan nada yang
memainkan oboe. Berada dalam sensasi di ujung bangunnya, Asuna menikmati
melodi tersebut, entah mengapa berisi bernostalgia. Belum lama ini,
gema menyegarkan yang berasal dari instrument senar dan klarinet saling
berkaitan satu sama lain, bersamaan suara senandung samar
...Senandung?
Asuna bukanlah orang yang bersenandung. Asuna membuka matanya.
Dalam
pelukannya, kelopak mata si gadis berambut hitam masih tertutup...
namun, dia bersenandung bersamaan dengan melodi yang berasal dari jam
alarm milik Asuna.
Si gadis bahkan tidak melewatkan
satupun nada. Bagaimanapun, hal itu mustahil. Karena Asuna mengatur
alarm tersebut hanya untuk didengarkan olehnya saja, tak mungkin orang
lain dapat menghafal nada seperti bernyanyi bersamaan melodi di dalam
pikirannya.
Setidaknya, Asuna memilih untuk mengesampingkan keraguan tersebut untuk saat ini. Dibandingkan itu—
"Ki- Kirito-kun, ya ampun, Kirito-kun!!"
Tanpa
bergerak satu inci pun, dia memanggil Kirito yang sedang tertidur di
kasur belakang. Ada tanda dari Kirito yang berguman sedikit menandakan
dia terbangun.
"...Selamat pagi. Ada sesuatu?"
"Cepat, kesini!"
Terdengar
derit lantai kayu. Mengganti tatapannya pada Asuna yang berada di
kasur, Kirito membuka matanya lebar-lebar dengan segera.
"Dia bernyanyi...!?"
"Y- Yeah..."
Asuna secara pelan menggoncangkan si gadis dengan kedua tangannya dan memanggilnya.
"Hei, bangun... buka matamu."
Si gadis menghentikan gerakan bibirnya. Segera, bulu matanya yang panjang bergetar lemah dan perlahan terangkat.
Dengan
matanya yang berair, dia mengintip langsung ke dalam mata Asuna, tepat
sebelum melihat Asuna. Berkedip beberapa kali, dia hampir membuka
bibirnya yang sedikit kecil dan tak berwarna.
"Aa... uu..."
Suara si gadis terdengar, seperti perak yang sedikit bergetar, sebuah suara yang indah. Asuna berdiri, masih memegang si gadis.
"...Syukurlah, kamu akhirnya bangun. Apakah kamu mengetahui sesuatu, well, apa yang terjadi padamu?"
Ketika berbicara seperti itu, si gadis tetap terdiam setelah beberapa detik lalu menggelengkan kepalanya sedikit.
"Aku paham... Siapa namamu? Bisakah kamu memberitahunya?"
"N... aama... nama.. ku... "
Karena si gadis memiringkan kepalanya, rambut hitamnya yang berkilau jatuh ke pipinya.
"Yu... i. Yui. Itu... namaku..."
"Owh, Yui-chan? Sungguh nama yang cantik. Aku Asuna. Dan orang itu adalah Kirito."
Karena
Asuna berbalik, si gadis yang memanggil dirinya sendiri Yui mengikuti
dan menggeser pandangannya. Melihat kesana kemari di antara Asuna dan
Kirito yang setengah membungkuk ke depan, lalu ia membuka mulutnya.
"A... una. Ki... to."
Dengan
bibirnya yang goyah, dia berbicara dengan suara terputus-putus.
Ketakutan Asuna dari malam sebelumnya kembali. Penampilan luar si gadis
setidaknya berusia delapan tahun; jika kamu mempertimbangkan waktu yang
telah berlalu sejak dia log in, usia sebenarnya seharusnya mencapai usia
sepuluh tahun sekarang. Namun, kata-kata gemetar si gadis ini,
seolah-olah keluar dari seorang bayi yang baru saja memperoleh
kesadaran.
"Hei, Yui-chan. Mengapa kamu berapa di lantai duapuluh dua? Apakah ayah atau ibumu mungkin, berada di sekitar sini?"
Yui
menggerakkan bibirnya kebawah dan tenggelam dalam diam. Tetap terdiam
selama beberapa saat, dia menggelengkan kepalanya kebelakang dan depan.
"Aku tidak... tahu... Aku tidak...tahu, apapun..."
Setelah
duduk di kursi pada meja makan dan menawarkan segelas susu manis
hangat, si gadis memegang cangkir di dada dengan kedua tangannya lalu
meminumnya. Mengawasinya dari sudut matanya, Asuna mendiskusikan situasi
ini dengan Kirito dengan jarak terpisah dari si gadis.
"Hei, Kirito-kun. Apa yang kamu pikirkan...?"
Kirito menggigit bibirnya dengan ekspresi serius, tapi segera berbicara dengan wajah tertunduk.
"Tampaknya...
dia telah kehilangan ingatannya. Tetapi, dengan reaksi seperti itu...
seperti, pikirannya juga mendapat kerusakan atau..."
"Yeah... kamu juga berpikir seperti itu kan, huh..."
"Sial."
Wajah Kirito berubah, tampaknya hendak mengeluarkan air mata.
"Di dunia ini... aku telah melihat banyak hal mengerikan... tapi, hal ini... yang paling buruk. Ini terlalu kejam..."
Melihat mata Kirito berair, Asuna juga merasakan sesuatu yang meledak dari dadanya. Menggenggam tangan Kirito, dia berbicara.
"Hal ini pasti akan baik-baik saja kan, Kirito-kun. ...jika itu kita, pasti ada sesuatu yang bisa kita lakukan."
"...Yeah. benar..."
Kirito
mengangkat kepalanya dan tersenyum kecil, menepuk tangannya ke pundak
Asuna dan kembali ke meja makan. Asuna mengikuti di belakangnya.
Pindah ke kursi dengan dentuman, Kirito duduk di samping Yui lalu memulai percakapan dengan suara menyenangkan.
"Aah, Yui-chan....Bolehkah aku memanggilmu Yui?"
Mengangkat mukanya dari cangkir, Yui mengangguk.
"Aku mengerti. Lalu, Yui bisa memanggilku, Kirito."
"Ki... to."
"Itu, Kirito. Ki, ri, to."
"..."
Yui memasang ekspresi rumit dan tetap terdiam untuk beberapa saat.
"...Kiito."
Kirito tersenyum lebar dan meletakkan tangannya di kepala Yui.
"Mungkin itu sedikit sulit. Kamu bisa memanggilku dengan nama lain yang lebih mudah kamu inginkan."
Yui
sekali lagi terdiam untuk sementara waktu. Dia tidak mengaduk isi
gelasnya sedikitpun, bahkan ketika Asuna mengambil cangkir dari atas
meja dan mengisi kembali dengan susu.
Cukup lama menunggu, Yui menaikkan wajahnya perlahan dan menatap Kirito, dengan takut - takut, dia membuka mulutnya.
"...Papa."
Lalu, Yui berbalik kearah Asuna dan berbicara.
"Auna adalah... Mama."
Asuna
tak bisa mengendalikan gemetarannya. Dia tidak tahu jika gadis ini
salah paham jika Kirito dan Asuna adalah orang tua sebenarnya, atau
mungkin— bahwa orang tuanya tidak ada di dunia ini sama sekali, dan dia
menginginkan keduanya; tapi sebelum berurusan dengan kecurigaan
tersebut, Asuna dengan panik mencoba untuk menahan perasaan yang mengisi
hatinya dan mencoba untuk keluar, lalu Asuna mengangguk sambil
tersenyum.
"Betul... Ini Mama, Yui-chan."
Mendengar
itu, Yui tersenyum untuk pertama kalinya. Di bawah rambutnya yang
lurus, matanya yang berseri tanpa ekspresi, dan dalam waktu singkat,
warna tampaknya telah kembali ke wajahnya seperti boneka.
"...Mama!"
Melihat lengan yang terentang ke arahnya, Asuna merasakan sakit di dalam dadanya.
"Uu..."
Dengan
sungguh-sungguh menahan air mata yang akan keluar, Asuna entah
bagaimana berhasil untuk mempertahankan senyumnya. Dia membawa Yui dari
atas kursi dan memeluknya, Asuna meneteskan sebuah air mata yang terisi
dengan berbagai macam emosi, lalu menetes di pipinya.
Setelah
selesai meminum susu hangat dan menghabiskan roti kecil miliknya, Yui
tampaknya telah mengantuk sekali lagi, karena kepalanya bergoyang kesana
kemari sambil duduk di atas kursi.
Melihat tingkah
laku si gadis sambil duduk di sisi lain meja, Asuna mengusap matanya
dengan tangannya lalu melihat kearah Kirito yang duduk di sebelahnya.
"A- Aku..."
Meskipun membuka mulutnya, Asuna tak bisa membentuk kata-kata yang ingin ia ucapkan.
"Maaf, aku tak tahu harus aku lakukan..."
Kirito menatap Asuna dengan mata iba, tapi segera berbicara dengan suara mendesah.
"...Hingga
anak ini mendapatkan kembali ingatannya, kamu ingin tinggal dan
menjaganya kan? Aku mengerti... perasaan tersebut. Aku juga merasakan
hal yang sama... hal ini sungguh menyakitkan... jika kita melakukannya,
kita tak bisa kembali untuk menyelesaikan game sementara waktu, dan
dengan hal tersebut, waktu untuk membebaskan anak ini juga akan
tertunda..."
"Yeah... itu semua benar..."
Menyandarkan
dirinya kesamping, Asuna mulai berpikir. Bukannya melebih - lebihkan,
tapi kehadiran Kirito sebagai seorang clearing player berada di atas
rata - rata, dia menyediakan peta perjalanan di dalam area labirin
dengan jumlah di atas rata-rata guild terkemuka sambil menjadi seorang
solo player. Sementara merencanakan hal tersebut hanya terlewat beberapa
minggu karena bulan madu setelah menikah, memonopoli Kirito oleh
dirinya sendiri seperti ini cukup membuatnya merasa sedikit bersalah.
"Untuk sekarang, mari lakukan apa yang kita bisa."
Melihat ke arah Yui yang telah tertidur, Kirito melanjutkan perkataannya.
"Pertama
- tama, mari pergi ke Starting City dan lihat apakah kita bisa
menemukan orang tua atau saudaranya. Dengan kehadirannya sebagai pemain,
aku yakin setidaknya ada sekelompok orang yang mengenalinya."
"..."
Hal
itu sebuah kesimpulan yang alami. Namun, Asuna menyadari perasaannya
yang tidak ingin berpisah dari gadis ini. Ini adalah kehidupan dimana ia
bisa hidup berduaan dengan Kirito, yang mana pernah ia impikan; tapi
entah mengapa, Asuna tidak keberatan jika hidup bertiga bersama Yui. Hal
ini mungkin disebabkan karena ia merasa jika Yui bisa menjadi putri
dari Kirito dengannya...Mendapat pikiran seperti itu, Asuna terkejut dan
kembali ke kesadarannya, dan tersipu.
”...? Kenapa sih?"
"B- Bukan apa - apa!!"
Asuna berbalik dari Kirito yang tampak curiga, dan menggoncangkan kepalanya ke belakang dan depan.
"I-
Itu benar. Ketika Yui-chan bangun, mari pergi ke Starting City. Kita
juga bisa mencari sesuatu di pojok tanya jawab pada koran ketika dalam
perjalanan."
Masih tidak bisa melihat wajah Kirito,
Asuna berbicara dengan cepat sambil merapikan meja makan dengan tergesaa
- gesa. Ketika ia melihat ke arah Yui yang tertidur di atas kursi,
mungkin ini hanya imajinasinya saja, namun wajah tertidurnya terlihat
berbeda dari kemarin, kali ini tampak lebih cerah.
Dipindahkan
ke kasur, Yui tertidur sepanjang pagi, dan bertanya-tanya apakah dia
kembali koma, Asuna benar-benar khawatir; tapi untungnya, dia terbangun
ketika persiapan untuk makan siang telah selesai.
Meskipun
memanggang kue buah-buahan yang jarang Asuna buat. Karena untuk Yui,
ketika Yui menduduki tempatnya di meja makan, daripada kue, Yui
menunjukkan ketertarikan lebih pada sandwich penuh mustard yang digigit
oleh Kirito hingga menjadi dua.
"Ah, Yui, yang ini benar-benar pedas lho."
"Uu... Yui ingin punya makanan yang sama dimiliki Papa."
"Aku mengerti. Aku tidak akan menghentikanmu jika Yui telah membuat pilihan. Pengalaman adalah segalanya."
Setelah
menyerahkan sandwich, Yui melebarkan mulut mungilnya dengan sekuat
tenaga lalu mengambil gigitan pertama tanpa ragu - ragu.
Kirito
dan Asuna menahan nafas mereka ketika melihatnya mengunyah makanan
dengan ekspresi rumit, dan akhirnya Yui berhasil menelannya menuju
tenggorokan dengan tegukan lalu berseri riang.
"Yummy."
"Anak ini punya nyali juga."
Kirito tersenyum lalu mengusap kepala Yui.
"Ayo kita coba tantangan dengan memakan hidangan makan malam yang sangat pedas."
"Ya ampun, jangan terbawa! Tak mungkin aku membuat makanan seperti itu!"
Tapi
jika Kirito dan Asuna menemukan pengasuh Yui di Starting City, orang
yang kembali ke sini hanya mereka berdua. Berpikir seperti itu, Asuna
merasakan kesepian yang berada di hatinya.
Asuna
menatap ke arah Yui yang telah selesai memakan sisa sandwich dan sedang
meminum susu dengan tatapan puas, sebelum berbicara.
"Oh, Yui-chan, ayo pergi keluar di sore ini."
"Pergi keluar?"
Menatap
lurus ke arah wajah Yui yang kebingungan, Asuna berhenti sejenak,
bertanya-tanya bagaimana menjelaskannya ketika Kirito memotong.
"Kita pergi mencari teman-teman Yui."
"Teman... Apa itu?"
Bereaksi
atas jawaban tersebut, keduanya bertukar pandang secara reflek. Ada
banyak keganjilan pada «sindrom» yang diderita Yui. Bukan hanya
kemunduran mental, sindrom ini lebih memberi kesan bahwa kepingan
ingatannya hilang.
Untuk memulihkan kondisinya,
menemukan pengasuh sebenarnya pastilah cara terbaik... mengatakan hal
seperti itu pada dirinya sendiri, Asuna menatap Yui lalu menjawab.
"Well, teman itu adalah orang yang bisa membantu Yui-chan. Sekarang, ayo siap - siap."
Ekspresi Yui masih menunjukkan sedikit keraguan, namun ia mengangguk lalu berdiri.
Baju
putih satu setel yang di kenakan gadis ini memiliki lengan pendek dan
terbuat dari bahan tipis, pastilah dingin jika pergi keluar ketika musim
seperti ini, awal musim dingin. Tentunya, merasa dingin, atau mungkin
bisa masuk angin, menderita karena damage, hal seperti itu tak akan
terjadi... well, namun akan lain ceritanya jika kamu telanjang dan pergi
ke area dingin, tapi... fakta bahwa seseorang biasanya akan merasa
gelisah tidaklah berubah.
Asuna menggerakkan daftar
item miliknya, mematerialkan pakaian tebal satu persatu, dan akhirnya
Asuna menemukan sebuah sweater yang cocok untuk Yui, ia mendatanginya
lalu tiba-tiba berhenti.
Umumnya, ketika mengequipkan
pakaian, seseorang akan memanipulasi equipment melalui jendela status.
Baju, cairan dan benda-benda halus lainnya tidak dibuat secara baik di
SAO, oleh karena itu, dibandingkan sebuah benda terpisah secara sendiri,
pakaian dianggap sebagai bagian dari tubuh itu sendiri.
Menyadari keragu-raguan Asuna, Kirito menanyai Yui.
"Yui, tentang jendela milikmu, dapatkah kamu membukanya?"
Seperti yang diduga, si gadis menggelengkan kepalanya sebagai tanda ketidaktahuan.
"Well, coba gerakkan jari pada tangan kananmu. Seperti ini."
Kirito
mengayunkan jarinya, lalu sebuah jendela persegi berwarna ungu muncul
di bawah tangannya. Melihat hal itu, Yui meniru gerakan tersebut dengan
tangan gemetar, tetapi jendela miliknya tidak terbuka.
"...Seperti
dugaanku, ada semacam bug pada sistemnya. Tetapi, tidak bisa membuka
jendela status milik sendiri itu masalah serius... kamu tidak bisa
melakukan apapun jika seperti itu."
Karena Kirito
menggigit bibirnya, merasa terganggu, Yui yang baru saja melambaikan
jari pada tangan kanannya, kini melambaikan tangan kirinya. Tepat pada
saat itu, sebuah jendela keunguan muncul di bawah tangannya.
"Jendelanya keluar!"
Diatas
Yui yang menyeringai penuh kepuasan, Asuna bertukar pandang dengan
Kirito, yang melihat kembali sambil terkejut. Asuna tak tahu apa yang
baru saja terjadi.
"Yui-chan, bolehkah aku melihat-lihat."
Asuna
membungkuk dan memandang dengan tajam ke dalam jendela milik Yui.
Bagaimanapun juga, status pemain biasanya tersembunyi untuk semua orang,
kecuali pemiliknya, dan apa yang bisa Asuna lihat hanyalah layar
sederhana yang kosong.
"Maaf, bolehkah kupegang tanganmu sebentar."
Asuna
memegang tangan Yui dengan tangannya, menggerakkan jari kecilnya,
mengklik di sekitar tempat dimana ia pikir tombol visibility mode
berada.
Tujuan utama Asuna adalah agar fitur layar
jendela segera terlihat keluar dengan efek suara kecil. Biasanya,
melihat status orang lain bisa dianggap suatu etika paling buruk,
meskipun dalam situasi yang tidak biasa, Asuna mencoba yang terbaik agar
bisa melihatnya dan yang terbuka hanya penyimpanan, tatapi...
"Ap- Apa ini!?"
Memandang untuk kedua kalinya pada bagian atas layar, ia benar-benar kaget.
Bagian
atas menu jendela memang terlihat normal, terbagi menjadi tiga bagian.
Bagian pengaturan ada di bagian paling atas, nama ditampilkan dalam
bahasa inggris bersamaan dengan bar HP dan EXP yang panjang dan tipis,
lalu dibawahnya, pada bagian kanan tengah, merupakan bagian equipment
figure, sedangkan bagian kiri sisanya merupakan rangkuman dari tombol
perintah. Ada begitu banyak contoh desain untuk memodifikasi icon dan
semacamnya, tetapi layout default tak bisa diganti. Dengan kata lain,
pada bagian paling atas dari jendela milik Yui, hanya nama aneh yang
ditampilkan yaitu «Yui-MHCP001», dengan tidak adanya bar HP ataupun bar
EXP, dan juga level yang tidak ditampilkan. Meskipun bagian equipment
figure ada, jumlah tombol perintah sangat sedikit dari biasanya, hanya
ada «Item» dan «Option».
Menyadari Asuna yang terdiam
membeku, Kirito juga mendekat dan mengintip kedalam jendela milik Yui,
dan menahan nafasnya ketika ia melihat. Yui, yang tidak mengetahui
keanehan jendela miliknya, menatap keduanya dengan tatapan ingin tahu
apa yang terjadi.
"Apakah ini juga... sebuah bug pada sistem...?"
Asuna berguman, dan erangan keluar dari tenggorokan Kirito.
"Untuk
beberapa alasan... dibandingkan sebuah bug, tampaknya jendela ini lebih
terlihat seperti sebuah desain yang benar-benar awal... Sial, aku tak
pernah berfikir untuk lebih kesal karena tidak ada GM sebelumnya, namun
hal ini."
"Umumnya, di dalam SAO, jarang ada bug
ataupun lag untuk dibicarakan, jadi kita jarang membutuhkan bantuan
GM... Aku kira tidak ada gunanya merenung akan masalah ini lagi
sekarang..."
Mengangkat bahunya, Asuna menggerakkan
jari Yui sekali lagi, membuka penyimpanan. Menempatkan sweater yang ia
ambil dari atas meja kedalamnya, item akan tersimpan kedalam jendela
penyimpanan dengan sekejap. Selanjutnya, Asuna menyeret nama sweater
menuju menu equipment figure, dan menjatuhkannya disana.
Bersamaan
efek suara yang terdengar seperti sebuah bel, tubuh Yui diselimuti
cahaya, menampilkan sweater berwarna pink ke dalam bentuk nyata pada
Yui.
"Waah..."
Memperlihatkan
ekspresi senang, Yui melebarkan tangannya dan melihat ke seluruh bagian
tubuhnya sendiri. Asuna mengikuti, memakai baju yang memiliki warna yang
agak mirip dengan celana hitam, dan sepatu merah lalu mengequipkan item
tersebut satu sama lain, akhirnya setelah mengembalikan baju satu setel
miliknya kedalam penyimpanan, Asuna menghilangkan jendela miliknya.
Selesai berpakaian, Yui terlihat senang, lalu ia menggosok pipinya dengan sweater lembut dan menarik roknya.
"Sekarang, ayo berangkat."
"Um. Papa, gendong."
Menanggapi
reaksi Yui yang membuka kedua tangannya tanpa peduli, Kirito dengan
malu memberikan senyum masam lalu mengangkat tubuh si gadis. Ketika
melakukan itu, ia memandang Asuna lalu berbicara.
"Asuna,
dalam masalah ini, bersiaplah untuk bertarung kapanpun. Kita tidak
seharusnya pergi ke kota, tetapi... karena kota itu adalah daerah
kekuasaan milik «The Army»..."
"Hm... lebih baik tidak menurunkan kewaspadaanmu."
Dengan
satu anggukan, Asuna mengecek kembali penyimpanan miliknya lalu
berjalan menuju pintu dengan Kirito. Pastilah baik jika pengasuh gadis
ini berhasil ditemukan; hal ini adalah perasaan jujur milik Asuna, tapi
membayangkan membuat party dengan Yui membuatnya merasa tidak nyaman.
Mereka baru saja satu hari bertemu, namun tampaknya Yui telah mengambil
sebagian hati milik Asuna.
Sebenarnya telah berbulan-bulan berlalu sejak kunjungannya menuju lantai pertama, «Starting City».
Merasakan
emosi yang komplek dalam hatinya, Asuna masih berdiri di dekat gerbang
keluar teleport, menatap plaza yang besar ini dan jalan-jalan membentang
diluarnya.
Tentu saja, karena ini adalah kota
terbesar dalam Aincrad, membandingkan fasilitas penting untuk
berpetualang disini dengan kota-kota lain, benar-benar tak ada kompetisi
disini. Harga-harga secara umum rendah, dan segala macam penginapan
bisa ditemukan disini. Dilihat dari segi efisiensi, kota ini adalah
tempat yang paling cocok untuk digunakan sebagai kota awal.
Akan
tetapi, jika kamu pergi bersama Asuna, tidak ada seorangpun yang
berlevel tinggi tinggal di Starting City hingga sekarang. Penindasan
dari «The Army» menjadi salah satunya, tapi mungkin lebih disebabkan
karena fakta ketika berdiri di central plaza dan melihat ke atas langit,
ia tak bisa mengingat apa yang terjadi pada waktu itu.
Awal dari semua itu adalah suatu kehendak.
Terlahir
dari hubungan dari ayah seorang pebisnis dan ibu seorang sarjana,
Asuna—Yuuki Asuna, telah dididik untuk mematuhi harapan orang tuanya
sejak pertama kali ia memperooleh kesadaran. Kedua orang tuanya adalah
orang yang tanpa ampun jika berurusan dengan mereka, sementara bertindak
dengan lembut terhadap Asuna, dan karena itulah, Asuna menjadi khawatir
atas reaksi mereka jika ia tidak bisa hidup atas harapan keduanya.
Kakaknya
juga mungkin sama. Asuna dan kakanya telah memilih sekolah privat atas
kehendak orang tuanya, dan tanpa hambatan, secara bertahap mereka
mendapatkan hasil yang memuaskan.
Sejak kakaknya
akhirnya mencapai umur untuk diterima di universitas dan meninggalkan
rumah, ia hidup tanpa apa-apa dalam pikirannya, tetapi semata-mata hanya
hidup untuk memenuhi harapan orang tuanya. Mengambil pelajaran untuk
beberapa kegiatan, bersosialisasi dengan teman yang hanya diterima oleh
orang tuanya, namun karena ia melalui hidup seperti itu, Asuna akhirnya
merasa jika dunianya lama-lama menjadi semakin kecil. Jika ia terus
berjalan pada jalan yang telah ditentukan— masuk ke SMA dan universitas
yang telah ditentukan oleh kedua orang tuanya, menikah dengan pasangan
yang ditentukan oleh kedua orang tuanya, ia yakin nahwa ia telah
terjebak dalam cangkang yang benar-benar sangat keras, meskipun lebih
kecil ketika sebelumnya, dan tidak bisa untuk lari darinya; hal ini
adalah ketakutan yang selalu ia derita.
Itulah
mengapa, ketika kakaknya telah bekerja di perusahaan yang di kelola
ayahnya dan pulang kerumah, ia berbicara penuh antusias tentang Nerve
Gear dan salinan game SAO yang ia peroleh melalui koneksinya, tentang
seperti apa dunia «VRMMO» pertama, meskipun Asuna belum pernah memainkan
suatu konsol permainan sebelumnya, ia merasakan ketertarikan tentang
dunia tersebut.
Tentunya, jika kakaknya menggunakan
Nerve Gear di dalam kamarnya, Asuna mungkin akan segera lupa dan tidak
akan merasa terganggu tentang suatu hal seperti Nerve Gear. Akan tetapi,
karena momen yang tak begitu baik, kakaknya harus pergi dalam
perjalanan bisnis keluar negeri pada hari pertama dimulainya SAO, dan
begitulah, Asuna akhirnya meminjam Nerve Gear dari kakaknya hanya untuk
satu hari karena keinginannya. Merasakan hasrat untuk melihat dunia yang
belum pernah ia lihat sebelumnya, semua itu penyebabnya...
Lalu, semuanya berubah.
Hingga
sekarang, Asuan masih mengingat keisengan pada hari itu, ketika ia
beubah dari Asuna menjadi "Asuna", mencari jati dirinya sendiri di
jalanan yang tak dikenal, diantara orang-orang yang tak mengenalnya.
Tetapi
secara tiba-tiba setelahnya, ketika dewa kekosongan turun dan
mengumumkan tentang game kematian ini, dengan ketidakmungkinan untuk
melarikan diri dari dunia ini, hal pertama yang Asuna pikirkan adalah
tugas matematika miliknya yang belum ia kerjakan.
Jika
ia tidak segera kembali dan mengerjakannya, ia akan dimarahi oleh
gurunya pada saat pelajaran. Demi kehidupan Asuna yang telah ia tempuh
sejauh ini, pastilah menjadi suatu kegagalan yang tak bisa ia maafkan...
tapi tentu saja, kerasnya situasi tersebut bikanlah hambatan.
Satu
minggu, dua minggu, bahkan tiap hari terlewati dengan santainya, tak
ada tanda-tanda adanya bantuan dari luar. Mengasingkan diri sendiri di
salah satu penginapan di Starting City, meringkuk di atas tempat tidur,
Asuna terus menerus mengalami kepanikan. Menjerit setiap saat, bahkan
memukul tembok ketika ia meratap. Hari tersebut adalah musim salju pada
tahun ketiganya di SMP. Ujian sekolahnya akan segera dimulai, dan
setelah itu, ujian masuk SMA. Menjadi seorang yang telah tergelincir
dari jalan yang ditempuh sama saja merupakan kehancuran bagi hidup
Asuna.
Asuna menghabiskan hari-harinya penuh masalah, merasa sangat malu, merasa tak percaya.
Daripada
mengkhawatirkan kondisi tubuh anaknya, orang tua Asuna pasti sangat
kecewa atas putrinya yang telah gagal atas ujiannya karena sebuah konsol
game. Teman- temannya, daripada bersedih, mungkin mereka mengasihaninya
yang di keluarkan dari kelompok mereka, atau mungkin malah mencibirnya.
Ketika ia melalui saat-saat kritis dengan pikiran
kelam, Asuna akhirnya membuat sebuah keputusan—untuk meninggalkan
penginapan. Tidak menunggu untuk di selamatkan, tetapi untuk melarikan
diri dari dunia ini dengan kekuatannya sendiri. Untuk menjadi seorang
penyelamat yang mengakhiri insiden ini. Tanpa menempuh jalan itu, ia
kemungkinan besar tidak akan mampu menahan kehadirannya bersama
orang-orang disekitarnya tak lama lagi.
Asuna
menyiapkan beberapa equipment, mengingat seluruh referensi manual, dan
menuju ke field. Waktu untuk tidur setiap hari ia batasi selama dua jam,
tiga jam, dan sisa waktu miliknya ia kerahkan untuk meningkatkan
levelnya. Sebagai hasil memfokuskan kebijakan miliknya dan keinginan
kuat untuk menyelesaikan permainan, hal tersebut tidak terlalu lama
sebelum ia masuk dalam daftar pemain tingkat atas. Inilah bagaimana si
swordswoman yang bersemangat, Asuna the «Flash» terlahir.
Kembali
ke masa kini— dua tahun telah berlalu, dan saat ini Asuna telah berusia
tujuh belas tahun, ia menatap kembali pada saat-saat itu dengan
peresaan pahit. Bukan, tidak hanya ketika waktu permainan ini dimulai.
Semua hal yang terjadi sebelumnya, bahwa dirinya hidup dalam dunia yang
keras dan sempit, ia teringat bahwa sebagian besar masa lalunya penuh
dengan kesedihan.
Asuna rasanya tidak mengerti arti
dari, «untuk hidup». Semua hal yang pernah ia lakukan hanyalah tentang
masa depan yang ideal, pengorbanan masa kini. «Masa Kini» adalah suatu
hal yang sia-sia untuk mewujudkan masa depan yang sempurna, dan
karenanya, dengan hilangnya hal tersebut, tak ada yang tersisa. Hal
tersebut menghilang dalam ketiadaan.
Hal tersebut tidaklah baik jika satu sama lain. Menghadapi dunia SAO, ia menyimpulkannya secara serius.
Ia
yang mengejar masa depan akan menjadi seorang Asuna yang dulu, maju ke
depan untuk menyelesaikan permainan ini, sementara ia yang menempel di
masa lalu akan tetap menjadi seseorang yang meringkuk di kamar
penginapan lantai pertama. Dan ia yang hidup untuk saat ini akan mencari
kesenagan sementara sebagai seorang kriminal.
Tetapi
meskipun berada di dunia ini, ada orang-orang yang menikmati masa kini,
membuat suatu kenangan satu sama lain sementara bekerja keras untuk lari
dari dunia ini. Seseorang yang mengajarinya adalah si pendekar pedang
berambut hitam yang ia temui setahun lalu. Cara hidupnya— ketika hal itu
memasuki pikirannya, warna dari kehidupannya telah berubah.
Sekarang,
jika dunia ini adalah dunia nyata, ia merasa seperti bisa untuk
menghancurkan cangkang yang menutupi hidupnya. Ia percaya jika ia akan
bisa hidup untuk dirinya sendiri. Selama orang ini berada di sisinya—
Asuna
perlahan mendekati Kirito dengan malu menyembunyikan perasaan
terdalamnya sambil menatap jalanan. Rasa sakit yang ia rasakan lagi,
ketika menatap atap lantai di atasnya kini telah sedikit berkurang.
Menggelengkan
kepalanya sekali lagi seolah-olah ingin menghilangkan pemikiran tadi,
Asuna mengintip ke wajah Yui yang masih digendong oleh Kirito.
"Yui-chan, apa kamu memiliki ingatan tentang bangunan- bangunan, atau hal seperti itu?"
"Uu..."
Dengan
ekspresi rumit, Yui melihat sekeliling pada struktur bangunan, lalu
memandang keluar dari plaza, dan akhirnya ia menggelengkan kepalanya.
"Aku tak tahu..."
"Well, Starring City memang sangat luas."
Kirito berbicara sambil mengusap kepala Yui.
"Well,
suatu hal pasti akan membuatnya teringat sesegera jika kita tetap
berkeliling. Ayo kita cek pusat tempat belanja untuk sekarang ini."
"Mungkin ada benarnya juga."
Mengangguk sepakat, keduanya mulai berjalan menuju jalan utama di selatan.
Akan tetapi— ketika ia berjalan, Asuna memandang plaza sekali lagi dengan suatu keraguan. Hanya ada beberapa orang di sekitar.
Gerbang
plaza dari Starting City sungguh lebar seperti yang kira, bisa
menampung sepuluh ribu pemain dua tahun yang lalu pada acara pembukaan
server SAO. Di tengah jalan berbatu adalah tempat kosong dalam bentuk
bulat sempurna, terdapat subuah menara jam yang menjulang tinggi dengan
gerbang teleport yang berkedip kebiruan di bagian yang lebih rendah.
Bunga-bunga bermekaran ditanam di sekeliling menara, dan dengan elegan,
bangku putih berada di antara keduanya. Tidaklah mengherankan jika plaza
ini akan penuh dengan orang-orang yang mencari tempat untuk istirahat
di sore hari; namun, tak ada orang-orang yang berada di sekitar gerbang
ataupun menuju keluar plaza, dan hampir tidak ada orang yang duduk di
bangku yang berada di sini.
Untuk jalan utama dari
kota lantai atas, gerbang plazanya akan selalu ramai karena para pemain
yang sangat banyak. Menggosip, mencari anggota party, berkumpul di toko
pinggir jalan, sebagai hasilnya karena orang yang berkumpul sungguh
banyak, untuk berjalan saja sungguh menyulitkan, tetapi—
"Hey, Kirito-kun."
"Hm?"
Asuna bertanya pada Kirito yang berbalik.
"Sekitar berapa jumlah pemain yang berada di lantai pertama saat ini?"
"Hmm,
well... jumlah pemain yang masih hidup sekitar enam ribu, dan tiga
puluh persen diantaranya masih berada di Starting City jika kita
menghitung «The Army»; jadi seharunya jumlah para pemain di bawah angka
dua ribu, kan?"
"Menyadari jumlah itu, bukankah menurutmu ada sedikit pemain di sini?"
"Ketika kamu berkata seperti itu... Mungkin mereka hanya berkumpul di sekitar toko?"
Bagaimanapun
juga, ketika memasuki jalan utama plaza, bahkan ketika mereka mendekat
ke area belanja dengan toko dan gerobak berbaris, jalanan masih tetap
sepi. Teriakan-teriakan promosi dari NPC penjaga toko bergema sia-sia
melewati jalanan.
Meskipun begitu, keduanya akhirnya
bisa menjumpai seseorang yang sedang duduk di bawah pohon besar di
tengah jalan, lalu Asuna menghampiri dan mencoba memanggilnya.
"Ah, permisi."
Si
pria, menatap ke atas puncak pohon dengan ekspresi yang sangat aneh,
dan berbicara tanpa menyesuaikan pandangannya meskipun hal tersebut
terlihat mengganggu.
"Ada apa."
"Well... Di sekitar sini, apakah ada tempat untuk mencari orang hilang?"
Mendengar ucapan tersebut, si pria akhirnya menggeser pandangannya menuju Asuna. Ia memandang wajah Asuna tanpa berbalik.
"Apa, jadi kamu orang luar."
"Ah, iya. Well... kami sedang mencari pengasuh dari anak ini..."
Asuna menunjuk Yui, yang masih tertidur sementara di lengan Kirito.
Karena
mengenakan seragam sehingga sulit untuk mengetahui tingkat class
miliknya, si pria melebarkan matanya sedikit ketika ia memandang sekilas
pada Yui, tapi ia segera berpaling ke pandangan awalnya pada puncak
pohon.
"...Seorang anak hilang, huh, sungguh jarang
terjadi.... Pada gereja di sisi lain sungai pada distrik ke tujuh di
timur, ada sekelompok pemain anak-anak yang berkumpul dan tinggal
disana, jadi cobalah kalian mencari di sana."
"Te- Terima kasih."
Mendapat
informasi yang benar-benar mengejutkan, Asuna menundukkan kepalanya
dengan cepat. Setelah melakukan hal itu, ia mencoba mengajukan
pertanyaan lain.
"Ahh... Sebenarnya apa yang kamu lakukan di sini? Dan juga, mengapa hanya ada sedikit pemain di sekitar?"
Si pria tersebut hanya membuat senyuman kecil, ia menjawab, tampaknya ia tidak terganggu.
"Info
ini mungkin sangat rahasia, atau seperti itulah aku menyebutnya. Well,
melihat kamu orang luar... Lihat, kamu bisa melihatnya kan? Cabang pohon
tertinggi yang berada di sana."
Asuna mengikuti arah
jari yang si pria tunjuk. Cabang-cabang yang menjorok dari pohon yang
cukup besar dengan jalan yang cukup jelas berwarna kecoklatan, tapi jika
kalu lebih fokus dan menatap mereka, kamu bisa melihat beberapa buah
berwarna kuning bermunculan dalam bayang-bayang dedaunan.
"Tentunya,
karena pohon-pohon yang berada di pinggir jalan adalah objek yang tak
bisa dihancurkan, meskipun kamu mencoba menaikinya, kamu tak akan bisa
mendapatkan selembar daunnya sekalipun."
Si pria melanjutkan perkataannya.
"Setiap
hari, ada beberapa saat ketika buahnya terjatuh dari pohon... Hanya ada
beberapa menit sebelum buah tersebut membusuk lalu menghilang, namun
jika kamu tidak melewatkan kesempatan dan berhasil mengambilnya, kamu
bisa menjualnya ke NPC dengan harga murah. Belum lagi rasanya sungguh
enak."
"Ohhh."
Untuk Asuna, yang telah menguasai skill mamasaknya, berdiskusi tentang bahan-bahan adalah suatu kesenangan tersendiri.
"Sekitar berapa harga buah itu kalau dijual?"
"...Jangan menyebarkan info ini. Setiap satu buah bisa laku lima coll."
"..."
Melihat
tatapan bangga si pria, Asuna tak bisa berkata - kata. Ia terkejut
karena betapa murahnya harga terebut. Dalam hal ini, bekerja keras
dengan bersandar di pohon ini dan menunggu buah terjatuh sepanjang waktu
tidaklah sesuai dengan hasil yang didapat.
"Ah,
well... jika seperti itu, sepertinya usahamu sungguh sia - sia, atau
lebih tepatnya... jika kamu mengalahkan satu ekor worm di field, kamu
bisa mendapat tiga puluh coll."
Pada saat ia berkata
seperti itu, si pria memandang penuh tanya kali ini. Dia tidak
menyalahkan Asuna karena tidak benar dalam pikirannya, tetapi ia
berbalik menuju Asuna dengan ekspresi yang menunjukkan betapa tak
jelasnya apa yang telah ia lakukan.
"Kamu serius
berkata seperti itu. Jika kamu pergi dan bertarung melawan monster di
field... kamu mungkin akan benar-benar mati kan."
"..."
Asuna
tak bisa memikirkan sebuah jawaban. Itu karena si pria ini telah
berkata; bertarung melawan monster selalu menimbulkan bahaya kematian
yang selalu menyertainya. Tetapi, dengan mental Asuna saat ini, hal
tersebut hanyalah seperti kekhawatiran akan terjadinya kecelakaan ketika
menyebrangi jalan di dunia nyata selama siang dan malam; tak ada
gunanya takut akan hal seperti itu.
Kalaupun inderanya
sendiri telah menjadi tumpul karena menghadapi kematian di SAO, atau
kalaupun si pria ini menjadi terlalu gugup, Asuna tak bisa
menyalahkannya secara tiba - tiba, Asuna masih berdiri tak bergerak.
Mungkin, keduanya tak dapat dianggap sebagai pihak yang benar. Pada
Starting City, apa yang dikatakan pria ini adalah hal yang umum.
Tak menyadari kondisi mental Asuna yang rumit, si pria melanjutkan perkataannya.
"Dan,
apa ya, alasan mengapa tidak ada orang di sekitar? Itu karena mereka
bukan tidak ada di sekitar. Semuanya mengunci dirinya sendiri di kamar
penginapan. Mereka mungkin bertemu dengan pasukan The Army penagih pajak
di siang hari."
"Pe- Penagih pajak... apa maksudnya itu?"
"Hanya
suatu pemerasan dalam cara sopan. Tetap jaga kewaspadaanmu; orang-orang
ini tidak akan mengampunimu meskipun kamu orang luar. Oh lihat,
tampaknya ada yang jatuh... cukup sekian obrolan kita kali ini."
Menutup
mulutnya, si pria mulai menatap langit secara serius. Asuna dengan
cepat menunduk sebagai tanda terima kasih, dan menyadari bahwa Kirito
telah terdiam selama percakapan tadi, berbalik menghadap Asuna.
Di
tempat tersebut, adalah sosok Kirito yang fokus menatap buah berwarna
kuning dengan tatapan serius, tidak seperti menatap worn di tengah
pertarungan. Tampaknya ia bermaksud untuk menunggu buah selanjutnya
terjatuh.
"Hentikan tatapan itu, ya ampun!"
"T- Tapi kamu lihatkan, apakah itu mengganggumu?"
Mencengkram tenguk Kirito, Asuna mulai berjalan sambil menyeretnya.
"Ah, ahh... dan tampaknya buah itu terasa enak..."
Menjewer telinga Kirito, dengan penyesalan yang masih tersisa, Asuna mendorongnya untuk berbalik.
"Dibanding
itu, jalan mana yang menuju distrik tujuh di timur? Tampaknya ada
pemain-pemain muda yang tinggal disana, ayo segera pergi kesana."
"...Yeea."
Sambil
menggendong Yui yang telah benar-benar tertidur, dan berpegang erat
padanya, Asuna menatap peta sambil menjaga kecepatan berjalannya di
samping Kirito.
Karena Yui memiliki tubuh luar sekitar
umur sepuluh tahun, menggendongnya seperti ini di dunia nyata akan
menyebabkan lengannya capek dalam beberapa menit, namun bersyukurlah
karena ada keuntungan dari parameter kekuatan fisiknya, Asuna tidak
merasakan berat apapun dibanding guling yang terisi bulu.
Berjalan
menuju tenggara melalui jalan-jalan lebar selama sepuluh menit, dan
cukup berpapasan dengan orang- orang sebelumnya, mereka akhirnya sampai
ke area taman yang luas. Hutan yang luas- pohon-pohon berdaun dengan
warna yang telah berubah, melambaikan kesedihannya karena angin dingin
pada awal musim salju.
"Ayo kita lihat, tempat ini
menunjukkan distrik timur ketujuh pada peta, namun... aku bertanya-tanya
dimanakah gereja itu sebenarnya."
"Ah, bukankah yang itu?"
Dibalik
hutan, membentang di sisi kanan jalan, Asuna melihat menara tinggi yang
unik dan kokoh dalam arah pandangan yang ditunjuknya. Pada puncak
menara yang beratap biru pucat, sebuah logam ankh terbentuk dengan
menyatukan sebuah salib dan lingkaran, bercahaya. Itu adalah sebuah
tanda dari gereja. Sebuah bangunan yang berdiri setidakanya satu di
setiap kota dan melalui altar di dalamnya, tugas-tugas seperti
melenyapkan serangan unik dari monster, «Curse», dan memberkati senjata
untuk melawan monsters undead menjadi mungkin. Dalam SAO, dimana
komponen berbasis sihir ada, gereja bisa dianggap tempat paling
misterius.
Juga, selama coll ditawarkan secara
teratur, sebuah ruangan didalam gereja bisa di sewa dan digunakan
sebagai pengganti sebuah penginapan.
"Tu- tunggu sebentar."
Asuna tanpa disadari memanggil Kirito untuk berhenti, ketika ia hampir berjalan menuju gereja tersebut.
"Hm? Ada apa?"
"Ah,
tidak... Well... jika, kita berhasil bertemu dengan pengasuh Yui di
sana, kita akan... meninggalkan Yui-chan disini kan...?"
"..."
Mata
hitam Kirito melunak penuh simpati terhadap Asuna. Ia menarik tangannya
lebih dekat dengan lembut dan merangkul tubuh Asuna bersama Yui yang
sedang tertidur.
"Aku juga tak ingin menjadi bagian
darinya. Bagaimana mengatakannya ya... dengan kehadiran Yui, rumah kita
yang berada di hutan sungguh terasa seperti rumah sesungguhnya... well,
seperti itulah rasanya... Namun, ini tidak seperti kamu tak akan pernah
bertemu dengannya lagi. Jika Yui berhasil mendapatkan ingatannya
kembali, ia pasti akan datang dan berkunjung lagi.”
"Hm... Betul si."
Memberi
anggukan kecil, Asuna membawa Yui yang masih di lengannya lebih dekat
dan sedikit menyentuh pipinya sebelum berjalan kedepan, setelah
perasaanya terasa lebih baik.
Bangunan gereja terlihat
kecil jika dibandingkan skala kota ini. Gereja tersebut berlantai dua,
dengan puncak menara tunggal sebagai simbolnya. Tetapi, ada berbagai
macam gereja didalam Starting City, dan gereja yang ada di dekat gerbang
plaza seukuran kastil kecil.
Setelah sampai di depan
pintu ganda yang berukuran besar, Asuna mendorong salah satunya dengan
tangan kanannya. Menjadi fasilitas umum, suatu gereja pastilah tidak
terkunci. Interior didalamnya redup, dan hanya ada penerangan dari lilin
yang menghiasi altar di depan dan menerangi lantai dari batu. Tak ada
tanda –tanda kehidupan pada awalnya.
Memunculkan tubuh bagian atasnya melalui pintu masuk, Asuna memanggil.
"Ahh, adakah orang di sini?"
Meskipun suaranya bergema, tak seorangpun terlihat keluar.
"Apakah tak ada orang...?"
Saat Asuna memiringkan kepalanya ke samping, Kirito membantahnya dengan suara pelan.
"Nah, tampaknya ada orang di sini. Tiga di ruang sebelah kanan, empat di sebelah kiri... dan masih banyak lagi di lantai dua."
"...Dengan skill deteksi milikmu, kamu bahkan bisa mengetahui jumlah orang-orang yang ada di balik tembok?"
"Tingkat
kemahiran skill punyaku sudah sembilan ratus delapan puluh. Skill ini
sungguh efisien, kamu seharusnya meningkatkan juga."
"Tak mau, latihan yang membosankannya akan membuatku gila.... Kesampingkan itu, ngomong-ngomong mengapa mereka bersembunyi..."
Asuna
perlahan melangkah ke dalam bangunan gereja. Kondisi di dalamnya
sungguh sepi, tapi entah mengapa ia bisa meresakan kehadiran orang lain
yang sedang menahan nafas mereka..
"Ah, permisi, kami sedang mencari seseorang!"
Ia
mencoba memanggil dalam suara keras. Dengan hal itu— pintu di sisi
kanan sedikit terbuka, dan suara gemetar seorang perempuan terdengar
dari sana.
"...kamu bukan dari the «Army» kan?"
"Bukan. Kami datang dari lantai atas."
Asuna
dan Kirito tidak membawa pedang mereka, bahkan tidak mengenakan armor
untuk bertarung. Pemain yang masuk ke the Army mengenakan seragam yang
terbuat dari armor berat sepanjang waktu, jadi seseorang seharusnya bisa
mengenali bahwa Asuna dan Kirito tidak ada hubungannya dengan the Army
jika dilihat melalui penampilan.
Cukup lama, pintu tersebut terbuka, dan seorang pemain wanita muncul dengan ketakutan.
Sebuah
kepala berambut biru dengan kacamata besar berbingkai hitam, dan mata
berwarna hijau terbuka lebar terisi penuh ketakutan muncul. Mengenakan
gaun polos sederhana berwarna biru tua, ia memiliki belati yang tertutup
sarung belati di tangannya.
"Kamu benar - benar... bukan dari kelompok penagih pajak the Army kan...?"
Asuna memberikan senyuman tenag. Lalu mengangguk.
"Ya,
kami hanya mencari seseorang dan baru saja turun dari atas hari ini.
Kami benar-benar tak ada hubungannya dengan the Army."
Seketika itu juga—
"Dari atas!? Maksudmu, kamu benar-benar seorang swordsmen!?"
Bersamaan
dengan sorakan bernada tingginya, pintu di belakang si wanita terbuka
lebar, beberapa sosok pemain berlarian tak berarutan. Secara tiba-tiba,
pintu di sebelah kiri altar juga ikut terbuka, beberapa orang lalu
keluar secara berdesakan.
Terkejut akan hal itu, Asuna
dan Kirito memantau pemandangan tersebut tanpa bisa berkata - kata,
yang berbaris di kedua sisi si wanita berkaca mata adalah semua pemain
muda yang bisa dikatakan hanya anak - anak laki-laki dan perempuan.
Pemain yang paling muda mungkin sekitar dua belas tahun, sementara yang
paling tua mungkin sekitar empat belas tahun. Semuanya memandang Asuna
dan Kirito dengan penuh ketertarikan.
"Hei, kalian semua, Aku bilang untuk tetap bersembunyi di dalam ruangan kan!"
Hanya
si wanita yang mendorong anak-anak tersebut dalam kebingungan,
sepertinaya ia berusia sekitar duapuluh tahun. Tampaknya tak seorang pun
anak mematuhi perintahnya.
Tetapi setelah itu, anak
pertama yang keluar dari ruangan, seorang anak lelaki berambut merah
pendek yang sedang berdiri di ujung, berteriak dengan nada penuh
kekecewaan.
"Apaan sih, kamu bahkan tidak memegang
sebuah pedang. Hei, bukankah kamu dari lantai atas? Seharusnya kamu
memiliki senjata?" Hampir separuh perkataan itu ditujukan kepada Kirito.
"B- Bukan, ini tidak seperti yang terlihat, tapi..."
Kirito
membalas ketika ia mendaratkan matanya penuh keterkejutan, dan wajah
anak-anak tersebut bersinar sekali lagi. Ijinkan aku melihat, ijinkan
aku melihat, mereka semua memohon secara bersamaan.
"Lihat, kalian tidak boleh berbicara tak sopan kepada orang yang baru saja kalian temui—
Maaf, kami jarang menerima tamu belakangan ini, jadi..."
Menghadapi si wanita berkacamata yang memohon maaf sambil menunduk, Asuna berbicara segera.
"Bu-
Bukan, Bukan itu masalahnya. —Hei, Kirito-kun, kamu masih memiliki
beberapa di dalam penyimpananmu, bisakah kamu memperlihatkan pada
mereka?"
"Y- Yea."
Mengangguk karena
persetujuan Asuna, Kirito membuka jendela miliknya dengan jarinya,
mengubah sepuluh senjata ke dalam bentuk nyata secara bersamaan, lalu
menumpuknya pada meja panjang terdekat. Senjata tersebut adalah item
yang dijatuhkan monster ketika petualangan terakhir dan terlupakan
karena ia tak memiliki waktu untuk menjualnya.
Kirito
lalu menutup jendelanya, dengan semua item yang berlebih kecuali
beberapa pasang equipment yang telah diambil, anak-anak ini bersorak dan
menyerbu di sekitar meja. Mengetahui rasa menyentuh pedang, palu dan
semacamnya satu sama lain, mereka merengek karena "Berattt" dan "Keren".
Pemandangan ini akan meninggalkan keoverprotektifan orang tua, namun
tak peduli bagaimana senjata di pegang di dalam kota, tak mungkin
mengakibatkan damage ketika tergores.
"—Aku benar-benar minta maaf..."
Meskipun
si wanita meminta maaf karena masalah yang ditimbulkan, sebuah senyum
tampak di wajahnya karena melihat anak-anak yang senang, ia lalu
berbicara.
"...Ah, karena telah datang sejauh ini. Aku akan membuatkan teh, jadi..."
Dipandu ke dalam ruangan kecil di dalam tempat ibadah, Asuna dan Kirito meneguk teh hangat yang dihidangkan pada keduanya.
"Jadi... kamu bilang bahwa kamu datang untuk mencari seseorang...?"
Si pemain wanita yang duduk berlawanan meja mengajukan pertanyaan tersebut dengan memiringkan sedikit kepalanya.
"Ah, iya. Er... Aku Asuna, dan orang ini adalah Kirito."
"Ahh, maaf, aku bahkan belum memperkenalkan diri. Namaku Sasha."
Ia lalu menunduk karena memperkenalan dirinya.
"Lalu, anak ini bernama Yui."
Sambil membelai rambut Yui yang masih tertidur di pangkuannya Asuna melanjutkan.
"Anak ini tersesat di tengah hutan pada lantai ke duapuluh dua. Dia... tampaknya kehilangan ingatannya, jadi..."
"Astaga..."
Si wanita yang memanggil dirinya Sasha melebarkan mata kehijauannya yang tersembunyi di balik kacamata lebih lebar.
"Ia
bahkan tak memiliki apapun selain pakaian yang terequip, jadi tampaknya
ia tidak tinggal di lantai bagian atas... Dan juga, mungkin pengasuhnya
berada di Starting City... atau mungkin orang yang mengenali anak ini
mungkin bisa di temukan, kami berpikir kemungkinan tersebut, lalu kami
datang ke sini untuk menemukan mereka. Selain itu, ketika kami mendengar
bahwa pemain anak-anak berkumpul di gereja ini..."
"Itulah cerita singkatnya..."
Sasha meraih cangkir teh dengan tangannya, lalu menjatuhkan pandangannya ke meja.
"...Sekarang
ini, ada duapuluh orang pemain yang tinggal di gereja ini, anak-anak
dari sekolah dasar hingga tingkat smp. Aku kurang lebihnya yakin, semua
pemain anak-anak di sekitar kota ini. Pada waktu ketika game dimulai..."
Sasha mulai berbicara dalam suara berbisik, tapi masih bisa didengar.
"Hampir
semua anak-anak menjadi panik dan mengalami trauma mental. Tentu saja,
ada anak-anak yang terbiasa lalu meninggalkan kota, tapi aku percaya
mereka adalah pengecualian."
Hal seperti itu juga
pernah Asuna alami, di tahun ketiga smpnya pada waktu itu. Ketika ia
mengunci dirinya sendiri di kamar penginapan, ia yakin bahwa pikirannya
akan hancur karena merasa terpojok.
"Seperti yang
diharapkan; mereka masih dalam usia ketika mereka masih ingin dimanjakan
orang tuanya. Lalu tiba-tiba diberitahu seseorang bahwa mereka tidak
bisa keluar dari sini, mungkin juga tak akan pernah bisa kembali ke
dunia nyata— anak-anak tersebut menjadi down, dan di dalam pikiran
mereka... tampaknya ada sesuatu yang hilang."
Mulut Sasha menjadi kaku.
"Selama
sebulan ketika game dimulai, aku berpikir untuk menyelesaikan game ini
dan berencana berlatih di field, tetapi... suatu hari, aku melihat salah
satu dari anak-anak tersebut di sudut jalanan, aku tak bisa
meninggalkan anak tersebut sendiri begitu saja; jadi aku membawa
anak-anak bersamaku dan memulai hidup di penginapan. Selanjutnya, ketika
aku berpikir bahwa masih ada anak-anak sepertinya, aku mulai
berkeliling kota, dan mencari anak-anak tersebut. Sebelum aku
menyadarinya, semuanya telah berakhir seperti ini. Itulah mengapa...
meskipun ada orang-orang yang bertarung di lantai atas seperti kalian
berdua, aku merasa tak bisa memaafkan diriku sendiri karena tak bisa
membantu menyelesaikan game ini."
"Itu... Itu tidak-"
Sambil
menggelengkan kepalanya, Asuna berusaha untuk menemukan kata-kata yang
tepat, tapi suaranya tersangkut di tenggorokan. Mengambil alih
pembicaraan, Kirito berbicara.
"Itu tidak sepenuhnya benar. Kamu berjuang dengan sangat berani... bahkan lebih hebat daripada orang sepertiku."
"Aku
sungguh berterima kasih. Namun aku tidak cukup melakukan hal ini tanpa
adanya tanggung jawab. Sungguh menyenangkan hidup bersama anak-anak
ini."
Sasha tersenyum manis sambil menatap Yui yang sedang tertidur pulas.
"Itulah
mengapa... selama dua tahun ini, setiap hari kami berkeliling di semua
bangunan yang ada di setiap area, mengecek jika ada anak-anak yang
membutuhkan bantuan. Jika ada sejumlah anak-anak yang masih tertinggal,
kami akan segera menyadarinya. Maaf untuk mengatakan ini... tetapi
tampaknya anak ini, aku tak yakin jika ia pernah tinggal di Starting
City."
"Begitu ya..."
Asuna menundukkan kepalanya ke bawah sambil memeluk Yui. Ia menarik diri lalu memandang ke arah Sasha.
"Er,
tampaknya ini akan mengganggu privasimu, tetapi bagaimana kamu
memperoleh penghasilan untuk keperluan sehari-hari dan semacamnya?"
"Ah,
hal itu, selain aku, ada beberapa anak-anak yang lebih dewasa yang
melindungi tempat ini...mereka berada pada level yang menjamin
keselamatan mereka selama mereka berada di field sekitar kota ini, jadi
kami masih bisa menyimpan cadangan makanan. Kami tak bisa hidup dalam
kemewahan."
"Oh, sungguh mengagumkan... menilai dari
apa yang kudengar sebelumnya di kota ini, sesuatu seperti berburu
monster di dalam field bisa dianggap suatu tindakan bunuh diri yang
bertentangan dengan akal sehat."
Sasha mengangguk atas perkataan Kirito.
"Pada
dasarnya, aku percaya bahwa pikiran seperti itulah yang dipikirkan
pemain yang masih tersisa di kota ini. Aku tidak menyangkat hal
tersebut; hal itu tak akan membantumu, ketika kamu mengira akan adanya
bahaya kematian... Bagaimanapun juga, pikiran tersebut juga manjadi
alasan mengapa kita mengumpulkan uang di atas rata-rata pemain di kota
ini."
Itu memang benar; untuk mengatur pengeluaran di
gereja ini, seratus coll setidaknya di butuhkan setiap harinya. Jumlah
ini melebihi pendapatan harian si pemburu buah sebelumnya.
"Itulah mengapa aku terus mengawasi mereka akhir-akhir ini..."
"...Mengawasi siapa?"
Mata lembut Sasha berubah dalam sekejap. Ketika ia membuka mulut untuk melanjutkan perkataannya, pada saat itu...
"Sensei! Sasha-sensei! Ini mengerikan!!"
Pintu pada ruang ini terbanting terbuka, dan beberapa anak membanjiri ruang ini seperti longsor salju.
"Hei, kalian tak sopan pada tamu!"
"Itu tak penting sekarang!!"
Si rambut merah yang sebelumnya kini berteriak, dengan air mata yang akan tumpah dari matannya.
"Kak Gin dan lainnya telah tertangkap oleh the Army!"
"—Dimana!?"
Bangun dengan cara yang begitu tegas bahwa ia merasa seolah-olah dirinya menjadi orang lain, Sasha menanyai anak ini.
"Di
lahan kosong di belakang toko bekas pada distrik timur kelima. The Army
telah memblokir lorongnya dengan sepuluh orang atau lebih. Hanya Kotta
yang berhasil melarikan diri."
"Mengerti, aku akan pergi kesana sekarang. —Maaf, tapi..."
Berbalik menghadap wajah Asuna dan Kirito, Sasha menundukkan kepalanya.
"Aku tak bisa mengabaikan anak-anak ini. Kita akan melanjutkan percakapan ini nanti..."
"kami juga akan pergi, sensei!!"
Karena
anak berambut merah menangis, seluruh anak-anak yang dibelakang juga
berteriak karena sepakat. Bergegas menuju samping Kirito, si anak
laki-laki yang memiliki ekspresi putus asa berbicara.
"Kak,
pinjami kami senjata sebelumnya sebentar saja! Jika kami memiliki
senjata itu, orang-orang dari the Army akan melarikan diri!"
"Aku tak terima!"
Sasha menolak dengan tegas.
"Kalian semua akan menunggu di sini!"
Saat
itu juga, Kirito yang telah mengamati keadaan secara diam -diam,
mengangkat tangan kanannya seolah-olah menenangkan anak-anak. Ia jarang
membaca sejauh mana isi pembicaraan sekarang ini, tetapi hanya kali ini,
ia menunjukkan suatu harapan yang segera menenagkan semua anak-anak.
"—Sayang sekali—"
Kirito mulai berbicara dalam nada tenang.
"Parameter
yang dibutuhkan untuk senjata itu terlalu tinggi, sehingga kau tak akan
bisa mengequipkannya. Kami akan membantu kalian. Meskipun terlihat
seperti itu, kakak perempuan yang disana sungguh sangat kuat."
Melirik Kirito, Asuna juga mengangguk. Berdiri, Asuna menuju Sasha dan membuka mulutnya.
"Ijinkan kami untuk membantu. Memiliki kekuatan lebih seharusnya lebih baik."
"—Terima kasih, aku akan bergantung padamu."
Sasha mengangguk dalam, menarik kacamatanya lalu berbicara.
"Nah, maafkan aku, tapi kita akan berlari!"
Bergegas
keluar dari gereja, Sasha mulai berlari kedepan sambil membawa
belatinya di pinggang. Menggendong Yui, Asuna juga mengejar di
belakangnya bersama Kirito. Saat Asuna melirik punggungnya sambil
berlari, ia menyadari segerombol anak mengikuti mereka di belakang,
tetapi tampaknya Sasha tak memiliki niat untuk menyuruh mereka pulang.
Berlari
melalui rimbunnya pohon, mereka memasuki distrik timur keenam dan
menuju gang-gang belakang. Tampaknya Sasha mengambil jalan pintas yang
paling pendek menuju lokasi, karena ia melewati toko-toko NPC, taman
milik rumah pribadi dan semacamnya, mereka melihat sekelompok orang yang
memblokir jalan kecil didepan. Tampaknya setidaknya ada sepluh orang.
Berpakaian seragam hijau keabu-abuan dan equipment baja hitam, tidak
salah lagi mereka adalah anggota the «Army».
Sasha
yang berlari tanpa keraguan melewati lorong-lorong akhirnya berhenti, ia
menarik perhatian para pemain the Army, dan mereka berbalik dengan
senyum lebar.
"Oh, si pengasauh ada di sini."
"...Tolong kembalikan anak-anak."
Sasha berbicara dengan suara yakin.
"Jangan
rusak reputasi kami seperti itu. Kami akan segera mengembalikan mereka;
kami hanya ingin mengajari mereka sopan santun."
"Ya, ya. orang-orang kota memiliki kewajiban untuk membayar pajak."
Si pria itu lalu tertawa wa-ha-ha-ha, dan semakin keras. Sasha makin mendekat.
"Gin! Kain! Semuanya!! Kalian disana!?"
Ketika Sasha memanggil seperti itu, suara ketakutan terdengar membalas.
"Sensei! Sensei... tolong kami!"
"Jangan khawatirkan masalah uang, serahkan saja semuanya!"
"Sensei... kami tak bisa...!"
Kali ini, suara anak si rambut merah terdengar.
"Nha, ha, ha."
Salah satu anggota Army yang memblokir jalan tertawa sangat keras.
"Well, semua ini karena kalian belum membayar pajak... Uangnya tidak akan cukup kalau hanya segini, eh."
"Benar, sangat benar. Kami ingin kalian juga menyerahkan equipment. Semua armor kalian... setiap lembar armor."
Melihat
senyum mesum si pria tersebut, Asuna langsung bisa menebak kondisi
mereka di dalam jalanan sempit ini. «Pasukan Penagih Pajak» ini tanpa
diragukan lagi akan menuntut kelompok anak - anak, termasuk juga
perempuan untuk menyerahkan pakaian mereka. Darah dalam diri Asuna mulai
mendidih karena kemarahan.
Sasha tampaknya juga telah mengambil kesimpulan yang sama, ia mendekat menuju anggota the Army dengan hawa permusuhan.
"Minggir... jangan menghalangi! Jika tidak..."
"Jika tidak akan apa hah, pengasuh bayi? Kau akan membayar pajak di tempat ini?"
Orang-orang tersebut menyeringai tanpa ada niat untuk menyingkir.
Di
dalam kota, atau setidaknya dalam ruang jangkauan kota, program yang
dikenal sebagai Kode Anti Kriminal selalu aktif, mencoba untuk membuat
kerusakan, begitu juga untuk memindahkan pemain lain di luar kehendak
mereka benar-benar tak mungkin. Akan tetapi, para pemain yang memblokir
jalan ini juga begtu. Menyegel jalan dengan cara berdiri di sini, dengan
maksud memblokir; bahkan beberapa orang mengelilingi target secara
langsung untuk melumpuhkan si korban ke dalam «Area»; keberadaan metode
tak bermoral ini bisa di perbolehkan.
Seperti itulah,
tindakan tersebut hanya efektif dalam kasus dimana seseorang telah
bergerak kedalamnya. Asuna menatap Kirito, lalu berbicara.
"Ayo maju, Kirito-kun."
"Yea."
Mengangguk setuju, mereka bersama-sama menendang tanah tempat mereka berpijak.
Mereka
berdua melompat ke depan dengan mengggunakan ketangkasan dan kekuatan
yang mereka miliki, Sasha dan anggota the Army hanya bisa melihat
tercengang ke atas ketika mereka melewati halangan dengan begitu mudah,
dan akhirnya mendarat di ruang yang tertutup dari segala sisi.
"Woah!?"
Beberapa orang melompat mundur karena ketakutan.
Di
pojok area tersebut, dua anak laki-laki dan satu anak perempuan di usia
sepuluh tahunan meringguk kaku bersama-sama. Armor mereka telah
dicopot, hanya berpakaian pakaian dalam. Asuna menggigit bibirnya, lalu
melangkah menuju anak-anak tersebut, dan berbicara sambil tersenyum.
"Sudah tak apa-apa sekarang. Kalian bisa mendapatkan kembali equipment kalian."
Mereka
akhirnya mengangguk dengan mata terbuka, mengambil kembali armor mereka
yang berada di dekat kaki dengan panik, dan mulai mengoperasikan
jendela mereka.
"Oi... Oi, oi, oi!!"
Pada saat itu, seorang pemain dari the Army akhirnya datang dan berteriak keras.
"Apa urusan kalian!! Jangan berani-berani menghalangi pekerjaan the Army!!"
"Tunggu, tunggu sebentar."
Menghentikan teriakan si pria, pemain dengan armor berat melangkah ke depan. Tampaknya ia adalah pemimpin grup ini.
"Kami
belum pernah menjumpai kalian di sekitar sini, tetapi apakah kau tau
jika tindakanmu itu menentang pasukan pembebasan? Jika kalian masih
bermaksud seperti itu, kami bisa menginterogasimu di markas pusat."
Mata
sipit si pemimpin tersebut bersinar penuh kekejian. Mencabut pedang
besar dari pinggangnya,ia melangkah sambil berulang kali mengasar mata
pedangnya di telapak tangannya dengan tujuan tertentu. Permukaan pedang
tersebut berkilau karena cahaya matahari yang hampir terbenam. Sebuah
kilauan ciri khas suatu senjata yang tak pernah digunakan ataupun
diperbaiki dari kerusakan bahkan satu kalipun.
"Atau kamu ingin melunasi «persahabatan dari luar» ini, persahabatan dari luar? Eh!?"
Pada saat Asuna mendengar kalimat tersebut.
Gemertak
gigi Asuna bisa terdengar. Ia berpikir jika masalah ini bisa
diselesaikan dengan damai, akan tetapi ketika ia melihat anak-anak yang
ketakutan, amarahnya sudah melewati batasnya.
"...Kirito-kun, aku serahkan Yui-chan padamu."
Yui
diserahkan pada Kirito, dan sebelum seorangpun tahu apa yang terjadi,
ia telah mematerialkan rapier miliknya dengan satu tangan. Menghunus
rapier yang diterimanya, ia lalu bergerak cepat menuju si pemimpin.
"A.... Ah...?"
Menghadapi
si pria yang masih belum memahami situasi dengan mulutnya yang setengah
terbuka, Asuna tiba-tiba memusatkan kekuatannya dalam serangan tusukan
satu tangan.
Area sekitar tiba-tiba di selimuti cahaya
keunguan. Suara hantamannya seperti sebuah ledakan. Wajah si pria
terdorong, dan ia jatuh ke belakang dengan linglung karena matanya masih
terbuka.
"Jika kau sebegitu inginnya bertarung, tak perlu jauh-jauh pergi ke field."
Melangkah
menuju hadapan si pria, Asuna sekali lagi mengacungkan tangan kanannya.
Cahaya tersebut terulang lagi, dan suara yang memekakan telinga
bergemuruh lagi. Si pemimpin grup ini terdorong kebelakang seolah-olah
ia ditolak.
"Jangan khawatir, HP milikmu tak akan menurun. Well, terima kasih karenanya, aku tak perlu menahan lagi."
Menatap Asuna yang perlahan mendekat dengan bibirnya gemetar, si pemimpin tampaknya menyadari maksud tersirat Asuna.
Dalam
jangkauan Kode Anti Kriminal, bahkan jika menyerang kepada pemain lain,
serangan tersebut akan dihentikan oleh dinding yang tak terlihat dan
tak ada damage yang diberikan. Akan tetapi aturan ini juga memiliki
celah tertentu: yaitu si penyerang tak perlu khawatir jika ia berubah
warna menjadi pemain orange.
Sebagai
contohnya celah tersebut bisa digunakan «Dalam Jangkauan Pertarungan»,
biasanya digunakan untuk pertarungan palsu untuk latihan. Bagaimanapun
juga, karena tingkat status dan skill si penyerang, suara dari hantaman
dan terangnya warna yang diciptakan oleh sistem, pada waktu yang sama
kode tersebut diaktifkan, dan serangan akan ditingkatkan sesuai status
si penyerang; dan ditambah dengan kekuatan sword skill yang digunakan,
meskipun sedikit, efek dorongan ke belakang akan tetap dihasilkan. Untuk
orang yang belum terbiasa, efek tersebut tidaklah mudah untuk ditahan,
meskipun kamu tahu bahwa HP tak akan menurun.
"Eek... h- henti..."
Terdorong ke tahan karena serangan Asuna, ia menjerit.
"Kalian... jangan cuma menonton... lakukan sesuatu...!!"
Akhirnya mendapat kesadaran karena suara si pemimpin, para anggota the Army mengeluarkan senjata mereka satu persatu.
Para
pemain yang sebelumnya memblokir jalan, kini merasakan ketidaknormalan
pada situasi ini akhirnya berlari dari jalanan utara dan selatan.
Dikelilingi
oleh pemain the Army dalam bentuk setengah lingkaran, Asuna menatap
mereka dengan mata yang berkobar - kobar, seolah-olah ia telah kembali
ke waktu ketika ia menjadi seorang pemain yang bersemangat. Menendang
tanah tanpa berkata - kata, ia menerjang pasukan tersebut yang tepat
dihadapannya.
Dalam waktu singkat, jalanan sempit itu terisi oleh raungan-raungan bagaikan petir.
Sekitar tiga menit kemudian.
Setelah
Asuna mendapatkan kembali kesadarannya, ia berhenti melangkah ke depan
dan menurunkan pedangnya, apa yang terbaring di area tersebut adalah
para pemain the Army yang telah kalah. Satu-satunya yang masih tersisa
telah meninggalkan pemimpin mereka dan ia telah kabur.
"Whew..."
Mengambil
nafas dalam - dalam, Asuna menyarungkan rapier miliknya dan berbalik
kebelakang— apa yang ia lihat adalah sosok Sasha dan anak-anak dari
gereja yang masih berdiri penuh shok, kehilangan kata-kata.
"Ah..."
Asuna
mundur selangkah sambil menahan nafas. Ia yakin nahwa ia telah menakuti
anak-anak tersebut ketika sangat marah dan mengancam the Army
sebelumnya, lalu ia memalingkan matanya penuh depresi.
Pada
saat itu, si anak laki-laki yang seperti biasa berdiri kedepan di
hadapan anak lainnya, sambil menyisir rambut merahnya kembali, bersorak
sambil matanya berbinar.
"Mengagumkan... itu mengagumkan kak!! Itu pertama kalinya aku melihat hal seperti itu!!"
"Aku bilang juga apa, kakak ini benar-benar kuat kan?"
Kirito
melangkah maju dengan senyum lebar. Memegang Yui dengan tangan kirinya,
sebuah pedang dibawa di tangan kanannya. Tampaknya ia juga ingin
menghadapi beberapa di antara mereka.
"...A- Ahaha."
Asuna tertawa karena hal tersebut, lalu anak-anak tiba-tiba menyoraki dan melompat ke arahnya.
Sasha memegang kedua tangannya erat-erat di dadanya, tersenyum sambil matanya hendak meneteskan air mata.
"Semuanya.... Perasaan semuanya-"
Suara
kecil namun bisa didengar jelas. Asuna mengangkat wajahnya karena
kaget. Dalam lengan Kirito, Yui yang telah terbangun tanpa seorangpun
menyadari, menatap ke atas pada udara hampa dan mengacungkan tangan
kanannya.
Asuna melihat ke arah yang ditunjuk, namun tak ada apapun disana.
"Perasaan semuanya..."
"Yui! Ada apa, Yui!!"
Kirito
berteriak, lalu Yui berkedip dua hingga tiga kali, melihat dengan
ekspresi kosong. Asuna juga berlari penuh kebingungan lalu menggenggam
tangan milik Yui.
"Yui-chan... mungkinkah, kamu mengingat sesuatu!?"
"...Aku... Aku..."
Sambil mengerutkan kening, ia menundukkan kepalanya.
"Aku, tidak pernah... disini... aku selalu sendirian dalam kegelapan..."
Sambil mengerutkan kening seolah-olah ia teringat sesuatu, Yui menggigit bibirnya. Dan, pada saat itu...
"Wa... aa... aaah!!"
Memalingkan kepalanya ke belakang, sebuah jeritan bernada tinggi keluar dari tenggorokannya.
"...!?"
Zsh,
zsh, suara yang mirip mesin elektronik bergema dalam telinga Asuna
untuk pertama kalinya sejak ia berada dalam SAO. Tiba-tiba setelah hal
itu, tubuh Yui mulai bergetar di sana-sini seolah-olah akan runtuh.
"Yu... Yui-chan...!"
Asuna menjerit dan membungkus tangannya di sekitar tubuh Yui secara panik.
"Mama... menakutkan... Mama...!!"
Memeluk
tubuh lemah Yui dalam lengan Kirito, Asuna memeluknya erat dalam
dadanya. Beberapa detik kemudian, fenomena aneh tersebut menenang, dan
tenaga menghilang dari tubuh Yui yang kaku.
"Sebenarnya apa yang terjadi barusan..."
Bisikan kosong dari Kirito samar-samar mengalir dalam keheningan.
Bagian 3
"Semuanya, masing-masing ambillah satu potong roti!"
"Hei, minumannya akan tumpah jika kamu tak memperhatikan!"
"Aah, sensei! Gin mengambil telur goreng matahari milikku!"
"Aku telah memberikan wortelku sebagai gantinya kan!"
"Ini... sungguh mengagumkan..."
"Ya, sungguh..."
Baik
Asuna dan Kirito menatap adegan sarapan yang tampak seperti medan
perang di depan mereka, dan berguman satu sama lain dalam kebingungan.
Pada
Starting City, tepatnya di ruang tamu dalam gereja pada distrik timur
ketujuh. Piring besar penuh telur, sosis, salad sayur dan sejenisnya
berbaris di sepanjang meja makan yang besar, meja tersebut hampir
terpenuhi oleh duapuluh anak-anak atau lebih dalam keributan.
"Tetapi, tampaknya mereka menikmatinya."
Pada meja lingkaran yang sedikit jauh, Asuna duduk bersama Kirito, Yui, dan Sasha yang tersenyum setelah meminum secangkir teh.
"Seperti inilah setiap harinya. Keadaan ini tak akan tenang tak peduli berapa kali kamu menyuruh mereka diam."
Setelah
berkata seperti itu, Sasha menyipitkan matanya yang terisi kasih sayang
dari dalam lubuk hatinya ketika ia menatap anak-anak.
"Kamu sungguh menyayangi anak-anak kan?"
Asuna berkata dan Sasha hanya tersenyum malu.
"Di
dunia nyata, aku telah berlatih untuk menjadi seorang guru di
universitas. Kamu mengerti kan, kekacauan dalam kelas selalu menimbulkan
masalah. Kemampuan untuk bisa mengarahkan anak - anak; aku selalu
terpancing akan hal tersebut. Namun ketika aku tiba di sini, ketika aku
memulai hidup bersama anak-anak tersebut, semuanya tampak berbeda dari
apa yang aku yakini... rasanya aku menjadi yang bergantung pada mereka;
bahwa mereka telah mendukung aku lebih banyak. Namun, yah hal itu
mungkin baik-baik saja... aku mulai mempecayai bahwa hal tersebut
hanyalah hasil alami."
"Yah, aku menjadi mengerti entah bagaimana."
Asuna
mengangguk, sambil mengusap kepala Yui yang telah memasukkan sendok
kemulutnya dengan lembut. Kehangatan yang dibawa oleh kehadiran Yui
mengejutkan Asuna. Kehangatan tersebut berbeda dari kehangatan cinta
yang ia rasakan di dadanya ketika bersentuhan dengan Kirito; kehangatan
seperti dimasukkan kedalam bulu yang tak bisa dilihat, sebelum tersadar
sekali lagi; sebuah ketenangan terasa.
Kemarin,
setelah pingsan secara tiba - tiba, Yui secara beruntung bangun setelah
beberapa menit. Bagaimanapun juga, karena Asuna tidak ingin membuat
perjalanan panjang ataupun menggunakan gerbang teleport lagi, dan juga
karena undangan Sasha, Kirito dan Asuna akhirnya meminjam salah satu
kamar yang tersedia di gereja untuk menginap.
Kondisi
Yui tampaknya semakin membaik sejak pagi hari, jadi Asuna serta Kirito
menjadi senang karena hal tersebut, tetapi asal usul asli Yui belum
diketahui. Berdasarkan ingatan samar-samar yang telah Yui dapatkan, ia
tampaknya tak pernah datang ke Starting City, dan lebih parahnya lagi,
ia tidak tinggal bersama seorang pengasuh. Dalam hal ini, penyebab
rusaknya ingatan milik Yui, atau gejala kemunduran otaknya benar-benar
tak di ketahui dan mereka berdua bingung apa yang akan mereka lakukan
selanjutnya.
Namun Asuna telah bersabar dari perasaan yang ada di dalam hatinya.
Juga
hingga sekarang, ia akan melanjutkan hidupnya bersama Yui hingga
ingatannya kembali. Bahkan jika cutinya akan berakhir, dan ia harus
kembali ke garis depan, pasti ada suatu cara untuk—
Karena Asuna terdiam karena kecemasannya ketika membelai rambut Yui, Kirito meletakkan cangkirnya dan mulai berbicara.
"Sasha-san..."
"Ya?"
"...Well,
ini tentang the Army. Sejauh pengetahuanku, meskipun kekejaman dari
meraka sungguh luar biasa, mereka masih bertekad untuk menjaga
ketertipan umum. Melihat kembali tindakan orang-orang kemarin, tampaknya
mereka bertindak seperti seorang kriminal... sejak kapan hal seperti
itu terjadi?"
Sasha menjawab dengan tegang.
"Waktu
ketika aku merasakan ada perubahan dalam tujuan mereka telah terjadi
setengah tahun yang lalu... ada beberapa orang yang melakukan tindakan
pemerasan dengan dalih pemungutan pajak, begitu juga di sisi lain, yang
ingin menumpas tindakan pemerasan tersebut.
Aku juga
pernah melihat sesama anggota the Army saling berhadapan satu sama lain
beberapa kali. Berdasarkan rumor, tampaknya ada perebutan kekuasaan
diantara para petingginya atau hal semacam itulah..."
"Yeaa...
Well, mereka masih sebuah organisasi besar yang memiliki anggota lebih
dari seribu sekarang ini. Tak ada pikiran yang terlintas ketika mereka
akan memonopoli... Akan tetapi, jika apa yang terjadi kemarin adalah
kegiatan harian mereka, mereka tidak seharusnya dibiarkan... Asuna."
"Apa?"
"Apakah pria itu tahu akan situasi ini?"
Menebak siapa orang yang dimaksud dengan kata-kata enggan, orang itu, Asuna berbicara sambil menahan senyum.
"Well,
aku kira ia akan tahu... Ketua Heathcliff itu orang yang serba tahu,
bahkan tentang gerakan the Army. Berbicara tentangnya, bagaimana caranya
aku mengatakan ini ya, ia tampaknya tak tertarik pada apapun selain
pemain level atas... ia pernah menanyai berbagai macam hal tentang
Kirito-kun ketika sebelumnya, tetapi pada saat penaklukan guild
pembunuh, «Laughing Coffin», berlangsung, ia hanya meninggalkan kita
dengan satu pasukan untuk pergi, Aku akan menyerahkannya padamu.
Bagaimanapun, aku percaya ketua mungkin tak akan mengerahkan grup
penyelesai demi memperngaruhi the Army."
"Well,
tampaknya hal itu mungkin juga jika kamu menganggap seperti itu...
Tetapi dalam kasus ini, kita tak bisa bertindak banyak jika hanya kita
berdua."
Mengerutkan alisnya ketika ia meminum teh, Kirito tiba-tiba mengangkat wajahnya dan menatap pintu masuk gereja.
"Seseorang disini. Satu orang..."
"Eh... Mungkinkah tamu lain..."
Menegaskan kata-kata Sasha, sebuah ketukan terdengar di dalam bangunan gereja.
Seseorang
yang memasuki ruang tamu bersama Sasha yang membawa sebuah belati
tergantung di pinggangnya, dan Kirito, yang juga mengikuti Sasha untuk
memastikan, adalah seorang pemain wanita berpostur tinggi. Rambut
keperakan yang diikat ekor kuda memberikan kesan sosok yang berwawasan,
serta mata berwarna biru langitnya terisi penuh semangat, wajah yang
cantik.
Gaya rambut, warna rambut, bahkan warna pupil
mata bisa di atur sesuka hati dalam SAO, tetapi karena kebanyakan sistem
yang bekerja adalah buatan Jepang, pemain dengan corak warna kuat
seperti ini bisa dikatakan cukup jarang. Asuna juga pernah sekali
mencoba sekuat tenaga untuk mewarnai rambutnya menjadi merah muda;
kejadian itu adalah sebuah masa lalu yang tak boleh dikatakan dimana ia
akhirnya mengembalikan warnanya menjadi coklat karena kecewa.
Ia
adalah wanita yang cantik, dan setelah mendapat kesan pertama juga
termasuk bahwa ia adalah wanita dewasa, Asuna menjatuhkan pandangannya
sekali lagi menuju equipment yang dikenakan si wanita tersebut, lalu ia
terkejut secara reflek.
Meskipun equipment tersebut
tersembunyi oleh jubah abu - abu, pada tubuh si pemain wanita ini, ia
mengenakan sebuah mantel hijau kehitaman dengan bawahan berwarna sama
hingga pahanya; armor metal dengan warna pudar ini tak salah lagi adalah
seragam dari the «Army». Di sisi kanan pinggangnya ada sebuah pedang
pendek, dan sebuah cambuk menggulung di sisi kirinya.
Anak-anak
yang menyadari kehadiran si wanita langsung terdiam secara bersamaan
dan berhenti bergerak sementara mata mereka terisi penuh kewaspadaan.
Akan tetapi, Sasha tersenyum kepada mereka dan berbicara seolah ia
menghapus rasa ketidak percayaan mereka.
"Semuanya, tenanglah, jangan khawatir atas kehadiran wanita ini. Lanjutkan sarapan kalian."
Anak-anak
memandang penuh tanya, tetapi dengan kata-kata Sasha yang mereka
percayai, semuanya melepaskan ketegangan yang ada di pundak mereka
dengan perasaan senang, lalu keributan kembali hadir di ruang tamu
tersebut. Si pemain wanita yang telah berjalan menuju meja bundar di
tengah-tengah semuanya dan mengambil tempat duduk yang telah disediakan
oleh Sasha, ia akhirnya duduk dengan sedikit membungkuk.
Tidak
memaham situasi ini, ia menatap Kirito dengan penuh tanya, dan Kirito
yang juga telah duduk di kursi menundukkan kepalanya kesamping hingga ia
menghadap Asuna lalu berbicara.
"Er, well, orang ini
bernama Yuriel-san. Tampaknya ia memiliki suatu hal untuk dibicarakan
dengan kita." Pemain berambut silver pengguna cambuk yang telah
diperkenalkan sebagai Yuriel menatap lurus ke arah Asuna untuk sesaat,
sebelum akhirnya ia menundukkan kepalanya dan membuka mulutnya.
"Senang bertemu denganmu, Namaku Yuriel. Aku masuk dalam sebuah Guild, namanya ALF."
"ALF?"
Asuna bertanya akan nama guild tersebut yang ia dengar untuk pertama kalinya, dengan cepat si wanita menundukkan kepalanya.
"Ah,
maafkan saya. Nama itu adalah sebuah singkatan untuk the Aincrad
Liberation Force. Aku tak begitu suka nama resminya, jadi..." Suara si
wanita terdengar begitu elegant. Perasaan iri tumbuh semakin besar dalam
hati Asuna yang selalu berpikir bahwa suaranya kekanak-kanakan, jadi ia
kembali memperkenalkan dirinya.
"Senang berkenalan
denganmu. Aku dari guild Knights of the Blood's— ah, tidak, aku sedang
liburan untuk sementara waktu, kamu bisa memanggilku Asuna. Lalu anak
ini bernama Yui."
Setelah menghabiskan sup dan sedang
menikmati jus buahnya, Yui mengangkat wajahnya tiba - tiba,
memperhatikan Yuriel lebih dekat. Ia sedikit mencondongkan kepalanya,
lalu ia segera memberikan sebuah senyum manis, lalu memundurkan
tatapannya.
Pada saat nama Knights of the Blood sampai di telingan Yuriel, ia membuka mata biru langitnya lebih lebar.
"KoB... aku mengerti, tak heran jika orang-orang itu dikalahkan dengan mudah."
Asuna yang menyadari siapa orang yang dimaksud, meningkatkan kewaspadaannya sambil berbicara.
"...Dengan kata lain, kamu kesini untuk menanyakan kejadian kemarin, benar begitu kan?"
"Bukan,
bukan, bukan untuk itu aku kemari. Malah kebalikannya; aku ingin
mengungkapkan rasa terima kasihku karena kalian melakukan hal seperti
itu."
"..."
Menatap Kirito dan Asuna yang terdiam karena tidak memahami maksudnya,Yuriel berterus terang akan maksud tujuannya kemari.
"Hari ini, aku datang ke sini karena aku ingin meminta bantuan kalian berdua."
"S-sebuah permintaan...?"
Rambut silvernya bergoyang karena mengangguk, si swordswoman dari the Army melanjutkan perkataannya.
"Iya.
Aku akan memulai penjelasanku dari sangat awal. Apa yang kita kenal
sebagai the Army, bukanlah nama yang terkenal jika dulu... alasan
mengapa ALF menjadi nama Army saat ini dikarenakan fakta bahwa si wakil
ketua yang mendirikan guild ini, seorang pria yang bernama Kibaou,
sekarang ia menjadi pemimpin yang menguasai guild ini. Pada awalnya, ia
memilih nama guild, MTD... pernahkan kamu mendengarnya?"
Asuna tidak mengingat jika pernah mendengar nama itu sebelumnya, namun Kirito memberikan balasan tiba-tiba.
"Nama
itu mungkin sebuah singkatan dari «MMO Today». Pada waktu ketika SAO
dimulai, nama tersebut adalah situs perkumpulan informasi game terbesar
di jepang. Orang yang membentuk guild seharusnya menjadi seorang
administrator dari sana. Jika aku tak salah, namanya adalah..."
"Sinker."
Pada saat nama tersebut diucapkan, wajah Yuriel sedikit berubah.
"Dia...
dulunya tidak ingin membuat organisasi sok kuasa seperti sekarang ini.
Apa yang ia inginkan hanyalah kesetaraan pembagian informasi serta
sumber makanan diantara pemain sebanyak mungkin..."
Bahkan
setelah Asuna mengetahui keinginan serta gagalnya the «Army» ketika
waktu itu melalui desas-desus. Keinginan untuk memburu monster dengan
banyak orang, mengurangi tingkat bahaya sebanyak mungkin, melalui itu
semua mereka bisa mendapatkan pemasukan tetap dan pengeluaran yang
seimbang, tindakan seperti itu bukanlah suatu aib. Tatapi inti dari
MMORPGs adalah perebutan sumber daya oleh pemain untuk mereka sendiri,
dan hal tersebt tidaklah berubah bahkan bagi orang yang tak dikenal,
tidak hanya kondisi extreme yang ada di permainan seperti SAO. Tidak,
sebenarnya, bisa dikatakan bahwa kondisi seperti itu malahan semakin
menguatkan.
Terlebih lagi, rencana serta kepemimpinan
yang kuat bagi sebuah organisasi sangat penting untuk mewujudkan
keinginan organisasi, untuk tambahan juga, the Army terlalu besar.
Persembunyian dari item yang diperoleh semakin merajalela, pemberontakan
secara tiba-tiba terjadi satu persatu, lalu pemimpin guild secara
perlahan kehilangan kendali atas guildnya.
"Dan seseorang yang datang untuk memperkuatnya adalah laki-laki bernama Kibaou."
Yuriel berbicara dalam nada yang tidak senang.
"Dia
mendukung konsep individualise dari Sinker, lalu memulai memperkuat
struktur organisasi dengan pemain-pemain berlevel tinggi yang memiliki
pandangan yang sama, dan mengubah nama guild menjadi Aincrad Liberation
Force. Untuk tambahan saja, dia mendukung perburuan kriminal dan
memonopoli field dengan keefektifan diatas rata - rata, melalui
penggunaan kebijakan resmi. Dia setidaknya mempertimbangkan hubungan
dengan guild lain dengan cara mempertahankan etika berburu pada
area-area setelahnya, dia tetap memonopoli dalam periode waktu lama
melalui berbagai cara kekerasan, meningkatkan keuntungan guild dengan
tajam, serta menyebabkan pendukung Kibaou memperoleh kekuasaan politik
secara cepat. Akhirnya, Sinker secara cepat menjadi tak lebih dari
pemimpin palsu... sedangkan pemain-pemain dari kelompok Kibaou telah
memulai tindakan pemerasan dibalik dalih «penagihan pajak» bahkan di
dalam batas kota. Kemarin, orang yang menyebabkan kalian menemui keadaan
berbahaya adalah bagian dari kelompok tersebut."
Yuriel mengmbil nafas, meminum teh yang Sasha buat lalu melanjutkan.
"Bagaimanapun
juga, meskipun kelompok Kibaou memiliki kelemahan. Mereka tak mencari
apapun selain pengumpulan kekayaan, mereka juga hampir tidak melanjutkan
penyelesaian permainan ini. Kepercayaan pada mereka menyebabkan suatu
akhir, dan menjadi pembicaraan populer diantara para pemain yang
mengikuti Kibaou... Untuk mengendalikan ketidakpuasan tersebut, Kibaou
akhirnya memilih bertaruh. Bersama bawahannya, dia membentuk sebuah
party yang terdiri dari sepuluh pemain yang memiliki level paling atas,
lalu mengirim mereka untuk mengalahkan boss paling atas."
Asuna
secara sengaja bertukar pandang dengan Kirito. Pemain dari the Army
yang bernama Colbert menantang boss lantai tujuh puluh empat «The
Gleameyes», tanpa persiapan yang tepat dan akhirnya tewas secara tragis,
sungguh kenangan yang buruk bagi Asuna.
"Bagaimanapun
juga betapa tingginya levelmu sejak awal, ketika dibandingkan dengan
grup penyelesai, kita tak bisa menolak kurangnya kecapakan yang dimiliki
... hingga akhirnya, party tersebut dihancurkan, dan yang terburuk
adalah si pemimpin party tersebut tewas. Kibaou menyalahkan hasil
tersebut. Kita sedikit lagi hampir bisa untuk mengeluarkannya dari
guild, tetapi..."
Kerutan terbentuk di batang hidung Yuriel, lalu ia menggigit bibirnya.
"Tiga
hari lalu, Kibaou mengambil tindakan berlebih karena ia diburu lalu
memasang sebuah perangkap kepada Sinker. Dia menggunakan kristal koridor
yang telah diatur menuju dungeon terdalam pada pintu keluarnya, dan
Sinker secara singkat langsung terbuang menuju dungeon tersebut. Pada
waktu itu, Sinker pergi tanpa membawa equipment miliknya karena percaya
pada perkataan Kibaou, 'Ayo berbincang tanpa menggunakan senjata,' serta
di dungeon tersebut seseorang tak akan bisa melewati mob monster dari
bagian paling dalam dan bisa kembali sendiri. Tampaknya ia juga tak
membawa kristal teteport..."
"T- tiga hari telah berlalu...!? Sinker-san pasti...?"
Menghadap Asuna yang memberikan pertanyaan, Yuriel mengangguk ringan.
"Namanya
pada «Monument of Life» masih belum terconteng, jadi tampaknya ia
berhasil menuju area aman. Akan tetapi, karena lokasi dungeonnya
kemungkinan berlevel tinggi, kami tak bisa mengambil tindakan apapun...
kamu tahu kan, pesan tak bisa dikirimkan jika di dalam dungeon, dan
jendela penyimpanan guild tak bisa diakses dari dalam sana, jadi kami
juga tak bisa mengirimkan kristal teleport."
Semenjak
menggunakan Kristal koridor bisa mengirimkanmu ke tujuan kematian, hal
tersebut adalah salah satu teknik dasar yang biasa dikenal sebagai,
«Portal PK», Sinker seharusnya tahu akan hal tersebut. Akan tetapi, ia
mungkin tidak mempertimbangkan jika wakil ketua pada guild yang sama
akan melakukan tindakan seperti itu bahkan penuh kebencian diantara
mereka berdua. Atau mungkin, Sinker hanya tidak ingin mempercayai fakta
tersebut.
Karena kelihatannya ia bisa membaca pikiran Asuna, Yuriel berguman, "Dia hanya orang yang terlalu baik," lalu melanjutkan.
"...seseorang
yang hanya bisa memanipulasi bukti seorang pemimpin guild, the «Scroll
of Contracts», adalah Sinker dan Kibaou, jika terus seperti ini, dengan
tidak kembalinya Sinker, manajemen guild dan semacamnya, bahkan masalah
keuangan; semua hal tersebut akan dikendalikan oleh Kibaou. Kewajiban
untuk mencegah Sinker jatuh kedalam perangkap bersama asistennya, adalah
aku, dan aku tak punya pilihan lain serta menyelamatkannya. Namun aku
tak mungkin melewati dungeon yang sulit demgam levelku saat ini; begitu
juga memanggil dukungan dari pemain the «Army»."
Ia menggigit bibirnya rapat, sebelum menatap lurus menuju Kirito lalu ke Asuna.
"Dan
pada waktu itu, aku mendengar kabar burung jika sepasang pemain yang
sangat kuat muncul di kota ini, oleh karenanya aku datang ke sini untuk
meminta bantuan, aku tak bisa mengabaikan situasi ini dan tak melakukan
apapun. Kirito-san— Asuna-san." Yuriel membungkuk dalam, lalu berbicara.
"Aku yakin ini sungguh tindakan yang lancang karena
kita baru saja bertemu, tetapi kumohon, bisakah kalian membantuku untuk
menyelamatkan Sinker?"
Asuna menatap Yuriel sungguh-sungguh yang telah menyelesaikan cerita panjangnya.
Ini
menyedihkan untuk dikatakan sebenarnya, tetapi dalam SAO, kata-kata
dari orang lain tak bisa dipercaya sebegitu mudahnya. Bahkan untuk
masalah seperti ini, kemungkinan hal ini adalah konspirasi untuk
memancing Kirito dan Asuna menuju batas luar kota lalu melukai mereka
berdua tak bisa diabaikan begitu saja. normalnya, selama memiliki
pengetahuan yang cukup tentang permainan ini, mungkin bisa menemukan
kebohongan pada cerita ini, namun tak beruntungnya, Asuna dan
teman-temannya mengetahui lebih motif asli yang melibatkan the «Army».
Bertukar pandang dengan Kirito, Asuna membuka mulutnya untuk berbicara dengan sopan.
"—Jika
ada sesuatu yang bisa kami lakukan, kami seharusnya meminjamkan
kekuatan kami—itulah apa yang aku yakini. Tetapi tentang masalah yang
terjadi, pertama-tama kami harsu melakukan penyelidikan terlebih dahulu
setidaknya untuk mengkonfirmasi ceritamu..."
"Seperti yang kuharapkan, aku seharusnya..."
Yuriel mengangguk sedikit.
"Aku
menyadari bahwa ini mungkin permintaan yang tak masuk akal...
bagaimanapun juga, aku tak ingin garis horizontal terukir pada nama
Sinker lebih dulu pada «Monument of Life» di Black Iron Castle sekarang
ini..."
Mata si pengguna cambuk berambut silver tampak
meredup untuk mempengaruhi perasaan Asuna. Ia ingin untuk percaya.
Tetapi pada waktu yang sama, pengalaman yang telah ia kumpulkan lebih
dari dua tahun di dunia ini memperingatkannya, bel alarm tentang bahaya
menggoyahkan emosinya..
Melihat ke arah Kirito, ia
juga tamapaknya kehilangan arah pikirannya sekali lagi. Mata hitamnya
bermaksud menampilkan gejolak hatinya, keinginan untuk membantu Yuriel
dan kuatir akan kesehatan Asuna.
—Kemudian itu terjadi. Yui yang terdiam cukup lama hingga kini tiba-tiba mengangkat kepalanya dari cangkir lalu berbicara.
"Tak apa Mama. Orang ini tak berbohong kok."
Asuna
kaget dan menatap Yui. Mengesampingkan isi perkataannya, kata-kata Yui
sungguh bahasa jepang yang fasih, tampaknya perkataan terputus-putusnya
kemarin suatu kebohongan.
"Yu... Yui-chan, apa kamu bisa memahami hal seperti itu...?"
Ditanyai pertanyaan oleh Asuna yang menatap wajahnya, Yui memberikan anggukan.
"Un. Aku tak bisa... mencari kata-kata yang tepat, tapi aku mengerti..."
Setelah
mendengar kata-kata tersebut, Kirito mengangkat tangan kanannya,
menyentuh kepala Yui. Kirito menatap Asuna lalu menyeringai. "Ayo
percaya padanya, daripada mencurigainya. Ayo pergi. Kita akan menangani
ini."
"Kamu selalu tak memikirkan seperti sebelumnya, huh."
Menggoyangkan kepalanya ketika membalas, Asuna juga membelai rambut Yui dengan tangannya.
"Maaf ya Yui-chan. Kami akan terlambat mencari teman-temanmu untuk satu hari, maafkan kami ya."
Asuna
berbisik dalam suara kecil, meskipun ia yakin jika Yui memahaminya Yui
tersenyum lebar dan mengangguk. Menggerakkian rambut hitamnya sekali
lagi, Asuna berbalik menghadap Yuriel dan berkiata sambil tersenyum.
"...Kami
mungkin tak bisa membantu banyak, tetapi ijinkan kami menemanimu.
Keinginan menolong orang yang penting denganmu; aku juga mengerti
perasaan itu..."
Air mata menetes dari mata berwarna biru langit milik Yuriel, ia lalu membungkuk dalam.
"Terima kasih... terima kasih banyak..."
"Simapn saja terima kasihnya setelah kita menyelamatkan Sinker-san."
Asuna memberikan senyum lainnya, dan Sasha yang sejauh ini melihat dalam keheningan, menepukkan kedua tangannya.
"Maka
dari itu, pastikan kalian mengisi perut dulu! Masih ada makanan yang
tersisa, kamu juga makanlah Yuriel-san." Cahaya matahari yang bersinar
lemah di awal musim dingin berwarna merah terang setelah melewati puncak
pohon di jalanan, menciptakan bayangan pada jalanan berbatu. Hampir
tidak ada seorangpun melalui jalanan di Starting City, dan jalanan yang
membentang si kejauhan, kesan suram benar-benar tak bisa ditolak.
Asuna mempercepat mengenakan equipmentnya melewati jalanan bersama Kirito yang menggendong Yui dibawah panduan Yuriel.
Asuna
umumnya akan meninggalkan Yui bersama Sasha, akan tetapi Yui bersikeras
untuk ikut pergi bersama, akhirnya ia membawa Yui. Tantunya, sebuah
kristal teleport telah disiapkan didalam kantongnya. Jika situasi
semakin memburuk—meskipun mengganggu Sasha—mereka akan segera mundur
dari dungeon.
"Ah, sekarang aku kepikiran sesuatu, kamu masih belum menyebutkan hal penting."
Kirito memanggil Yuriel yang berjalan di depan.
"Dungeon tersebut ada di lantai berapa?"
Yuriel memberi sebuah jawaban sederhana.
"Di sini."
"...?"
Asuna menolehkan kepalanya secara naluri.
"Di sini... eh?"
"Itu,
yah, di Starting City... ada sebuah dungeon besar di dalam tanah pada
pusat kota. Sinker mungkin... ada di bagian paling dalam..."
"Serius?"
Kirito berbicara seperti sedang mengerang.
"Tak ada dungeon seperti itu ketika beta test. Mungkin salah..."
"Pintu
masuk menuju dungeon tersebut ada di Black Iron Castle— dengan kata
lain markas pusat the Army. Dungeon tersebut bukanlah jenis dungeon yang
akan terbuka jika kamu menyelesaikan lantai atas, serta dungeon
tersebut baru ditemukan ketika Kibaou datang untuk memperkuat, mereka
tampaknya ingin memonopoli dungeon tersebut dengan kelompok mereka
sendiri. Dungeon tersebut masih menjadi rahasia untuk sementara waktu
bahkan dari Sinker, dan tentunya dari aku..."
"Jadi
begitu. Ada banyak item langka yang muncul ketika di dalam dungeon yang
masih belum dijelajahi. Mereka pasti mendapat keuntungan dari itu."
"Well, tidak sepenuhnya benar si."
Nada Yuriel kehilangan kesenangan.
"Meskipun
dungeon itu ada di bawah tanah, tingkat kesulitannya benar-benar
tinggi... bahkan diantara monster bawah tanah, level mereka hampir
mendekati monster yang ada di lantai enam puluh. Party yang dipimpin
Kibaou beberapa waktu yang lalu dihancurkan dan mereka melarikan diri
dengan berteleport keluar. Bersyukurlah karena mereka terburu-buru
menggunakan kristal, kita bisa masuk sejauh ini."
"Hahaha, aku mengerti."
Yuriel membalas tawa Kirito dengan senyuman, tetapi langsung hilang tergantikan kemurungan.
"Bagaimanapun
juga sekarang ini, itulah alasan menyelamatkan Sinker menjadi sulit.
Kristal koridor yang digunakan Kibaou menempatkannya agak dalam, lalu ia
berlari kesana kemari, menjauhi monster-monster... Sinker mungkin
berada di ujungnya. Tak mungkin bagiku untuk menangani monster tersebut
jika satu lawan satu, dan melawan mereka yang saling berkaitan sungguh
tak mungkin. —Maaf, tapi kalian berdua akan..."
"Ah, yah jika mereka berlevel sekitar enam puluhan..."
"Kami seharusnya bisa menanganinya."
Mengikuti
pernyataan Kirito, Asuna mengangguk. Untuk dungeon lantai enam puluh,
level 70 bisa menanganinya, akan tetapi level Asuna yang kini ia telah
capai adalah level 87, sementara Kirito telah mencapai level 90. Dengan
ini, kelihatannya kita mungkin bisa melalui dungeon ini sambil
melindungi Yui, dan Asuna melepas ketegangan di pundaknya dengan senang.
Bagaimanapun juga, Yuriel melanjutkan perkataannya tanpa kehilangan
ekspresi cemasnya.
"...Dan juga, ada hal lain yang
perlu kita perhatikan. Informasi ini aku dapat dari pemain yang ikut
serta dalam party sebelumnya, di dalam dungeon ini... monster besar
terlihat; kelihatannya seperti boss..."
"..."
Asuna bertukar pandang dengan Kirito.
"Boss ini mungkin berlevel sekitar enam puluhan... bagaimana penampilan boss dari lantai enam puluhan?"
"Eh, yah, aku yakin... boss itu kelihatan seperti seorang kesatria berarmor yang terbuat dari batu."
"Ah, yang itu huh. ... tak terlalu sulit jika aku tak salah..."
Menghadap Yuriel, ia mengangguk sekali lagi.
"Well, kita mungkin bisa dengan mudah mengatasinya."
"Syukurlah kalau begitu!"
Yuriel
akhirnya mengurangi ketegangannya lalu melanjutkan perkataannya sambil
berkedip, karena ia kira ia melihat sesuatu yang mempesona.
"Benar... kalian berdua telah berpengalaman dengan pertarungan melawan boss... Maaf telah mengambil waktu berharga kalian..."
"Tidak, kami masih berlibur kok."
Asuna melambaikan tangannya.
Setelah
mereka bercakap - cakap, bentuk dari bangunan besar yang berkilau hitam
mulai tampak di jalan didepan mereka.. bangunan ini adalah bangunan
terbesar yang ada di Starting City, the «Black Iron Castle». Di ruang
depan setelah masuk melalui gerbang utama, «Monument of Life» dengan
nama setiap pemain tercatat, berdiri tegak disana, meskipun setiap orang
bisa masuk hingga titik ini, kebanyakan ruang yang lebih dalam telah
dikontrol sepenuhnya oleh the Army.
Yuriel tidak masuk
melalui pintu utama, melainkan melalui pintu belakang. Tembok kastil
tinggi serta parit dalam mengelilingi kastil ini, menolak penyusup
hingga selamanya. Bebar-benar tak ada manusia yang melewatinya..
Setelah
berjalan beberapa menit, tempat yang Yuriel datangi adalah jalanan
menurun, turun hingga dimana dekat dengan permukaan air parit. Mengintip
kedalam, ada jalan lebar terbuka di sisi kanan tangga.
"Kita
akan masuk ke aliran pembuangan kastil dari sini dan menuju pintu masuk
dungeon. Mungkin akan sedikit gelap dan sempit..."
Yuriel
menghentikan perkataannya disana, memandang Yui yang masih di lengan
Kirito dengan penuh perhatian. Karena hal ini, Yui tak senang dan
terlihat marah,
"Yui tak takut!"
Setelah itu. Sebuah senyum keluar dari Asuna karena meluhat situasi ini.
Kepada
Yuriel, Yui mengatakan tak lebih dari, "Kami tinggal bersama." Ia tak
mencoba untuk mengetahui lebih dari itu, namun Yuriel mungkin keberatan
membawa Yui kedalam dungeon.
Asuna berbicara untuk mengurangi kekhawatirannya.
"Tak apa; anak ini lebih waspada dari penampilannya."
"Yep. Ia pasti menjadi seorang swordswoman yang kuat di masa depan."
Dengan kata-kata Kirito, Asuna memandangnya dan tersenyum, lalu Yuriel mengangguk
"Okelah, ayo pergi!"
"Nuooooo"
Pedang di tangan kanan memotong monster dengan sebuah tebasan,
"Ryaaaaaaa"
Dan pedang di tangan kiri meledakkannya.
Mengequip
dua pedang untuk pertama kalinya sementara, Kirito melepaskan energi
yang di simpannya selama liburan ini, menebas musuh-musuh tanpa berhenti
satu sama lain. Asuna yang memegang tangan Yui, serta Yuriel yang
menggenggam cambuk metalnya tak memiliki kesempatan untuk membantu.
Setiap kali kelompok musuh yang terdiri dari monster katak besar yang di
selubungi smile, monster type udang yang memiliki pencapit hitam
kemilau, dan semacamnya muncul, Kirito menebas mereka semua dengan penuh
kemarahan dari pedang di tangan kanan dan kirinya tanpa menyisakan
apapun.
Dalam pikiran Asuna hanya terlintas, "Oh, ya
ampun," akan tetapi Yuriel ternga-nga menatap Kirito yang sedang dalam
mode mengamuk dengan penuh kekaguman. Mungkin ini tontonan yang terlalu
berbeda diluar pengetahuannya . sementara Yui menyoraki dengan polosnya
untuk mengurangi ketegangan yang ada di udara "Papa, lakukan yang
terbaik,"
Beberapa menit telah berlalu sejak mereka
memasuki gelapnya bawah tanah yang penuh air, hingga menyerbu dungeon
ini dari batu hitam sebelumnya. Tempat ini lebih lebar, dalam, dan
terisi oleh monster daripada yang diharapkan, tetapi Kirito menerobos
keseimbangan game, mengayunkan sepasang pedangnya dengan penuh kekuatan,
sementara dua swordswomen hanya terdiam.
"We... Well, aku sungguh minta maaf karena membiarkan kalian mengurus ini..."
Menatap Yuriel yang penuh penyesalan sambil menunduk, Asuna hanya tersenyum masam.
"Tidak, pertarungan tadi benar-benar memikat... tak apa kok membiarkannya melakukan hal itu."
"Hei, apa-apaan itu, itu mengerikan."
Kirito kembali dengan kesal setelah menghancurkan kelompok monster karena perkataan Asuna sampai di telinganya.
"Jadi ingin switch?"
"...Se- sedikit lagi."
Asuna dan Yuriel akhirnya tersenyum setelah saling tatap.
Setelah
si pengguna cambuk berambut silver melambaikan tangan kirinya karena
ingin menampilkan peta, ia menunjuk titik bercahaya yang melambangkan
tanda seorang teman, menunjukkan posisi Sinker. Karena ia tak memiliki
peta dungeon, jalanan menuju titik bercahaya masih kosong, akan tetapi
mereka telah mencapai tujuh puluh persen dari jarak total.
"Posisi
Sinker tidak berubah setelah beberapa hari. Aku yakin ia berada di area
aman. Jika kita bisa sampai kesana, kita bisa menggunakan kristal untuk
mundur, jadi... maaf, aku akan mengandalkan kalian sedikit lagi."
Yuriel menundukkan kepalanya, Kirito bingung sambil melambaikan tangannya.
"T- tidak, kami melakukan ini karena kami ingin, dan juga ada item yang dijatuhkan, jadi..."
"Oh?"
Asuna menjawab secara reflek.
"Apa ada item bagus yang jatuh?"
"Yup."
Kirito
memanipulasi jendelanya dengan cepat, lalu daging merah kehitaman
muncul dari sana dengan suara gemerincing. Wajah Asuna membeku
memikirkan bagaimana anehnya yang ia rasakan.
"Ap... Apa sih itu sebenarnya?"
"Daging
katak! Kamu pasti berkata jika daging ini enak jika dibandingkan dengan
daging lain, pastikan untuk memasaknya nanti ya."
"Aku. Tak akan memasaknya!!"
Asuna
berteriak dan juga membuka jendelanya. Membuka penyimpanan yang
terhubung dengan Kirito, ia menggeser item yang bernama «Scavenger Meat
x24», lalu tanpa ampun membuangnya ke tanda tempat sampah.
"Ah! Aaaaaa..."
Menatap
Kirito yang terlihat kesal dan mengomel, Yuriel tak bisa membantu namun
tertawa sambil memegangi perutnya, meskipun ia mencoba untuk
menahannya. Tepat pada saat itu,
"Kakak akhirnya bisa tertawa!"
Yui berteriak gembira. Yuriel juga menyeringai lebar.
Melihat
hal tersebut, Asuna mengingat apa yang terjadi sebelumnya. Hari
sebelumnya, ketika Yui mengejang juga tepat setelah anak-anak tertawa
bersama setelah mengalahkan orang-orang dari the Army. Tampaknya gadis
ini memiliki sensifitas yang unik terhadap orang-orang di sekitarnya.
Apakah ia terlahir dengan kepribadian seperti itu, atau mungkin karena
perasaan sakit yang selama ini ia derita— Asuna menggenggam tangan Yui,
memeluknya lebih dekat. Ia bersumpah akan selalu tersenyum di sisi gadis
ini.
"Well, ayo kita lanjutkan!"
Merespon suara Asuna, party tersebut melangkah semakin dalam menuju dungeon.
Kelompok
monster kebanyakan terdiri dari makhluk air sejak mereka memasuki
dungeon, kini telah berubah menjadi type hantu, seperti zombie serta
hantu, karena mereka menuruni tangga, udara dingin terasa sampai ke hati
Asuna, namun sepasang pedang milik Kirito masih lanjut menebas
sosok-sosok musuh yang muncul secara sekejap tanpa menunjukka
keragu-raguan.
Normalnya, sedikit tak terhormat bagi
pemain berlevel atas untuk berburu ke area di bawah level mereka, tetapi
hal tersebut tak perlu dipikirkan saat ini karena tak ada seorangpun
disini. Jika ada waktu luang, akan jadi kesempatan bagi Yuriel yang
bertugas sebagai penduking untuk naik level, kan tetapi menyelamatkan
Sinker lebih diprioritaskan saat ini.
Dalam dua jam
yang telah berlalu sekejap mata, jarak mereka dengan posisi Sinker yang
berada di area aman dalam peta semakin berkurang. Tak tahu berapa banyak
monster yang ditumbangkan karena pedang milik Kirito menghancurkan
swordsmen tengkorak hitam menjadi berkeping-keping, dan mereka akhirnya
menangkap sedikit cahaya tepat di depan mereka.
"Ah, itu zona aman!"
Ketika Asuna berucap, Kirito juga mengangguk untuk memastikan dengan skill deteksinya.
"Ada seseorang di dalam sana. Dia aman."
"Sinker!"
Yuriel
berteriak lalu berlari dengan armornya yang berdenting, ia tak bisa
menahan dirinya lebih lama. Kirito menurunkan dua pedangnya dan
mengikuti di belakangnya bersama Asuna yang memegang Yui.
Mereka
berlari menuju cahaya itu. Ketika mereka melewati jalanan yang berbelok
ke kanan setelah beberapa detik, di depan cabang dari jalan tersebut
sebuah ruang kecil dapat terlihat.
Karena mata mereka
membiasakan diri terhadap kegelapan, ruang tersebut terisi cahaya yang
cukup terang yang bisa menyilaukan mereka, dan seorang laki-laki berdiri
di pintu masuknya. Wajahnya tak terlihat karena cahaya di belakangnya,
akan tetapi ia melambaikan tangannya dengan liar menuju arah sini.
"Yurieeel!!"
Pada
saat ia meyakinkan sosok tersebut, si laki-laki meneriakkan nama
Yuriel. Yuriel juga melambaikan tangan kirinya sambil berlari lebih
cepat.
"Sinkerrr!!"
Suaranya tercampur dengan air mata, tangisan si pria—
"Jangan datang lebih dekat!! Jalanannya...!!"
Mendengar
hal itu, Asuna melambatkan langkahnya penuh tanya. Tampaknya kata-kata
tersebut tak sampai ke telinga Yuriel. Ia tetap berlari menuju ruang di
depannya.
Pada saat itu juga.
Beberapa
meter sebelum area aman, di titik buta pada sisi kanan, pada jalan
kecil yang memotong jalanan tempat mereka bertiga berlari, kursor kuning
yang tak di harapkan muncul. Asuna dengan cepat mengecek namanya. Yang
bisa ditampikan adalah «The Fatal-scythe»— Dengan arti nama scythe yang
memotong takdir, nama itu juga memiliki "The" yang terlampir. Sebuah
bukti jika monster itu adalah boss. "Jangan!! Yuriel-san, mundurlah!!"
Asuna
berteriak. Kursor kuning bergerak perlahan ke sisi kiri, mendekati
persimpangan jalanan. Jika seperti ini, Yuriel akan berlari ke
persimpangan tersebut. Hanya tersisa beberapa detik.
"Ku-!!"
Tiba-tiba
Kirito yang berlari di sisi kiri Asuna telah menghilang. Kenyataannya,
ia telah berlari dengan kecepatan yang dasyat. Tembok di sekeliling
bergetar karena suara tubrukannya.
Ia telah sampai
beberapa meter dengan kecepatan seperti teleport, lalu Kirito memegang
Yuriel dari belakang dengan tangan kanannya, ia mendorong pedang di
tangan kirinya ke jalanan batu di bawahnya dengan seluruh kekuatannya.
Suara logam terdengar hebat sekali. Percikan bunga api tak terhitung
banyaknya muncul. Mengeluarkan rem mendadak bisa membakar udara, di
tempat Kirito dan Yuriel berhenti tepat di depan persimpangan, tanahnya
meraung seperti suatu getaran karena raksasa bayangan hitam melewatinya.
Kursor kuning yang menyergap pada jalanan di sisi
kiri akhirnya berhenti setelah sepuluh meter. Monster yang tingginya tak
diketahui ini merubah arahnya dan muncul sekali lagi.
Kirito melepaskan Yuriel dan menarik pedangnya yang tertancap ke lantai, ia melompat ke kiri. Asuna mengikuti dalam bingung.
Menggoncangkan
Yuriel yang terjatuh karena syok, Asuna mendorongnya menuju sisi yang
berlawanan persimpangan. Menurunkan Yui dari lengannya dan
menyerahkannya ke Yuriel, Asuna hanya memberikan sedikit perintah.
"Mundurlah ke area aman bersama anak ini!"
Si
pengguna cambuk mengangguk dengan wajah pucatnya, ia menyetujui untuk
membawa Yui ke dalam ruangan, Asuna menghunus rapier miliknya sambil
berbelok kea rah kiri.
Sosok punggung Kirito masih
berdiri dengan dual blades miliknya memasuki pandangan Asuna. Apa yang
terlihat di sana adalah sesosok humanoid berjubah hitam setinggi dua
setengah meter.
Dengan tudungnya, tangan si boss yang
bergelayut mengintip dari jubah benar-benar hitam. Di dalamnya tampak
wajah yang suram, di dalamnya hanya ada sepasang bola mata penuh energi,
urat nadinya bisa terlihat seolah menatap Kirito dan Asuna. Dia
memegang sabit besar berwarna hitam di tangan kanannya. Dari sisi
sudutnya, noda merah menetes turun, tetes demi tetes. Secara
keseluruhan, boss ini memiliki tubuh seperti seorang dewa kematian.
Bola
mata sang dewa kematian berputar lalu menatap lurus ke arah Asuna.
Tepat setelahnya, hawa dingin merasuki seluruh tubuhnya seolah hatinya
di cengkram oleh ketakutan.
Tampaknya level boss ini masih bisa diatasi.
Dengan
pikiran seperti itu di kepalanya, saat ia menyiapkan rapier miliknya
sekali lagi, Kirito berkata keras dari depannya. "Asuna, temani mereka
bertiga ke area aman lalu larilah dengan kristal."
"Eh...?"
"Boss
ini sungguh kuat. Bahkan skill identifikasiku tak bisa menemukan data
apapun. Dalam hal kekuatan, rangking boss ini mungkin sekitar lantai
Sembilan puluh."
"...?"
Asuna
kehilangan nafasnya serta terdiam kaku. Bahkan ketika saat ini si dewa
kematian perlahan bergerak melewati udara, mendekati mereka berdua.
"Aku akan mengulur waktu, cepatlah keluar dari sini!!"
"Ki- Kirito juga, kita berdua harus..."
"Aku akan mengerjarmu! cepatlah...!!"
Jika
kristal teleport digunakan sebagai pilihan terakhir untuk mundur,
kristal itu bukanlah alat yang cukup kuat. Diantara celah ketika
memegang kristal dan menentukan tujuan, lalu melakukan teleportasi, ada
jeda waktu beberapa detik. Jika seseorang menerima serangan dari monster
di antara jeda waktu itu, teleportasinya akan gagal. Ketika serangkaian
perintah gagal dalam sebuah party, karena orang-orang mundur atas
keinginan mereka sendiri, maka sisanya akan menjadi korban karena tak
bisa mengulur waktu untuk teleport.
Asuna tampak
bimbang. Jika mereka berempat melakukan teleport terlebih dahulu, dengan
kemampuan berlari Kirito, ia bisa berlari menuju area aman. Akan
tetapi, perubaha kecepatan yang di tunjukkan si boss sebelumnya
benar-benar mengerikan. Jika— ia lari terlebih dahulu lalu setelahnya
jika Kirito tidak muncul. Pikiran seperti itulah yang tak bisa Asuna
tahan.
Asuna memandang jalan si sisi kanannya.
...Yui-chan. Meskipun aku berkata akan selalu bersama...
Berbisik seperti itu dari dalam hatinya, ia berteriak.
"Yuriel-san, aku akan menyerahkan Yui padamu! Kalian bertiga cepatlah lari!"
Yuriel menggelengkan kepalanya, ekspresinya tampak membeku.
"Aku tak bisa... melakukannya..."
"Cepat!!"
Ketika itu. Si dewa kematian mengayunkan sabit lebarnya dengan sepenuh tenaga, racun menyebar dari dalam tudungnya.
Kirito
menyilangkan pedang di tangannya, memaksakan berdiri di hadapan Asuna.
Asuna secara panik mendekat dari belakang, bertemu dengan dua pedang
milik Kirito dengan rapier di tangan kanannya. Si dewa kematian tanpa
memedulikan ketiga pedang, masih menebaskan sabitnya ke bawah, mengincar
kepala mereka berdua.
Sebuah kilatan merah. Sebuah hantaman.
Asuna
merasakan dirinya berputar beberapa kali. Pertama, ia terlempar ke
tanah, lalu menghantam langit - langit, dan terjatuh kembali ke tanah
sekali lagi. Nafasnya terhenti, dan pandangannya mulai berubah gelap.
Kesadarannya
mulai kabur, ia melihat HP bar milik Kirito dan miliknya sendiri,
keduanya telah berkurang hingga setengah dalam sekali pukul. Indikator
kuning sebagai tanda paralyze semakin membuat Asuna khawatir, mereka tak
mampu untuk bertahan dari serangan selanjutnya. Ia harus berdiri.
Itulah yang ia pikirkan, akan tetapi tubuhnya tak bisa bergerak—
...Tepat pada saat itu.
Langkah
pendek demi langkah pendek terdengar, ia mendengar langkah kaki
tersebut semakin mendekat dengan pendengarannya. Menolehkan
pandangannya, ia bingung, suara langkah kaki anak-anak, langkah kaki
tersebut mendekat tanpa mempedulikan bahaya yang memasuki pandangannya.
Tangan
dan kaki langsing. Rambut hitam panjang. Itu Yui yang seharusnya berada
di dalam area aman dibelakang mereka. Mamandang tanpa ketakutan, ia
menatap lurus menuju si dewa kematian yang begitu besar.
"Idiot!! Cepat lari!!"
Berjuang
untuk menggerakkan tubuh bagian atasnya, Kirito berteriak. Si dewa
kematian memegang sabitnya ke atas secara perlahan sekali lagi. Jika Yui
menerima serangan dalam jarak seperti ini, HP milik Yui akan
benar-benar habis. Asuna juga berusaha untuk menggerakkan mulutnya.
Tetapi karena mulutnya kaku, ia tak bisa mengucapkan sepatah katapun.
Tetapi sesaat kemudian, sesuatu yang tak bisa dipercaya terjadi.
"Tak apa-apa, Papa, Mama."
Bersama kata-kata tersebut, tubuh Yui perlahan mengambang di udara.
Itu
bukan lompatan. Ia tampaknya bergerak dengan sayap tak terlihat, Yui
berhenti pada ketinggian dua meter. Ia mengangkat tangan kanannya
perlahan di tengah udara.
"Jangan...! Menyingkirlah!! Menyingkirlah Yui-chan!!"
Bersamaan
dengan teriakan Asuna, sabit si dewa kematian terayun tanpa belas
kasihan, memperlihatkan garis cahaya hitam kemerahan. Ujung sabit
mengarah langsung menuju telapak tangan putih milik Yui—
Tepat
sebelum itu terjadi, tangan Yui terhalangi oleh pelindung keunguan,
diikuti dentuman yang begitu keras. Sistem tag yang mengambang di tangan
Yui menyebabkan Asuna diam membatu.
[Immortal Object], itulah apa yang tertulis disana. Immortality— bukanlah atribut pemain yang bisa diperoleh.
Mata si dewa kematian berputar, seolah ia bingung. Secara tiba-tiba setelahnya sebuah fenomena yang mengejutkan Asuna terjadi.
"Gouu!!,"
bersama dengan suara itu, api merah muncul, menggulung-gulung di depan
dengan tangan Yui sebagai pusatnya. Api tersebut menyebar semakin luas
secara tiba - tiba, sebelum akhirnya memadat dan bergabung menjadi
bentuk panjang nan tipis.. sekilas, api tersebut berubah menjadi pedang
panjang. Sebuah pedang yang menyala dari api terbentuk dari api
sebelumnya, kini semakin memanjang tanpa batas.
Pedang
besar yang muncul di tangan kanan Yui kini memiliki panjang yang
melampaui tinggi tubuhnya. Pancaran cahaya dari pinggir logam tampaknya
menyinari seluruh lorong. Karena memegang api dari pedang, pakaian musim
salju yang dikenakan Yui terbakar seketika. Dari baliknya, baju putih
satu setel yang dikenakan pertama kalinya muncul. Cukup aneh karena
angin dari api tak membakar baju tersebut, begitu juga rmbut hitam
panjangnya seolah tak terkena efek.
Yui mengayunkan pedang yang melampaui tingginya secara sederhana—
Tanpa menunjukkan keragu-raguan, Yui menantang si dewa kematian seolah ia memukulkan api.
Meskipun
tindakannya tersebut tak lebih dari algoritma sederhana dari sistem,
dalam mata merah si monster, Asuna yakin ia melihatnya penuh dengan
ketakutan yang sangat jelas.
Mengggunakan pedang yang
terbuat dari api, Yui mengubah udara menjadi raungan yang memekakan. Si
dewa kematian mengangkat sabitnya dan membuat posisi bertahan, tampaknya
ia terlihat ketakutan oleh si gadis yang lebih kecil darinya. Maju ke
depan, Yui mengayunkan pedang besar menyalanya dengan sepenuh kekuatan.
Pedang memancarkan api yang begitu hebat bertubrukan dengan sabit. seketika, gerakan keduanya terhenti.
Tanpa
menunggu waktu untuk berpikir, pedang api milik Yui bergerak sekali
lagi. Logamnya tampak berkobar dengan jumlah api yang begitu banyak,
cahaya dari pedang menggerogoti gagang sabit secara perlahan. Dengan
kekuatan yang cukup untuk mematahkan apapun, akan tetapi rambut panjang
dan baju satu setelnya juga jubah si dewa kematian berkelap-kelip di
belakangnya, menyebabkan percikan cahaya pada saat yang sama, menyinari
bangunan dalam dungeon menjadi orange.
Tanpa lama...
Bersamaan
dengan suara ledakan, "Gou," sabit si dewa kematian patah menjadi dua.
Diikuti pedang besar kini telah berubah menjadi tiang api, menyerang
langsung ke tengah-tengah wajah si boss.
"-h...!!"
Asuna
dan Kirito mengedipkan mata mereka serta melindungi wajahnya secara
reflek karena bereaksi terhadap kekuatan yang hebat dari bola api yang
muncul pada saaat itu. Pada saat yang sama Yui menebaskan pedangnya ke
bawah, bola api tersebut meledak, si dewa kematian tertelan oleh putaran
api yang mengalir ke lorong-lorong. Dalam raungan tersebut, suara
menderita dari si dewa kematian terdengar. Ketika mereka membuka mata
karena silau dari api, sosok monster boss tak lagi tampak. Api kecil
tersisa di sisi belakang lorong, membuat suara gemericik. Dan di
tengahnya, masih berdiri sendiri, dengan tatapan putus asa. Pedang api
yang masih berdiri di tanah, hancur lalu menghilang seperti saat
pedangnya di materialisasikan.
Asuna berdiri setelah
memperoleh kekuatan di tubuhnya, perlahan berdiri menggunakan rapier
miliknya sebagai pembantu. Kirito juga berdiri setelahnya. Mereka berdua
menghampiri si gadis dengan langkah terbata-bata.
"Yui... chan..."
Asuna
memanggilnya dengan suara serak, si gadis berbalik tanpa membuat suara.
Bibir kecilnya menunjukkan subuah senyuman, akan tetapi mata hitamnya
berlinang air mata yang begitu banyak.
Yui manatap Asuna dan Kirito kemudian ia berkata lirih.
"Papa... Mama... Sekarang aku mengingat segalanya..."
Area
aman dari bagian terdalam labirin bawah tanah Black Iron Castle
berbentuk kotak sempurna. Hanya ada satu pintu masuk, dan di tengahnya
batu hitam halus berbentuk kubus tampak seperti meja. Asuna dan Kirito
menatap Yui yang duduk di tengah, ia terdiam.. Yuriel dan Sinker yang di
minta lari terlebih dulu, jadi hanya ada mereka bertiga sekarang ini.
Ingatanku
telah kembali, dengan kata tersebut, Yui selama beberapa menit tak
bicara. Ekspresinya entah bagaimana tampak berduka seolah ia ragu-ragu
untuk berbicara, namun Asuna memantapkan hatinya lalu bertanya.
"Yui-chan... Apakah kamu mengingat...? Semuanya hingga sekarang..."
Yui
masih terlihat putus asa, akan tetapi ia akhirnya mengangguk dengan
ekspresi campuran antara tersenyum dan menangis, lalu ia membuka bibir
mungilnya.
"Iya... aku akan menjelaskan semuanya— Kirito-san, Asuna-san."
Saat Asuna mendengar nada bicara sopannya, hati Asuna tertekan oleh dugaan muram. Percaya karena sesuatu akan segera berakhir.
Di dalam ruang berbentuk kotak ini, kata-kata Yui perlahan terucap.
"Dunia
ini bernama «Sword Art Online», ia diatur oleh satu sistem yang besar.
Nama sistem tersebut adalah «Cardinal». Dunia ini diatur berdasarkan
keputusan Cardinal. Pertama - tama, Cardinal tidak dirancang untuk
keperluan manusia. Dengan dua program inti yang saling melakukan koreksi
kesalahan secara bersamaan, dan tak terhitung jumlah program-program
rendah, ia mengatur isi dunia ini... AI untuk monster dan untuk NPC,
keseimbangan peredaran item serta uang, apaun dan semuanya diatur oleh
kelompok program dibawah perintah Cardinal. —Akan tetapi, ada satu hal
yang harus diserahkan kepada manusia. Gagasan masalah dalam kondisi
mental para pemain; itulah hal yang hanya bisa diselesaikan oleh manusia
sendiri... untuk tujuan itu, berlusin-lusin anggota staf harus
disiapkan."
"GM..."
Kirito berbicara dengan sedikit menghembuskan nafas.
"Yui, dengan singkatnya, apa kamu seorang gamemaster...? staf dari Argus...?"
Setelah beberapa detik terdiam, Yui menggelengkan kepalanya perlahan.
"...Ketika
pengembang Cardinal mempercayakan kondisi pemain pada sistem, mereka
mengetes beberapa program. Menggunakan fitur unik dari Nerve Gear,
program tersebut memonitori kondisi emosi pemain secara mendetail, dan
program tersebut akan muncul di sisi pemain ketika menemukan masalah
untuk didengarkan... «Mental Health - Counselling Program», MHCP versi
1, codename, «Yui». Itulah aku sebenarnya." Nafas Asuna seolah tertarik
keluar saking shoknya. Ia tak bisa menahan apa yang baru saja Yui
katakan.
"Progam...? Maksudmu seorang AI...?"
Asuna berbicara dengan suara lirih. Yui mengangguk, senyuman sedih tampak dari wajahnya.
"Untuk
menenangkan para pemain, aku diberikan fungsi emosi tiruan. —Palsu,
semuanya ini palsu... bahkan air mata ini... Maaf Asuna-san..."
Air
mata menetes dari mata Yui, lalu menjadi pertikel cahaya dan
menghilang. Asuna mengambil satu langkah kedepan menuju Yui. Ia membuka
tangannya, namun Yui sedikit menggelengkan kepalanya. Seolah jika— Yui
tak berhak untuk menerima pelukan Asuna.
Masih tak mempercayai situasi ini, Asuna memaksa mengeluarkan kata-katanya.
"Tapi... tapi, ingatanmu yang hilang...? Apakah mungkin hal seperti itu terjadi pada seorang AI...?"
"...Dua tahun lalu... hari ketika layanan SAO dimulai secara resmi..."
Yui menurunkan matanya sambil melanjutkan penjelasannya.
"Meskipun
aku tak tahu secara detail atas apa yang sebenarnya terjadi, Cardinal
memberiku perintah yang tak direncanakan kepadaku. Sebuah larangan untuk
berinteraksi dengan semua pemain.. tak diijinkan untuk mengadakan
kontak dengan mereka secara nyata, aku dengan enggan tak melakukan
apapun, hanya memonitori kondisi kesehatan mental para pemain."
Asuna
bereaksi; ia menduga jika «perintah tak direncana» adalah manipulasi
yang dilakukan oleh GM SAO, Kayaba Akihiko. Yui menggerakkan bibir
kecilnya sekali lagi, wajahnya tampak tenggelam dalam duka cita.
"Situasi
itu— benar-benar terburuk... dengan mudah emosi para pemain dikuasai
oleh emosi negative seperti ketakutan, keputus-asaan, dan kemarahan
sepanjang waktu; pada saat itu, ada beberapa yang menjadi gila. Aku
terus melihat kedalam hati orang-orang itu. Pada dasarnya, aku tak bisa
menghentikan diriku untuk mendatangi para pemain tersebut, mendengarkan
cerita mereka lalu menylesaikan masalahnya... tetapi aku tak bisa
melakukan kontak dengan mereka pada saat itu... karena merasakan
perlawanan antara kewajibanku namun dihalangi oleh wewenang dari
Cardinal, aku perlahan mengalami eror dan akhirnya rusak..."
Di
dalam labirin bawah tanah, suara Yui terasa hening, seperti getaran
perak. Asuna dan Kirito tak bisa membantu namun mendengarkan penuh
perhatian tanpa mengutarakan sepatah katapun.
"Suatu
hari, ketika aku memonitori seperti biasa, aku menyadari parameter
mental milik sepasang pemain yang berbeda dari pemain lainnya. Aku tak
pernah menjumpai pola pikir seperti itu. Kenikmatan... kedamaian...
bukan hanya itu saja... apa sebenarnya perasaan tersebut; memikirkan
itu, aku melanjutkan melihat mereka berdua. Hasrat misterius tumbuh
semakin tinggi dalam diriku ketika aku mengintip percakapan dan tindakan
mereka. Rutinitas seperti itu tak pernah ada, namun... aku ingin lebih
dekat dengan mereka berdua... untuk mengenalnya, aku ingin
bercakap-cakap dengan mereka secara langsung... berharap utuk semakin
lebih dekat, bahkan mengenalnya, aku bertanya-tanya setiap hari, melalui
sistem konsol terdekat di rumah pasangan tersebut tinggal. Aku yakin
jika aku rusak pada waktu itu..."
"Dan di hutan lantai duapuluh dua...?"
Yui mengangguk sedikit.
"Iya.
Kirito-san, Asuna-san... aku selalu ingin bertemu... bertemu dengan
kalian berdua... di hutan itu ketika aku melihat kalian berdua... aku
benar-benar merasa senang... sungguh aneh; tak mungkin jika aku bisa
berpikir seperti itu... aku tak lebih dari, sebuah program..."
Berlinangan
air mata, Yui menutup mulutnya. Asuna tertusuk oleh perasaan yang tak
bisa dideskripsikan, memegang kedua tangannya dengan erat, sebelum ke
dadanya.
"Yui-chan... kamu seorang true AI kan? Jadi kamu memiliki kecerdasan yang sebenarnya kan...”
Ia berbisik, Yui menurunkan kepalanya sedikit lalu menjawab.
"Aku.. tak mengerti... sebenarnya, apa yang telah terjadi padaku..."
Pada saat itu, Kirito yang terdiam selama ini, melangkah kedepan.
"Yui
bukanlah sebuah program yang dikendalikan sistem. Terlebih lagi, kamu
bisa mengataklan keinginanmu sendiri." Kirito berkata dengan suara
lembut
"Apa yang kamu inginkan, Yui?"
"Aku... Aku ingin..."
Yui merentangkan lengan mungilnya kearah Kirito dan Asuna.
"Untuk selalu, bersama dengan... Papa... Mama...!"
Tanpa mengusap air mata yang menetes di wajahnya, Asuna berlari ke arah Yui memeluk erat tubuh kecilnya.
"kita akan selalu bersama Yui-chan."
Setelahnya, Kirito juga melingkarkan lengannya di antara Yui dan Asuna.
"Aah... Yui adalah anak kami. Ayo pulang ke rumah. Kita akan hidup bersama... selamanya..."
Akan tetapi— di dalam pelukan Asuna, Yui menggelengkan kepalanya perlahan.
"Eh..."
"Sudah... sudah terlambat..."
Kirito bertanya kebingungan.
"Mengapa... mengapa terlambat..."
"Alasan mengapa aku mendapatkan kembali ingatanku... karena aku menyentuh batu itu."
Yui
menatap tengah ruangan dimana batu berbentuk kubus berada. "Ketika
Asuna mendorongku ke dalam area aman sebelumnya, aku menyentuh batu itu
tanpa sengaja, dan menjadi mengerti. Batu itu bukanlah sekedar objek
pajangan... batu tersebut adalah konsol yang digunakan untuk meminta
akses darurat kepada GM."
Sepertinya ada perintah
tersembunyi dalam kata-kata Yui, beberapa garis cahaya bermunculan
menuju batu hitam itu. Secara tiba-tiba, dengan suara beep, keyboard
berwarna biru muda mujcul pada permukaannya.
"Aku
yakin jika monster boss sebelumnya telah diletakkan disini untuk
menjauhkan para pemain. Aku mengakses sistem menggunakan console
tersebut dan memusnahkannya dengan pemanggilan «Object Eraser». Pada
saat itu, dengan kemampuan koreksi kesalahan milik Cardinal, kerusakan
dalam berbahasa milikku telah disembuhkan, tapi... pada saat yang sama,
Cardinal juga menemukanku yang sebelumnya ditinggalkan hingga sekarang.
Sekarang ini, sistem utama masih menscan program milikku. Sistem
tersebut telah menyimpulkan jika aku adalah keberadaan asing, dan
tampaknya aku akan segera dihapus. Aku... tak memiliki banyak waktu
tersisa..."
"Itu... Itu..."
"Tak bisakah kita melakukan sesuatu! Jika kita keluar dari tempat ini..."
Yui memberikan senyum yang dipaksakan terhadap kata-kata itu. Air mata menetes dari pipi Yui sekali lagi.
"Papa, Mama, terima kasih. Mungkin ini adalah perpisahan kita."
"Tak mungkin! Aku tak menginginkan hal seperti ini!!"
Asuna berteriak putus asa.
"Ini hanyalah awal!! Dari sekarang, kita akan hidup bahagia selamanya... tinggal penuh kedamaian satu sama lain..."
"Di dalam kegelapan... ketika aku rusak dan tak tahu kapan akhirnya, kehadiran Papa dan Mama menghibur hatiku."
Yui menatap lurus ke arah Asuna. Cahaya redup mulai menutupi tubuhnya.
"Yui, jangan pergi!!"
Kirito memegang tangan Yui. Jemari Yui kini digenggam oleh Kirito.
"Ketika
aku bersama Papa dan Mama, semuanya bisa tersenyum... aku sungguh
senang karenanya. Ini permintaanku; dari sekarang... menggantikan
posisiku... tolonglah semua orang... kebahagiaan..."
Rambut
hitam serta baju satu setel milik Yui mulai menghilang menjadi partikel
cahaya, seperti embun pagi. Wajah tersenyum Yui perlahan menjadi
transparan. Tubuhnya semakin menghilang.
"Tidak! Aku tak ingin hal seperti ini!! Jika Yui tak ada di sini, aku tak akan bisa tersenyum!!"
Dikelilingi oleh cahaya yang menyebar, Yui tersenyum manis. Ia membelai dada Asuna dengan tangannya diambang menghilang.
...Mama, tersenyumlah...
Suara
lemah bergema di dalam pikiran Asuna, cahaya mempesona mulai
membanjiri; seketika itu pula menghilang, tak ada apapun di dalam lengan
Asuna.
"Uwaaaaaa!!"
Menaikkan
suaranya sendiri dengan tak terkontrol, Asuna jatuh pada kakinya.
Berlutut di atas ubin batu, ia menangis begitu kencang seperti seorang
anak kecil. Air matanya terjatuh ke tanah, tetes demi tetes, bergabung
bersama cahaya yang tertinggal dari Yui yang telah lenyap.
Bagian 4
Hawa
dingin yang dirasakan kemarin seolah suatu kebohongan, hembusan angin
hangat bertiup melewati rerumputan. Mungkin menarik beberapa burung
kecil yang hinggap di ranting pohon, burung-burung tersebut tampak
mengawasi orang-orang dengan penuh ketertarikan.
Pesta
kebun yang diadakan oleh Sasha tanpa mempedulikan musim di pekarangan
luas depan gereja, meja besar dari ruang makan telah dipindahkan disini.
Makanan telah diangkat dari alat pemanggang seperti sebuah sihir,
semakin membuat keramaian dari anak-anak.
"Tak pernah terpikir jika makanan selezat ini... benar-benar ada di dunia ini..."
Kepala
pemimpin dari «Army» yang baru saja diselamatkan malam sebelumnya,
Sinker, menggigit barbeque yang Asuna buat dengan kemampuannya, lalu
berkomentar kagum. Disisinya, Yuriel melihat keadaan sambil tersenyum.
Ketika pertama kali melihatnya, ia tampak seperti kesatria wanita
berkepala dingin, akan tetapi ketika ia disisi Sinker, ia terlihat
seperti istri muda yang penuh ceria.
Begitu pula bagi
Sinker, meskipun tak memiliki waktu untuk berkenalan dengannya kemarin,
ketika duduk pada meja yang sama seperti saat ini, ia adalah pribadi
yang memancarkan aura lembut, tak seperti orang perkedudukan atas
seperti organisasinya.
Dengan postur sedikit lebih
tinggi dari Asuna, namun lebih pendek dari Yuriel. Pakaian yang
dikenakan tubuhnya tampak sederhana, bahkan ia tidak membawa satupun
senjata. Disampingnya, Yuriel juga tak mengenakan seragam the Army
miliknya.
Sinker menerima botol wine yang ditawarkan
Kirito ke gelasnya, dan tampaknya tidak pertama kalinya ia memberikan
tundukan ramah.
"Asuna-san, Kirito-san. Kami benar-benar harus berterima kasih pada kalian. Bagaimana cara kami melakukannya..."
"Tidak, aku juga berhutang budi pada «MMO Today» kok."
Kirito menjawab sambil tersenyum.
"Itu nama yang sungguh berkenang."
Senyum lebar tampak pada wajah bulat Sinker ketika mendengarnya.
"Pada
saat itu, dengan beban untuk memperbaharui situs setiap hari, aku
berpikir jika aku tidak seharusnya membuat situs berita, namun ketika
dibandingkan dengan menjadi seorang pemimpin sebuah leader, tampaknya
membuat situs terlihat lebih mudah. Aku juga sebaiknya menjalankan situs
berita disini, huh."
Tawa ramah terdengar dari meja.
"Dan, yah... bagaimana dengan the «Army»...?"
Asuna menanyakan lalu Sinker mengubah ekspresinya.
"Kibaou
dan pengikutnya telah diasingkan. Aku seharusnya melakukan hal itu
lebih awal... dengan pribadiku yang sangat buruk jika berargumen,
situasinya malah memburuk... —Aku juga berpikir untuk membubarkan the
Army."
Asuna serta Kirito membuka mata mereka dengan cepat karena terkejut.
"Kamu... harus mempertimbangkan hal seperti itu."
"The
Army telah menjadi terlalu besar... aku akan membubarkan guild dan
setelahnya aku akan menciptakan organisasi yang lebih damai untuk
menolong sesama sekali lagi. Membubarkan the army dan meninggalkannya
hanyalah bentuk ketidaktanggungjawaban."
Yuriel memegang tangan Sinker dengan lembut dan melanjutkan perkataannya.
"...Kami
percaya, kami akan membagi aset-aset milik the army yang telah
dikumpulkan sejauh ini bukan hanya untuk para anggota, tapi juga akan
membaginya kepada semua penduduk kota ini. Kami telah membuat banyak
masalah hingga kini... Sasha-san, kami sungguh minta maaf."
Yuriel
dan Sinker tiba-tiba membungkuk dalam, menyebabkan mata Sasha berkedip
karena terkejut. Ia melambaikan tangannya di depan wajahnya karena
bingung.
"Tidak, itu terlalu berlebihan. Anak-anak juga menerima bantuan dari anggota the Army yang baik dalam field juga kok."
Dengan penolakan terus terang dari Sasha, tempat ini terisi oleh tawa sekali lagi.
"Well, kesampingkan itu..."
Menggelengkan kepalanya, Yuriel berbicara.
"Gadis yang kemarin, Yui-chan... bagaimana kabarnya...?"
Asuna bertukar pandang dengan Kirito, lalu membalas dengan tersenyum.
"Yui telah... kembali ke rumahnya..."
Asuna
menggerakkan jari tangan kananya perlahan menuju dadanya. Ada sebuah
kalung kecil berkilat yang sebelumnya tidak ada sejak kemarin. Di ujung
rantai keperakan yang begitu cantik, sebuah bandul yang juga berwarna
perak menggantung dengan permata yang bersinar didalamnya. Batu permata
tersebut berbentuk tetes air mata, tampaknya bandul itu menyebarkan
kehangatan menuju jari-jari Asuna.
Pada saat itu...
Setelah
Yui diselubungi cahaya lalu menghilang disisi Asuna yang menangis tanpa
henti sambil berlutut diatas ubin batu, Kirito lalu berteriak.
"Cardinal!!"
Sambil mengangkat wajahnya, Kirito menatap langit-langit ruangan tersebut dan berteriak.
"Jangan pikir jika hal ini akan berakhir seperti yang kau inginkan..!!"
Menekan
dirinya sendiri dengan kuat, Kirito melompat mendadak menuju konsol
hitam yang berada di tengah-tengah ruangan. Ia dengan cekatan menekan
keyboard hologram yang masih ditampilkan. Keterkejutan Asuna
menghilangkan duka miliknya secara langsung, Asuna menangis sambil
melihat apa yang dilakukan Kirito.
"Ki- Kirito-kun... Apa yang...!?"
"Jika masih... Jika masih sempat sekarang ini, aku mungkin masih bisa mengganggu kedalam sistem menggunakan akun GM...."
Dihadapan
mata Kirito, yang masih melanjutkan menekan tombol keyboard sambil
berkomat-kamit, sebuah jendela besar muncul bersamaan bunyi beep, lalu
cahaya dari Kirito bergulung melewati ruangan secara cepat. Asuna
menatapnya penuh keheranan, Kirito memasuki beberapa printah program
dengan sukses. Jendela kecil bar progress muncul, dan ketika bar
horizontal mencapai sisi paling kanan—
Seluruh konsol
yang terbuat dari batu hitam tiba-tiba bercahaya putih kebiruan, lalu
setelahnya Kirito terlempar bersamaan dengan bunyi ledakan yang
terdengar.
"Ki- Kirito-kun!!"
Karena panik, Asuna menghampirinya yang telah terjatuh ke tanah.
Menggelengkan
kepalanya sambil mencoba berdiri, Kirito memberikan senyum tipis
didalam ekspresinya; ia menatap Asuna dan mengulurkan tangan kanannya.
Tak mengerti apa yang sedang terjadi, Asuna menggapai tangannya.
Apa
yang jatuh dari tangan Kirio menuju tangan Asuna adalah kristal besar
yang berbentuk sebuah air mata. Di tengah segi batu yang luas, detakan,
detakan, sebuah cahaya putih berkedip.
"In- Ini adalah...?"
"...Sebelum
sumber otoritas yang diaktifkan Yui diputus, aku mencoba mati-matian
untuk memutuskan program milik Yui dari sistem dan mengubahnya menjadi
sebuah objek... Didalam kristal itu, hati milik Yui berada..."
Sete;ah mengatakan itu, Kirito terjatuh ke tanah seolah ia kehabisan tenaga, lalu ia menutup matanya.
"Yui-chan... kamu... disana, huh... Yui-chan-ku..."
Sekali
lagi, air mata Asuna mengalir tanpa henti. Cahaya remang seolah
menjawab Asuna dari dalam kristal, kristal itu berkelip dengan kuat satu
kali.
Meraka berdua dengan enggan melambaikan tangan
pada Sasha, Yuriel, Sinker, dan pada anak-anak, serta pada udara dingin
yang menuiupkan bau khas dari hutan, Asuna serta Kirito kembali ke
lantai duapuluh dua dari gerbang teleport. Meskipun perjalanan ini
terjadi selama tiga hari, namun seolah terasa lebih lama, lalu Asuna
mengambil nafas dalam-dalam.
Sungguh dunia yang luas—
Asuna
sekali lagi memikirkan dunia melayang ini. Pada tiap-tiap lapisan dunia
ini, ada orang yang tinggal di dalamnya, melewati hari-hari dengan air
mata dan tertawa. Bukan, kejadian-kejadian menyakitkan tampaknya menjadi
lebih umum untuk kebanyakan orang-orang. Akan tetapi semuanya memiliki
pertarungan mereka sendiri setiap hari.
Tempat yang seharusnya aku ...
Asuna menatap jalanan menuju rumah mereka berdua, lalu menatap pada dasar lantai diatas mereka.
...Mari kembali ke garis depan. Asuna tiba-tiba berpikir seperti itu.
Di
masa depan mendatang. Aku hanya bisa mengangkat pedang milikku sekali
lagi lalu kembali menuju pertempuranku sendiri. Aku tak tahu berapa lama
lagi pertempuran ini akan berlangsung, akan tetapi aku akan bertarung
hingga dunia ini selesai, untuk menunjukkan senyum mereka sekali lagi.
Untuk memberikan kebahagian bagi semuanya— Itulah apa yang Yui harapkan.
"Hei, Kirito-kun."
"Hmm?"
"Jika permainan ini selesai dan dunia ini menghilang, apa yang akan terjadi pada Yui-chan?"
"Aah...
Well, ini mungkin akan sedikit memotong kapasitasnya. Aku telah
mengubahnya menjadi data yang berhubungan dengan client program serta
menyimpan Yui kedalam Memory Local Nerve Gear milikku. Dengan kata lain,
ini mungkin sedikit sulit untuk membukanya kembali sebagai Yui... namun
entah bagaimana seharusnya masih mungkin untuk dilakukan."
"Aku mengerti."
Asuna membalik tubuhnya lalu memeluk erat Kirito.
"Well, lalu pastikan kita bertemu Yui-chan sekali lagi di dunia nyata. Anak pertama kita."
"Iya. Pasti."
Asuna
menatap kristal gemerlip yang berada diantara dadanya. Mama, lakukan
yang terbaik... Asuna seolah mendengar redup itu dari dalam telinganya.
(Tamat)
Bab 3: Rusa Berhidung Merah (Lantai Ke-46 Aincrad, Februari 2023)
Bagian 1
«Vorpal
Strike» bersinar didalam kegelapan, dan dengan cahaya berwarna darah
itu dua HP monster serangga berkurang hingga kosong.
Setelah
mengkonfirmasi dengan melihat sekeliling bahwa poligon-poligon itu
telah tersebar, aku menarik pedangku tepat setelah aku kembali dapat
bergerak, dan berbelok ke samping untuk menahan sebuah serangan dari
rahang yang besar, dan tajam. Aku lalu menggunakan «Sword Skill» yang
sama untuk menghabisinya; monster itu mengeluarkan teriakan Giii sebelum
miring ke belakang dan mati.
Teknik serangan
satu-tangan yang berat ini pertama muncul didalam daftarku hanya tiga
hari yang lalu, ketika «Teknik Pedang Satu-tangan»-ku mencapai level
950, dan yang mengherankan teknik ini sangat mudah. Walaupun teknik ini
memiliki periode pendinginan yang lama dimana pemain tidak dapat
bergerak, jangkauannya dua kali lebih panjang daripada mata pedang yang
sebenarnya; dan kenyataan bahwa kekuatannya itu sebanding dengan
pole-arm berat dua-tangan itu lebih dari cukup untuk menyeimbangkan
kekurangannya. Tentu saja, bila digunakan dalam pertarungan dengan
pemain lain, mereka akan membaca waktu serangannya denga segera. Tetapi
gerakan yang sederhana dari AI monster tidak dapat melawannya. Kamu
dapat dengan mudah menggunakannya sebagai spam dan membinasakan
kelompok-kelompok musuh dengan light effect berwarna merah tua.
Walaupun
telah mengatakan hal itu, setelah bertempur secara terus-menerus selama
satu jam di bawah cahaya obor yang lemah ini, aku memang merasakan
konsentrasiku memudar. Aku tidak dapat lagi bereaksi dan melawan rahang
mereka yang besar, yang berusaha menggigit ataupun lendir asam mereka
sebaik sebelumnya. Walaupun mereka menyerang dalam jumlah yang besar,
monster-monster ini bukanlah musuh yang remeh. Daerah ini berada hanya
tiga lantai di bawah garis depan yang sekarang yaitu lantai ke 49, dan
mereka adalah monster-monster yang sangat kuat. Walaupun monster ini
berada dalam batas aman bila mengingat perbedaan levelnya, bila sejumlah
monster yang sangat besar menyerang dan mengepungku, HP-ku akan dengan
cepat menurun ke daerah kuning.
Untuk berani
menghadapi bahaya-bahaya ini dan datang ke lantai yang sudah
diselesaikan, hanya ada satu alasan untuk itu. Tempat ini adalah tempat
paling efisien untuk mendapatkan experience point di antara
tempat-tempat latihan yang sekarang diketahui. Semut-semut raksasa yang
datang dari gua-gua di sekeliling bukit di sini memiliki tingkat
serangan yang kuat, tetapi HP dan pertahanan mereka sangat lemah. Selama
kamu dapat terus menghindari serangan-serangan mereka, kamu dapat
dengan cepat membunuh monster-monster ini dengan cepat. Tetapi seperti
yang dikatakan sebelumnya, sekali kamu diserang dan dikepung, kamu
mungkin bahkan tidak dapat bertahan, dengan demikian mengarah kepada
kematian, jadi area ini tidak dapat dilihat sebagai daerah latihan yang
cocok bagi pemain solo. Karena ini adalah tempat yang begitu populer,
setiap kelompok hanya diperbolehkan berburu selama satu jam. Aku adalah
satu-satunya pemain solo di sini. Bahkan sekarang, terdapat wajah-wajah
yang kukenal dari berbagai guild mengantri di pintu masuk lembah.
Seharusnya terdapat sebaris ekspresi wajah yang bosan yang terlihat
seperti mereka baru saja dilangkahi. Bila itu hanya ketidaksabaran tidak
masalah. Tetapi para pemain yang bersemangat tim tinggi berpikir aku
adalah “Orang bodoh Terkuat” atau “Anomik Beater” – tetapi, tentu saja
aku tidak tahu mengenai hal itu.
Penunjuk timer di
sisi kiriku menunjukkan angka 57 menit. Aku memutuskan untuk selesai
setelah membersihkan gelombang monster berikutnya. Aku menghela napas
banyak-banyak dan menunggu, untuk mengeluarkan semua konsentrasiku yang
tersisa.
Sementara semut-semut mendatangiku baik dari
kiri dan kanan, aku menghadap salah satunya yang berada di kanan, dan
melemparkan sebuah pisau untuk menghentikan gerakkannya sebelum membunuh
salah satu yang ada di sebelah kiri dengan teknik tiga kali serangan
«Sharpnail». Sementara aku berbelok, aku menggunakan <Vorpal
Strike> untuk memotong rahang yang besar dan terbuka dari semut
lainnya. Selama pendinginan teknikku, aku menggunakan sarung tangan yang
kupakai di tangan kiriku untuk mengelap asam hijau yang telah
mengenaiku. Dengan suara jiyuu HP bar-ku menurun, dan kemudian aku
melompat tinggi dari tanah. Di tengah lompatanku di udara, aku memotong
bagian terlemah dari perut semut itu dan membunuhnya. Untuk dua semut
yang terakhir, aku menggunakan setengah dari teknik serangan berantai
yang aku tahu, sebuah serangan berantai sepanjang enam kali serangan,
untuk mengalahkan mereka. Sebelum sekumpulan semut berikutnya muncul
dari sarang mereka, aku tiba-tiba berlari cepat menjauh.
Setelah
berlari sepanjang tigapuluh meter dari lembah semut ini dalam lima
detik, aku bergulir keluar dari pintu masuknya yang kecil sebelum
menghembuskan napasku. Terengah-engah untuk mendapatkan udara segar, aku
bertanya-tanya apakah rasa sakit ini adalah secara mental ataukah tubuh
nyataku juga berhenti bernapas. Bagaimanapun juga , aku merasakan
perutku mengejang, dan karena tidak dapat menahan rasa mual setingkat
ini, aku terjatuh seperti kain yang jatuh ke dalam tanah di musim dingin
yang beku.
Suara dari banyak langkah kaki mencapai
telingaku sementara aku terbaring di tanah. Walaupun mereka adalah
orang-orang yang aku kenal, aku bahkan tidak dapat mengatakan hal kepada
mereka. Melambaikan tangan kananku dengan lemah untuk meminta mereka
untuk terus maju, aku lalu mendengar suara yang kasar dan sebuah
hembusan napas besar.
"Levelku dan kalian sudah jauh
berbeda, jadi aku tidak akan ikut dalam pertempuran hari ini. Dengar.
Jangan biarkan lingkarannya terputus, dan selalu awasi tentang keadaan
orang-orang di sekitarmu. Pastikan kalian tak perlu malu bila berhadapan
dengan sesuatu yang berbahaya, langsung saja berteriak minta tolong
padaku. Dan juga, segera lari bila ratunya keluar.”
Setelah
menerima arahan pemimpin mereka, enam atau tujuh orang menjawab dengan
sebuah “Ya!” atau “Ho!”, dan suara langkah kaki yang berdersak-dersik
secara bertahap terdengar menjauh. Aku bernapas dengan berat untuk
beberapa kali, dan setelah akhirnya berhasil mengatur napasku, aku
mengangkat diriku dengan tangan kananku dan bersandar pada sebuah pohon
di dekatku.
"Tangkap!”
Aku dengan
berterima kasih menangkap healing potion itu, membuka gabus penutupnya
dengan ibu jariku, dan meminumnya dengan rakus. Walaupun rasanya sedikit
terasa seperti jus jeruk nipis, aku rasa potion itu enak. Aku
melemparkan botol yang telah kosong itu ke tanah, melihatnya
mengeluarkan sebuah cahaya merah saat botolnya menghilang dan melihat ke
atas.
Klein, yang adalah pemimpin dari guild
«Fuurinkazan» yang telah aku temui pada awal dari permainan kematian SAO
ini, masih memakai bandanna-nya yang vulgar itu, membuka mulut yang
berada di atas janggutnya yang kasar itu dan berkata:
"Kirito,
tidak peduli bagaimana kamu melakukannya, ini lebih dari sedikit tidak
masuk akal. Sejak kapan kamu berada di sini hari ini?"
"Eh... sekitar jam 8 malam."
Setelah aku menjawab dengan suara yang serak, Klein menunjukkan sebuah ekspresi ketidakpuasan yang berlebihan.
"Oi,
oi, ini sudah jam dua pagi, berarti kamu telah berada di sini selama
enam jam. Pada zona latihan yang berbahaya seperti ini, bila kamu
menghabiskan kekuatanmu hal ini akan berarti kematian seketika."
"Tidak masalah. Aku dapat beristirahat hingga dua jam selama menunggu."
"Bila tidak ada yang datang lalu kamu berencana untuk terus bertarung!"
"Itu
adalah alasan mengapa aku secara khusus memilih waktu ini untuk datang.
Bila aku datang pada pagi hari maka aku mungkin harus menunggu lima
atau enam jam."
Klein mencampurkan suara dari orang
yang tercengang dengan ungkapan "Kamu bodoh". Dia lalu melepaskan
katana-nya dari pinggangnya, dan duduk dengan berat di depanku.
"...yah,
mengenai kekuatanmu, dari hari pertama SAO aku mengerti mengenai itu
tanpa ada keraguan sedikitpun... berapa levelmu sekarang?"
Untuk
dapat merahasiakan stats seperti level adalah garis kehidupan seorang
pemain. Oleh karena itu untuk tidak menanyakannya telah menjadi sebuah
peraturan tidak terucap didalam SAO.Tetapi sampai sekarang tidak ada
alasan untuk menyembunyikannya dari Klein, jadi aku menjawabnya dengan
jujur.
"Hari ini aku mencapai level 69."
Tangan
yang sedang menggosok dagunya berhenti dengan tiba-tiba, dan kedua mata
yang setengah tertutup oleh bandanna-nya terbuka lebar karena terkejut.
"...hey, yang benar? Sejak kapan kamu berada sepuluh
level di atasku – dan, aku tidak mengerti. Belakangan ini kecepatanmu
menaikkan level sudah menjadi tidak biasa. Kamu pasti telah berlatih
bahkan selama waktu di siang hari ketika daerah-daerah latihan jarang
terisi dengan pemain lainnya, Mengapa kamu harus berusaha sekeras ini?
Aku tidak mau mendengar salah satu dari kata itu......"untuk
menyelesaikan permainan ini". Bahkan bila kamu menjadi lebih kuat
seorang diri, kecepatan penyelesaian masih akan ditentukan oleh para
guild yang kuat seperti KoB."
"Jangan
mengkhawatirkanku; aku telah menjadi seorang pecandu untuk menaikkan
level. Hanya mendapatkan experience point membuatku merasa enak."
Melihatku mengatakan itu dengan senyum yang memalukan, Klein membalasnya dengan memasang ekspresi wajah serius.
"Jangan
bercanda... bahkan akupun tahu betapa melelahkannya untuk melakukan
grind seperti ini. Untuk bermain solo itu sangat berat di pikiran...
bahkan bila levelmu itu mendekati 70, untuk sendirian di area ini jelas
tidak aman. Kamu ingin mengambil resiko, tetapi kamu juga pasti
mempunyai batasan. Apa gunanya menaikkan level di tempat seperti ini
dimana kamu dapat mati kapanpun juga?
Fuurinkazan
adalah guild yang intinya terdiri dari teman-teman Klein dari sebelum
SAO. Anggotanya adalah kumpulan orang yang tidak menyukai mencampuri
urusan yang tidak perlu dan, pemimpinnya, Klein, tidak terkecuali.
Orang
ini adalah orang yang baik, tetapi untuk orang yang baik ini untuk
cemas hingga sejauh ini mengenai seorang beater yang tidak tahu malu
sepertiku, aku takut itu karena dia harus, karena aku dapat mengerti apa
alasannya. Untuk membantu Klein, yang tidak terlalu pintar
berkata-kata, aku membuka mulutku dengan sebuah senyum.
"Tidak apa-apa, kamu tidak perlu berpura-pura khawatir lagi. Kamu ingin tahu apakah targetku adalah Flag mob itu, kan?"
Flag
Mob adalah monster yang diatur untuk menjadi syarat penyelesaian sebuah
quest. Monster itu mungkin entah muncul sekali setiap beberapa hari
atau terkadang beberapa jam, tetapi sesekali satu unit monster akan
muncul yang sangat dekat dengan monster bos, jadi tentu saja kekuatannya
tidak dapat diremehkan. Jadi, untuk mengalahkannya, para pemain
biasanya membentuk sebuah kelompok sebesar kelompok yang menarget bos.
Klein dengan terus terang menunjukkan sebuah ekspresi kesulitan dan menggosok rahangnya.
"...Aku tidak berusaha untuk terutama mengetahui hal itu..."
"Kamu
tidak perlu menyembunyikannya lagi. Fakta bahwa kamu membeli informasi
mengenai pembelian informasi mengenai bos natal dari Argo... informasi
ini juga aku beli darinya."
"Apa?!"
Klein membuka lebar kedua matanya dan tidak dapat berkata-kata.
"Argo itu... Nama panggilannya, si Tikus, bukan hanya hiasan."
"Gadis
itu akan menjual informasi apapun, bahkan stats-nya sendiri. Lagipula,
kita tahu bahwa target masing-masing adalah bos natal itu, dan aku telah
membeli semua informasi yang ada yang dapat didapatkan dari NPC. Jadi,
kamu seharusnya tahu aku akan mendapatkan experience point seperti ini
tanpa akhir dan tidak peduli saran seperti apa yang diberikan aku tidak
mempunyai alasan untuk berhenti."
"Ah... kesalahanku. Itu juga sesuatu yang akan aku tolak juga."
Klein memindahkan tangannya dari dagunya dan menggaruk kepalanya, meneruskan perkataannya.
"Hari
ini adalah 5 hari sebelum malam Natal... setiap guild sama saja, mereka
semua ingin meningkatkan kemampuan bertarung mereka sebelum kedatangan
bos itu, walaupun hanya sedikit. Tetapi di malam yang sangat dingin
seperti ini, jarang ada orang bodoh yang mengunci diri mereka sendiri
didalam area latihan. Tetapi... untungnya guild kami memiliki hampir
sepuluh orang anggota, kami akan memiliki kesempatan yang baik bahkan
bila target kami adalah sang bos. Kamu tahu, karena ini adalah Flag Mob
besar «Sekali Setahun », ini bukanlah sesuatu yang dapat kamu buru
seorang diri.
"......."
Tidak dapat menyanggah, aku melihat ke bawah kepada rerumputan liar kering, yang berwarna coklat muda.
Satu
tahun setelah SAO dimulai, sebelum Natal kedua, sebuah rumor mulai
menyebar ke seluruh Aincrad. Satu bulan yang lalu, para NPC di setiap
lantai mulai memperbincangkan mengenai quest yang sama.
Dikatakan
bahwa setiap Bulan Holly, yaitu tengah malam dari tanggal 24 Desember,
didalam suatu hutan di bawah dahan-dahan dari sebuah pohon yang sangat
besar, monster legendaris «Nicholas the Renegade» akan muncul. Bila kamu
dapat mengalahkannya, kamu akan mendapat semua harta dari kantong besar
yang dibawa di punggungnya.
Bahkan untuk para guild
yang kuat yang selalu hanya tertarik untuk pergi ke dungeon, kali ini
mereka menunjukkan ketertarikan yang besar. Mereka mengerti bahwa harta
itu, uang dan senjata langka akan banyak membantu dalam pertempuran
melawan bos sebuah lantai. Bila kita berkata bahwa ini adalah sistem
dari SAO, yang sejauh ini hanya mengambil banyak hal dari para pemain,
sekarang dengan niat baik memberi hadiah Natal, lalu bagaimana ada orang
yang dapat menolaknya?
Tetapi seorang pemain solo
sepertiku, pada awalnya, tidak tertarik dengan rumor ini. Bahkan tanpa
Klein mengataknnya, aku sudah tahu bahwa musuh ini bukanlah tandingan
bagi hanya seorang pemain saja. Lagipula, dengan uang yang aku dapat
dari proses-penyelesaian permainan, bila aku ingin, aku bahkan dapat
membeli sebuah rumah. Dan yang terpenting adalah, aku tidak ingin,
sebagai hasil bertarung dengan Flag Mob yang ingin dilawan oleh semua
orang, menjadi terkenal, dan mendapatkan perhatian yang tidak perlu.
Tetapi
dua minggu yang lalu – perasaanku berubah 180 derajat setelah mendengar
informasi dari NPC. Setelah itu, aku datang ke tempat berburu yang
populer ini setiap hari, dengan ditertawai oleh yang lain, dan menaikkan
levelku seperti orang gila.
Klein, yang tetap diam didekatku, berkata dengan suara pelan:
"Jadi itu ternyata memang berhubungan dengan informasi itu – Mengenai «Resurrection Item»."
"...Ah."
Sekarang
karena percakapannya sudah mencapai sejauh ini, tidak perlu
menyembunyikannya lagi. Setelah aku dengan tenang mengakuinya, aku
menghela napas beberapa kali yang tidak dapat aku hitung berapa
banyaknya, dan menekan keluar kata-kataku.
"Aku
mengerti perasaanmu... aku tidak pernah mengira akan ada item impian
seperti itu. «Didalam kantong Nicholas terdapat sebuah item legendaris
yang dapat menghidupkan kembali orang yang mati.» ...tetapi... seperti
kebanyakan orang, aku rasa itu hanyallah sebuah kebohongan. Atau
daripada menyebutkannya sebagai sebuah kebohongan, maksudku itu mungkin
adalah sebuah perkataan dari para NPC yang tersisa dari saat SAO adalah
sebuah VRMMO biasa... yaitu, pada awalnya, item ini akan dapat
menghidupkan kembali orang tanpa kondisi dari «Death Penalty» yang ada.
Tetapi SAO yang sekarang tidak memiliki hal seperti itu. Hanya ada satu
penalti, dan itu adalah nyawa pemain itu sendiri. Aku tidak ingin
mengingat kejadian itu lagi, tetapi hal ini dikatakan pada hari pertama
proses penyelesaian oleh Kayaba itu."
Aku mengingat
insiden tutorial yang diberikan oleh GM palsu Akihiko di tempat kosong
itu pada hari pertama itu. Seorang pemain yang HP-nya mencapai nol akan
menghilang dari server ini, tidak akan pernah kembali ke tubuh fisiknya.
Aku tidak merasa bahwa kata-kata yang diucapkannya adalah sebuah kebohongan, tetapi... walaupun begitu...
"Tidak
ada seorangpun yang dapat mengkonfirmasi hal ini, bahwa kematian
didalam dunia ini itu sama dengan kematian yang sebenarnya."
Aku
mengatakan kata-kata ini seakan-akan aku berusaha menyangkal
kata-katanya. Ketika itu, Klein mengerutkan hidungnya dan menjatuhkan
sangkalanku:
"Kita akan mati dan kembali ke sisi lain
dalam keadaan hidup, dan Kayaba akan menemui kita dan mengatakan kepada
kita «Aku bohong» ? Hentikan itu, pertanyaan ini sudah terjawab satu
tahun yang lalu. Bila hal ini hanyalah lelucon payah seperti ini, lalu
tarik saja Nerve Gear milik semua pemain, dan insiden ini akan selesai.
Karena kita tidak dapat melakukan hal itu, permainan kematian ini nyata.
Ketika HP menjadi nol, Nerve Gear akan menjadi sebuah tungku microwave
dan menggoreng otakmu. Bila tidak seperti itu, lalu mereka semua yang
dibunuh oleh para bajingan itu atau para monster, yang berteriak "Aku
tidak ingin mati" sementara mereka menghilang, apa arti itu semua?"
"Diam!"
Berteriak cukup keras untuk mengejutkan diriku sendiri, aku memotong kata-kata Klein.
"Bila
kamu benar-benar berpikir bahwa aku bahkan tidak mengerti hal seperti
ini, berarti aku tidak memiliki hal lain untuk dikatakan kepadamu...
Benar, Kayaba memang mengatakan hal itu di hari pertama, tetapi,
beberapa waktu yang lalu, bahkan pemimpin dari para penyelesai permainan
di garis depan, pemimpin dari KOB Heathcliff mengatakan hal ini: selama
masih ada bahkan satu persen kesempatan untuk menyelamatkan nyawa
seorang teman seperjuangan, lalu kita harus melakukan yang terbaik untuk
mengejar kesempatan itu, dan mereka yang tidak dapat melakukan hal ini
tidak pantas untuk membentuk kelompok apapun. Walaupun aku tidak
menyukai orang itu, apa yang dia katakan itu benar. Aku sekarang sedang
mengejar kesempatan itu. Seandainya mereka yang mati di dunia ini tidak
kembali ke dunia nyata ataupun benar-benar mati, dan sebaliknya
dipindahkan kedalam semacam ruang tunggu, menunggu untuk hasil akhir
dari permainan ini. Lalu, kita telah memiliki alasan untuk mendapatkan
«Resurrection Item» itu."
Dengan sebuah kata-kata
panjang lebar yang jarang aku lakukan, aku mengajukan skenario yang baru
saja aku buat ini untuk membantuku. Klein mengesampingkan kemarahannya,
dan sebaliknya melihatku dengan rasa kasihan.
"Begitukah?"
Suara yang dia keluarkan barusan itu benar-benar berbeda dengan sebelumnya, sangat tenang.
"Kirito...kamu
masih belum melupakan mengenai itu, huh, bahwa guild-mu yang
terakhir... Dan ini sudah hampir setengah tahun setelah itu..."
Aku membalikkan kepalaku, dan memuntahkan kata-kata untuk membela diriku sendiri.
"Seharusnya dikatakan, bagaimana aku dapat melupakannya setelah hanya setengah tahun... semuanya mati, kecuali aku..."
"Guildnya
bernama «Black Cats of the Full Moon» kan? Mereka bahkan bukan sebuah
guild penyelesai permainan, tetapi tetap pergi ke tempat yang dekat
dengan garis depan, dan pada akhirnya beberapa pencuri mengaktifkan
perangkap alarm. Itu bukanlah salahmu, dan tidak ada yang akan
menyalahkanmu atas hal itu. Sebaliknya, kamu akan dipuji karena dapat
selamat."
"Bukan seperti itu... itu adalah
kesalahanku. Baik soal menghentikan mereka untuk pergi ke garis depan,
memberitahukan mereka untuk mengacuhkan hartanya, atau memastikan semua
orang dapat melarikan diri segera sesudah alarmnya berbunyi; semuanya
ini harusnya dapat aku lakukan."
—Bila aku tidak
menyembunyikan tingkat keahlianku dari para rekanku. Rasa sakit yang
datang karena tidak memberitahukan Klein kenyataan ini tanpa henti
menyerang dadaku. Sebelum pengguna katana ini mengatakan kata-kata untuk
menghibur yang tidak sesuai dengan dirinya, aku memaksakan diriku untuk
menyelesaikan kata-kataku:
"Memang, mungkin bahkan
tidak ada satu persen kesempatan untuk hal ini. Tetapi baik mengenai
kemungkinan menemukan Bos Natal, mengalahkannya seorang diri, mengenai
keberadaan Ressurection item itu, atau disimpannya kesadaran dari para
pemain yang mati... semuanya ini seperti mencari sebutir pasir di padang
pasir. Akan tetapi... akan tetapi, kemungkinannya bukan nol. Karena
kemungkinannya bukan nol, aku harus memberikan usaha terbaikku. Terlebih
lagi... Klein, tidak mungkin kamu akan memberi dirimu sendiri hal yang
membuat sakit kepala ini hanya untuk uangnya, bukan? Jadi kamu akan
menggunakannya sebagai sebuah alasan untuk melakukannya tepat sepertiku,
kan?"
Sebagai jawaban dari pertanyaanku, Klein mendengus, menjawab sementara memegang sarung pedangnya yang ada di lantai:
"Aku
bukanlah pemimpi yang sama sepertimu. Hanya saja... sebelumnya, aku
juga memiliki seorang teman yang tereliminasi. Bila aku tidak melakukan
segala yang aku bisa untuknya, lalu aku tidak akan dapat tidur di malam
hari..."
Menghadap Klein yang telah berdiri, aku tersenyum sedikit.
"Jadi sama saja."
"Tidak
sama. Tujuan utama kami masih tetap harta itu, dengan apa yang baru
saja kita perbincangkan barusan... dengan hanya kelompok orang seperti
itu, akan buruk bila sebuah semut raksasa muncul. Aku akan pergi dan
melihat situasinya."
"Ah, ah."
Sedikit
menganggukkan kepalaku, aku menutup kedua mataku dan bersandar penuh
kepada batang pohon itu. Bisikkan kata-kata dari pengguna katana itu
bergerak pelan kearahku.
"Dan, aku khawatir mengenai
dirimu. Itu bukan hanya untuk mendapatkan informasi, tolol. Bila kamu
mati karena memberanikan diri di tempat seperti ini, aku jelas tidak
akan menggunakan ressurection item itu kepadamu!"
Bagian 2
“Terima
kasih atas bantuanmu. Lalu kami akan dengan hormat menerimanya. Tolong
lindungi kami hingga kami mencapai pintu keluarnya."
Ini adalah kalimat pertama yang dikatakan oleh pemimpin dari guild «Black Cats of the Full Moon», Keita katakan kepadaku.
Lima
bulan telah berlalu semenjak sore musim semi ketika permainan kematian
bernama SAO dimulai. Untuk mengumpulkan material untuk senjata, aku
pergi ke labirin sepuluh lantai dibawah garis depan pada yang sekarang.
Sebagai
seorang Beater, aku telah dengan segera berlari sejak awal, menggunakan
pengalamanku sebagai seorang beta tester. Memakai cara pemain solo yang
sulit, telah memungkinkanku untuk mendapat experience point dengan
sangat efisien. Hal ini mencapai tahap dimana aku bahkan dapat
mengalahkan para monster di garis depan seorang diri. Karena itu,
berburu dengan levelku yang sekarang menjadi begitu mudah dan santai
sehingga hal ini menjadi sebuah tugas yang membosankan. Dengan
menghindari pemain lainnya, aku dapat memperoleh sebuah set dari jumlah
yang dibutuhkan dalam dua jam. Sementara aku bersiap untuk bergerak ke
depan kearah pintu keluar, aku bertemu dengan sebuah kelompok yang
sedang mundur, sebuah grup besar monster mengejar mereka.
Sebagai
pemain solo, aku dengan segera memiliki pendapat bahwa kelompok itu
benar-benar tidak seimbang. Dengan kelompok beranggotakan lima orang,
satu-satunya pemain yang dapat mengambil peran depan adalah seorang pria
yang membawa sebuah mace dan perisai. Yang lainnya adalah seorang
pencuri yang dilengkapi dengan sebuah pisau belati, seorang pengguna
tongkat yang membawa tongkat dua tangan dan dua pengguna tombak panjang.
Akan tetapi ketika HP dari pengguna gada itu berkurang secara drastis,
tidak ada orang lain yang dapat menggantikannya. Sebagai hasilnya,
kelompok seperti ini hanya dapat mundur perlahan.
Untuk
menentukan keadaan semua orang, aku memeriksa HP mereka. Kelihatannya,
masih lebih dari cukup untuk mereka untuk mundur dengan aman ke pintu
keluar. Akan tetapi, penilaian itu tidak lagi berlaku bila mereka
bertemu dengan grup monster lainnya saat mundur. Setelah sedikit
ragu-ragu, aku berlari keluar dari jalur tempatku bersembunyi dan
berbicara kepada pengguna tongkat yang kelihatannya adalah pemimpinnya.
“Apakah kamu ingin aku membantu sebagai pendukung di depan?"
Pengguna tongkat itu melihat kepadaku dengan kedua matanya terbuka lebar dan menganggukkan kepalanya setelah sesaat ragu-ragu.
“Lalu, maaf merepotkanmu, tetapi tolong segera mundur bila terdapat bahaya."
Aku
menganggukkan kepalaku tanda mengerti dan menarik sebilah pedang di
punggungku sebelum berteriak dari belakang pengguna gada itu untuk
melakukan pergantian. Lalu, aku berlari menyerang para monster itu.
Musuhnya
adalah satu grup goblin yang telah banyak aku kalahkan sesaat yang lalu
ketika berburu sendirian. Monster ini dapat dengan cepat dikalahkan
bila aku maju dengan segenap tenaga dengan teknik pedangku. Bahkan bila
aku tidak dapat bertahan terhadap serangan dari mereka, aku akan dapat
bertahan lama dengan bergantung kepada skill «battle healing» untuk
mengisi HP milikku. Akan tetapi, aku pada saat itu juga khawatir.
Walaupun aku tidak takut kepada para goblin itu, aku benar-benar
khawatir mengenai apa yang dipikirkan oleh para pemain yang dibelakangku
itu.
Umumnya, bagi para pemain dengan level tinggi
yang menyebabkan sebuah gangguan besar sementara berlatih di lantai
lebih bawah akan dianggap sebagai sebuah kelakuan yang buruk. Bila
berlangsung untuk waktu yang lama, pemain itu akan mendapat teguran
keras ketika permohonan itu diajukan kepada sebuah guild di lantai yang
lebih atas untuk menyelesaikannya. Pemain itu akan berakhir didalam
daftar pemain dengan etika yang buruk di koran dan akan dihadapkan
kepada beberapa hukuman. Walaupun ini seharusnya bukan masalah karena
aku menganggapnya sebagai sebuah situasi darurat, hal ini
mengkhawatirkanku. Bila tidak dilakukan dengan baik, mereka akan
menyebutku sebagai seorang Beater dibandingkan dengan mengucapkan terima
kasih.
Karena itu, aku dengan sengaja memperlama
waktu yang dibutuhkan untuk mengalahkan sekelompok goblin dengan
membatasi penggunaan teknik pedangku. Pada saat itu, aku masih tidak
sadar bahwa keputusanku itu akan mengarah kepada sebuah kesalahan yang
tidak dapat diperbaiki.
Keseluruhan kelompok goblin
itu akhirnya dikalahkan setelah beberapa giliran rotasi dengan pengguna
gada itu, yang telah secara terus menerus memulihkan HPnya dengan
potion. Aku terkejut ketika kelompok yang terdiri dari lima orang yang
tidak diketahui ini mulai bersorak sorai dengan keras. Mereka secara
bergantian memberi masing-masing tos (!) bergembira karena kemenangan
ini.
Walaupun tidak dapat berkata apa-apa, aku masih
memasang senyum yang belum biasa aku lakukan sementara menjabat tangan
semua orang. Satu-satunya pemain wanita didalam kelompok, seorang
pengguna tombak berambut hitam adalah yang terakhir menggenggam tanganku
dengan kedua tangannya sementara secara berulang-ulang mengatakan
kepadaku diantara tangisnya:
“Terima kasih......
Terima kasih banyak. Aku benar-benar takut...... ketika kamu datang
menyelamatkan kami, aku sangat senang. Aku benar-benar menghargai
bantuanmu."
Mendengar kata-kata itu sementara melihat
aliran air mata, terdapat sebuah emosi yang tidak dapat dijelaskan
mengalir didalam dadaku. Aku mengingat saat aku menolong mereka, terasa
sangat enak bahwa aku cukup kuat untuk dapat melakukannya.
Walaupun
aku telah menjadi seorang pemain solo sejak mulainya permainan ini, ini
bukanlah kali pertama aku membantu kelompok lainnya di garis depan.
Akan tetapi didalam sebuah kelompok strategis, itu adalah sebuah
pemahaman tak terucap bahwa kami seharusnya membantu satu sama lain
didalam medan pertempuran. Karena akan ada hari ketika aku akan
membutuhkan bantuan mereka sebagai balasannya, aku akan membantu orang
lain tanpa mengharapkan sesuatu sebagai balasan. Lebih jauh lagi, mereka
yang dibantu hanya akan memberi salam singkat sebagai balasnya. Ini
adalah cara terbaik untuk dengan cepat mengatasi keheningan pasca
pertarungan sebelum mulai dari pertarungan berikutnya. Cara berpikir
sederhana itu ada sebagai cara untuk secara terus menerus dan efisien
memperkuat diri sendiri.
Akan tetapi, mereka – para
«Black Cats of the Full Moon» berbeda. Keseluruhan kelompok dipenuhi
dengan kesenangan besar hanya karena satu kemenangan dalam pertempuran,
dan memuji usaha masing-masing. Hal ini terlihat seperti suara terompet
kemenangan di akhir sebuah stand-alone RPG ketika aku mengusulkan untuk
menemani mereka ke pintu keluar. Itu mungkin dipengaruhi oleh suasana
seperti keluarga yang mereka punya antara mereka sendiri. Untuk
menjelaskannya lebih lanjut, aku merasa bahwa kenyataannya mereka adalah
yang menyelesaikan permainan gila bernama SAO ini.
“Aku
juga sedkit khawatir mengenai jumlah obat-obatan penyembuh yang tersisa
yang aku punya...... Bila kamu tidak keberatan, mari mengarah ke pintu
keluar bersama."
Keita mengangguk sementara tertawa lebar terhadap kebohonganku.
“Terima kasih banyak untuk bantuanmu."
Tidak,
ketika aku akhirnya menyadari bahwa itu hanya aku yang merasakan hal
itu sebagai sebuah pengalaman yang menyegarkan, sudah enam bulan sejak
hilangnya «Black Cats of the Full Moon». Sebagai seseorang yang telah
mengadopsi kebijaksanaan sebagai seorang pemain solo untuk mengumpulkan
kekuatan, melindungi seseorang yang jauh lebih lemah dariku memberi
sebuah perasaan yang mirip dengan menjadi tempat bergantung. Itu
hanyalah bagaimana keadaan saat itu.
Sementara berada
di area jalan utama setelah meninggalkan labirin, aku telah menyetujui
undangan Keita ke sebuah ale house, mereka yang membayar. Karena itu,
kami melakukan toast untuk merayakan kemenangan ini dengan anggur merah
yang akan dianggap mahal oleh mereka. Ketika aku selesai memperkenalkan
diriku sendiri, Keita dengan ragu-ragu bertanya mengenai levelku
sekarang dengann berbisik setelah suasananya telah tenang.
Aku
telah kurang lebih menduga pertanyaan ini akan ditanyakan. Karena itu,
aku telah memikirkan tentang sebuah angka palsu yang cocok beberapa
waktu yang lalu. Angka yang aku katakan kepada mereka sebenarnya adalah
tiga level lebih tinggi dari rata-rata level mereka...... tetapi,
sebenarnya dua puluh level lebih rendah dari levelku yang sebenarnya.
“Huh! Kamu dapat bermain solo di tempat ini dengan levelmu yang sekarang?"
Ekspresi wajahku yang masam ketika membalas Keita mengejutkannya.
“Tidak
perlu berbicara seperti itu...... bahkan bila bermain solo, tetapi aku
pada dasarnya hanya memilih musuh yang terpisah untuk diserang sementara
menghindari deteksi yang lainnya. Akan tetapi dalam hal efisiensi, hal
ini tidak terlalu tinggi."
“Oh...... Memang, lalu…...
Walaupun ini agak mendadak....... Tetapi aku pikir beberapa guild akan
mengundangmu untuk menjadi anggotanya dalam waktu sangat dekat......
Bila kamu bersedia, maukah kamu begabung dengan guild kami?"
“Huh......?”
Menghadapiku
yang tidak yakin bagaimana untuk membalas, wajah Keita yang telah
menjadi merah, menjadi lebih bersemangat sementara dia berbicara
“Begini,
berdasarkan level kita sekarang, kita dapat dengan aman berlatih
didalam labirin tempat kita berada sebelumnya. Mengenai keahlian untuk
bergerak lebih tinggi...... kamu pasti mengerti mengenai keadaan kami
sekarang ini. Satu-satunya orang yang dapat berperan sebagai pemain
depan adalah Tetsuo. Tidak peduli bagaimana, tingkat pemulihannya tidak
dapat menandingi tingkat berkurangnya. Karena itu, kondisi dalam
pertarungan hanya akan menjadi lebih buruk. Bila kami mempunyai rekan
lainnya untuk bergabung dengan kami, keadaan akan menjadi lebih baik.
Lebih dari itu...... Sachi, ke sini sebentar."
Keita
menaikkan tangannya dan memanggil dengan keras kepada pengguna tombak
berambut hitam itu. Gadis mungil bernama Sachi ini datang sementara
memegang segelas anggur merah dan dengan malu-malu mengangguk kepadaku.
Keita meletakkan tangannya di kepala Sachi sebelum meneruskan dan
berkata:
“Keahlian utama gadis ini seperti yang dapat
kamu lihat, adalah menggunakan tombak panjang dua-tangan. Tetapi
keahliannya termasuk rendah dibandingkan dengan pengguna tombak panjang
lain kami. Karena itu, aku ingin menggunakan kesempatan ini untuk
mengubah dia menjadi pembawa perisai dan pengguna pedang satu-tangan.
Hanya saja kami tidak pernah memiliki kesempatan untuk berlatih
sebelumnya. Terlebih lagi, kami juga tidak terbiasa dengan pedang
satu-tangan. Bila kamu bersedia, maukah kamu menjadi pelatihnya?"
“Apa ini! Memperlakukanku seperti anak kecil!"
Sachi mengangkat pipinya dan sedikit menjulurkan lidahnya keluar sementara tersenyum dan berkata:
“Ini
karena aku selalu bertanggung jawab untuk menyerang musuh dari jauh.
Bila kamu tiba-tiba memerlukanku untuk bergerak maju dan melawan musuh
dalam pertarungan jarak dekat, aku akan menjadi takut."
“Tidak
masalah selama kamu berlindung dibalik perisaimu. Berapa kali aku perlu
mengulanginya sebelum kamu mengerti...... yang benar saja. Kamu terlalu
mudah takut sejak dulu.”
Aku hanya mengetahui
mengenai garis depan dari SAO yang penuh dengan pembunuhan. Tidak, dalam
pendapatku semua pemain berlomba-lomba untuk mendapatkan bahan-bahan
didalam MMORPG. Karena itu, interaksi diantara mereka itu benar-benar
menarik dan mengagumkan. Ketika Keita menyadari bahwa aku sedang
melihatnya, dia dengan malu-malu tersenyum dan berkata:
“Ah.......
Anggota guild kami sebenarnya adalah anggota dari klub komputer dari
SMP yang sama di dunia nyata. Sebenarnya, dia tinggal sangat dekat
denganku …... Ah, tolong jangan khawatir karena semua orang di sini
sangat ramah. Kamu pasti akan dapat akrab dengan yang lainnya dengan
cepat."
Semua orang didalam grup itu, termasuk Keita,
adalah orang-orang yang baik. Itu adalah sesuatu yang sudah aku ketahui
semenjak aku menghabiskan waktu dalam perjalanan pulang dari labirin itu
dengan mereka. Aku merasa sangat bersalah membohongi mereka ketika aku
memaksakan sebuah senyum dan mengangguk.
“Lalu...... Tolong perbolehkan aku untuk bergabung dengan kalian semua. Juga, tolong bimbing aku."
Dengan pemain depan kedua, keseimbangan dari kelompok Black Cat itu meningkat drastis.
Tidak,
bila salah satu dari mereka memiliki sebuah keraguan, mereka akan
menemukan bahwa HP-ku tidak akan berkurang untuk suatu alasan yang aneh.
Akan tetapi, teman-teman yang baik ini semua percaya kepadaku karena
apa yang aku katakan, bahwa aku membuat mantel ini dari beberapa
material langka—dan ini bukanlah sebuah kebohongan—dan mereka tidak
pernah meragukanku.
Selama sebuah pertarungan
kelompok, aku hanya bertugas dalam pertahanan, dan membiarkan anggota
yang lain di belakangku untuk mengatasi para musuh dan mendapatkan
experience point. Keita dan lainnya dengan cepat menaikkan level mereka,
dan setelah aku bergabung selama seminggu, kami telah berlatih di
tempat berburu satu lantai lebih tinggi dari yang sebelumnya.
Kami
duduk berdekatan didalam sebuah area aman didalam dungeon. Keita sedang
memakan bento yang dibuat oleh Sachi sementara dia dengan bersemangat
memberitahukan kepadaku impiannya,
“Tentu saja,
keselamatan dari teman-teman kami adalah yang terpenting. Tetapi…bila,
bila kita hanya ingin selamat, kita hanya perlu mengunci diri kita
didalam kota sejak awal. Karena kami telah berlatih dan meningkatkan
level kami seperti ini, kami berharap setidaknya berada didalam grup
penyelesai. Walaupun garis depannya masih jauh dari kami, kami hanya
dapat menyerahkannya kepada guild-guild terkuat seperti Knights of the
Blood atau Sacred Dragon Alliance untuk menaklukannya... eh, Kirito, apa
bedanya antara mereka dan kita?"
“Eh…un, informasi.
Mereka mempunyai informasi mengenai area mana yang merupakan tempat
paling efektif untuk berlatih, bagaimana mendapatkan senjata terkuat
didalam permainan ini dan berbagai hal lain."
Itu adalah alasan mengapa aku berada didalam regu penyerang, tetapi Keita kelihatannya tidak senang dengan jawaban ini.
“Itu...
jelas adalah sebuah alasan. Tetapi aku merasa bahwa itu adalah
semangat. Keinginan mereka untuk melindungi teman-teman mereka, semua
pemainnya menjadi kuat. Itu karena kekuatan inilah sehingga mereka dapat
menang didalam pertempuran-pertempuran yang berbahaya dengan para bos.
Kami adalah mereka yang dilindungi, tetapi perasaan kami tidak akan
kalah dengan mereka. Jadi... aku merasa bahwa jika kita terus bekerja
keras seperti ini, kita dapat mengejar mereka."
“Yah... kamu benar."
Walaupun
aku mengatakan hal itu, aku merasa itu bukanlah karena alasan yang
menakjubkan seperti itu. Alasan kenapa para grup penyelesai memiliki
motivasi mereka adalah karena mereka selalu memiliki seorang pendekar
pedang yang berada di atas ribuan pemain lainnya. Buktinya adalah bila
mereka bertujuan untuk menyelesaikan SAO hanya untuk melindungi para
pemain, para pemain kelas atas tersebut seharusnya telah menyediakan
semua informasi dan perlengkapan yang mereka dapat kepada para pemain
kelas menengah. Lalu mereka dapat meningkatkan level dari semua pemain,
dan jumlah orang yang bergabung dengan grup-grup penyelesai akan
bertambah.
Alasan mereka melakukan hal itu adalah
karena mereka berharap untuk menjadi yang terkuat. Tentu saja, aku juga
sama. Pada saat itu, aku akan menyelinap keluar dari tempat
peristirahatan kami dan pergi ke garis depan untuk terus meningkatkan
level-ku. Perbuatan ini terus menjauhkan perbedaan level antara aku dan
para anggota dari Black Cats. Walaupun aku mengetahui bagaimana
akhirnya, aku terus menerus mengkhianati mereka.
Tetapi
pada saat itu, aku kurang lebih percaya bahwa bila level dari para
anggota Black Cats meningkat, kami dapat bertarung di garis depan. Pada
saat itu, aku rasa cita-cita dari Keita mungkin dapat mengubah sifat
tertutup dari para grup penyelesai.
Sebenarnya, dapat
dikatakan bahwa level dari para anggota Black Cats meningkat dengan
kecepatan yang tidak normal. Area latihan yang kami gunakan adalah
tempat yang sebelumnya aku selesaikan sebagai bagian dari garis depan.
Aku tahu semua mengenai tempat itu, baik tempat-tempat berbahayanya atau
tempat-tempat efektif untuk berlatih. Aku terus menerus memandu mereka
tanpa mengkhawatirkan apa-apa, terus menerus memikirkan rencana paling
efisien dalam berburu, menyebabkan level rata-rata anggota guild Black
Cats untuk berada sangat jauh di atas level rata-rata pemain secara
keseluruhan. Ketika aku bergabung, kami masih berada sepuluh lantai di
bawah garis depan, tetapi celahnya dengan cepat menyempit menjadi lima.
Kami terus menerus menambah kecepatan dan col, dan sepertinya kami
segera akan memiliki cukup col untuk membeli sebuah rumah untuk guild.
Akan tetapi, ada satu masalah. Transformasi Sachi menjadi pendekar pedang berperisai tidak dapat diteruskan.
Tetapi
hal itu tidak dapat dihindarkan. Ketika menghadapi monster-monster
ganas pada jarak dekat, apa yang lebih penting daripada jumlah dalam
level adalah keberanian untuk menahan rasa takut dan bertarung terus
hingga akhir. Segera setelah SAO dimulai, banyak pemain meninggal karena
mereka menjadi panik dan tenggelam dalam kekacauan. Bila aku
benar-benar harus mengatakannya, Sachi termasuk seorang penakut yang
kelihatannya tidak dapat berperan sebagai pemain depan.
Aku
merasa tidak perlu bagi Sachi untuk mengganti tipe karena aku memiliki
status yang jauh melebihi yang dibutuhkan untuk menjadi perisai mereka.
Akan tetapi, anggota yang lainnya tidak merasa begitu. Setidaknya,
mereka kelihatannya sedikit menyesal bahwa aku harus menjadi seorang
pemain depan, yang akan sangat melelahkan. Walaupun dia tidak
mengatakannya karena semangat dalam grup sangat baik, Sachi merasa bahwa
tekanannya menjadi lebih kuat.
Pada suatu malam, Sachi tiba-tiba menghilang dari tempat peristirahatan.
Semuanya
mengira alasan mereka tidak dapat menemukan lokasinya dari daftar
anggota guild adalah karena dia sedang sendirian didalam dungeon. Hal
ini membuat para anggota dari Keita panik, dan mereka segera pergi
keluar untuk mencari.
Akan tetapi, aku adalah
satu-satunya yang bersikeras untuk mencari di luar dungeon. Alasanku
adalah ada beberapa tempat yang tidak dapat dilacak. Tetapi
kenyataannya, aku telah memiliki keahlian 'Trace' tingkat tinggi yang
membolehkanku mencari musuh. Tentu saja, aku tidak dapat menjelaskan hal
ini kepada teman-temanku.
Sementara Keita dan lainnya
berlari ke arah dungeon di lantai itu, aku pergi ke kamar Sachi,
mengaktidkan fungsi pelacak, dan mengikuti langkah kaki berwarna hijau
muda yang muncul.
Langkah kaki kecil itu mengarah ke
arah yang semua orang, termasuk aku, tidak diduga sama sekali. Dia
menghilang ke dalam tempat pembuangan air yang termasuk jauh dari jalan
utama. Aku menelengkan kepalaku dan berjalan masuk, dan melihat di
pinggiran luar dari kegelapan tempat itu dimana tetesan air menetes,
Sachi sedang duduk berjongkok dengan sebuah mantel yang baru saja dia
dapat, yang memiliki fungsi tidak terlihat.
“…Sachi.”
Ketika aku mengatakan hal itu, dia menggelengkan rambut hitamnya yang sepanjang bahu dan melihat ke atas, menggumam kaget,
“Kirito…bagaimana kamu tahu aku aku ada di sini?"
Aku ragu-ragu mengenai bagaimana untuk menjawabnya, dan akhirnya berkata.
“Insting.”
“…Begitu."
Sachi
tersenyum dan sekali lagi menyandarkan wajahnya kepada lututnya yang
sedang dipeluknya. Aku mencoba sebaik mungkin untuk memikirkan
kata-kata, dan mengatakan sesuatu yang kurang kreatif,
“…Semuanya khawatir mengenaimu. Mereka bahkan mengirim orang ke dungeon untuk mencarimu. Segeralah kembali."
Kali
ini, terdapat keheningan panjang. Setelah satu atau dua menit, aku
ingin mengatakan hal yang sama lagi, tetapi kali ini, suara yang lemah
dari Sachi keluar sementara dia menurunkan kepalanya,
“Hei, Kirito, mari kita lari."
Aku bertanya secara naluriah,
“Lari... dari mana?"
“Dari kota ini, semuanya yang ada di Black Cats, para monster... dari SAO."
Aku
tidak begitu akrab dengan para gadis—atau bahkan manusia umumnya
sehingga aku tidak dapat menjawabnya dengan segera. Setelah berpikir
panjang, aku dengan takut-takut bertanya,
“Apakah kamu... bermaksud untuk melakukan bunuh diri bersama?"
Setelah keheningan sesaat, Sachi tersenyum.
“Fufu…yah,
seharusnya tidak masalah... tidak, maaf. Aku berbohong. Bila aku
memiliki keberanian untuk melakukan bunuh diri, aku tidak akan
bersembunyi didalam kota... jangan berdiri terus. Duduklah juga."
Aku
tidak tahu apa yang harus dilakukan, jadi aku duduk sedikit dekat di
samping Sachi di lantai batu itu. Dari pintu keluar berbentuk setengah
lingkaran dari tempat pembuangan air ini, aku dapat melihat cahaya
kotanya yang sekecil bintang-bintang.
“…Aku takut akan kematian. Karena aku takut, aku bisa dibilang tidak dapat tidur selama ini."
Akhirnya, Sachi menggumam.
“Mengapa
hal seperti ini terjadi? Mengapa kita tidak dapat keluar dari permainan
ini? Mengapa kita dapat mati walaupun ini hanyalah sebuah permainan?
Apa yang dapat didapat oleh Kayaba itu dengan melakukan hal ini? Apa
arti dari hal ini...?"
Sebenarnya, aku dapat memberi
sebuah jawaban untuk masing-masing dari kelima pertanyaan itu. Tetapi
bahkan akupun tahu bahwa Sachi tidak mencari jawaban semacam itu. Aku
berusaha sebaik yang aku bisa untuk berpikir dan berkata,
“Kemungkinan
besar, tidak ada artinya... dan tidak ada yang dapat memperoleh
keuntungan dari ini. Pada saat dunia menjadi seperti ini, semuanya
kehilangan hal terpenting dari yang mereka miliki."
Aku
menahan air mataku sementara aku mengatakan sebuah kebohongan besar
kepada gadis ini. Hal itu karena aku berbohong kepada diriku sendiri
untuk menjadi lebih kuat, dan merasakan kepuasan dari rahasia ini ketika
aku memasuki kelompok dari para Black Cats. Bisa dibilang, aku
jelas-jelas mendapatkan keuntungan bagi diriku.
Pada
saat itu, aku seharusnya mengatakan semuanya kepada Sachi. Bila aku
memiliki sepotong kecil saja kejujuran, aku seharusnya sudah menunjukkan
egoismeku yang buruk ini keluar. Pada keadaan itu, Sachi mungkin dapat
mengeluarkan sebagian dari tekanan yang ada pada dirinya, dan dia bahkan
mungkin merasa agak tenang.
Akan tetapi, apa yang dapat aku katakan hanyalah sebuah kebohongan untuk lebih menguatkan diriku.
“…Kamu tidak akan mati."
“Mengapa kamu mengatakan hal itu?"
“…Bahkan
dalam keadaan kita yang sekarang, Black Cats tetaplah sebuah guild yang
kuat. Kita juga telah mencapai batas aman. Bila kamu tetap didalam
guild itu, kamu dapat terus hidup dengan aman. Juga, kamu tidak
benar-benar perlu berganti menjadi seorang pendekar pedang."
Sachi
mengangkat kepalanya dan menunjukkan kepadaku sebuah ekspresi
kepercayaan. Akan tetapi, aku tidak dapat menatap langsung kepada kedua
mata itu dan merendahkan kepalaku.
“…Benarkah? Aku dapat terus hidup hingga akhir? Kembali ke dunia nyata?"
“Ahh…kamu tidak akan mati. Kamu akan terus hidup hingga hari dimana permainan ini terselesaikan."
Kata-kata
itu adalah kata-kata yang tidak meyakinkan dan tidak memiliki pengaruh
apapun didalamnya. Walaupun begitu, Sachi bersandar kepadaku,
menyandarkan wajahnya kepada bahu kiriku dan menangis untuk beberapa
lama.
Setelah beberapa lama, aku mengirim pesan kepada
Keita dan kawan-kawan dan membawa Sachi kembali ke tempat menginap
kami. Sachi kembali ke ruangannya untuk beristirahat, dan aku menunggu
di lantai pertama dari meja minum menunggu kembalinya Keita dan
kawan-kawan. Aku memberitahu kepada mereka beberapa hal—Sachi
membutuhkan waktu lebih lama untuk menjadi seorang pendekar pedang, dan
bila mungkin, dia lebih baik terus menjadi seorang pendekar tombak.
Juga, aku dapat terus menjadi pemain depan.
Keita dan
lainnya bertanya-tanya mengenai apa yang terjadi antara Sachi dan aku,
tetapi mereka dengan gembira menyetujui rencanaku. Aku menghela napas
lega, tetapi ini tidak akan menyelesaikan masalah sesungguhnya.
Dari
malam berikutnya dan seterusnya, Sachi akan datang untuk tidur di
kamarku. Dia berkata bahwa bila terus bersamaku dan mendengar bahwa dia
tidak akan mati, dia akan dapat tidur dengan tenang. Sekarang aku
benar-benar tidak dapat menyelinap keluar pada malam hari untuk mendapat
experience. Walaupun begitu, hal ini tidak berarti rasa bersalahku
karena berbohong kepada Sachi dan lainnya menghilang.
Untuk
alasan tertentu, ingatan mengenai hal itu terpadatkan seperti gumpalan
salju, jadi aku tidak dapat mengingat banyak. Walaupun begitu satu hal
yang pasti adalah Sachi dan aku tidak memiliki hubungan yang romantis.
Kami tidak pernah tidur bersama di tempat tidur yang sama, tidak pernah
berpelukan satu sama lain, berbicara mengenai cinta atau bahkan melihat
satu sama lain.
Hubungan kami lebih seperti kucing
yang hilang yang saling menjilati luka yang lain. Sachi akan sedikit
melupakan mengenai ketakutannya karena kata-kataku, dan aku akan
bergantung kepadanya untuk melupakan rasa bersalahku karena aku adalah
seorang beater.
Benar—Itu karena aku mengacuhkan
masalah-masalah dari Sachi sehingga aku menemukan sisi ini dari insiden
SAO yang telah berubah menjadi sebuah permainan kematian. Aku secara
sistematis mengalahkan monster dengan level rendah yang aku kalahkan
selama beta test, terus menaikkan level dan menjaganya dalam batas aman.
Aku bukanlah seperti Heathcliff sang Paladin, tetapi didalam ingatanku,
life point-ku tidak pernah turun ke daerah berbahaya.
Aku
bergantung kepada sumber daya yang luas yang aku dapat dengan mudah.
Ketika aku mengetahui... bahwa ada banyak pemain yang takut akan
kematian seperti ini, aku akhirnya menemukan sebuah cara untuk
menghilangkan rasa bersalahku. Tentu saja, cara itu adalah untuk terus
melindungi Sachi dan para anggota Black Cats.
Untuk
kepuasanku sendiri, aku lupa bahwa aku menyembunyikan levelku sebelum
memasuki guild ini, melupakan ingatan bahwa aku adalah yang pada
akhirnya menjadi orang yang melindungi mereka, melatih mereka untuk
menjadi sebuah guild tingkat atas. Setiap malam, aku akan berada di sisi
tempat tidur, menenangkan Sachi yang meringkuk dalam kecemasan,
mengatakan kepadanya 'kamu tidak akan mati, kamu tidak akan mati, kamu
akan terus hidup' seperti sebuah mantra. Setelah aku mengatakan hal itu,
Sachi akan menunjukkan sebuah senyum kecil dari balik selimut,
menatapku dan memasuki tidur yang ringan.
Akan tetapi, Sachi tetap meninggal pada akhirnya.
Kurang
dari sebulan setelah malam itu di tempat pembuangan air, dia terbunuh
secara kejam oleh seekor monster di depanku, dan seluruh tubuh dan
jiwanya semuanya tersebar.
Pada hari itu, Keita ingin
membeli sebuah rumah sebagai rumah untuk guild kami, membawa seluruh
uang yang akhirnya kami kumpulkan dan pergi menemui para pemain yang
bekerja di bidang penjualan bangunan. Sachi, aku dan ketiga anggota
lainnya sedang tertawa sementara kita sedang melihat kolom barang
bersama dari anggota guild yang tidak memiliki item satupun didalamnya
sementara kita menunggu Keita untuk kembali. Tetapi setelah beberapa
saat, pengguna gada Tetsuo itu berkata,
“mari pergi ke dungeon sebelum Keita kembali, mengisi kolomnya dan menakutinya."
Kelima
dari kami memasuki dungeon yang tidak pernah kami masuki sebelumnya,
sebuah dungeon yang berada hanya tiga lantai di bawah garis depan yang
sekarang. Tentu saja, aku pernah bertarung di tempat itu sebelumnya, dan
aku tahu bahwa tempat itu adalah sebuah tempat yang mudah untuk
mendapatkan uang tetapi memiliki banyak sekali jebakan. Akan tetapi, aku
tidak memberitahu mereka mengenai itu.
Didalam
dungeon, level kami masih berada didalam area aman, jadi perburuan kami
berjalan mulus. Setelah satu jam, kami mendapatkan sejumlah uang yang
kami tentukan, dan ketika semuanya sedang bersiap untuk kembali dan
membeli barang-barang, salah satu anggota yang merupakan seorang pencuri
menemukan sebuah peti harta.
Pada saat itu, aku
dengan keras berpendapat untuk mengacuhkannya. Tetapi ketika aku
ditanyai mengenai alasannya, aku tidak dapat mengatakan bahwa tingkat
kesulitan dari perangkapnya telah meningkat setingkat mulai dari lantai
ini, dan hanya dapat berkata terbata-bata dan menekankan bahwa peti itu
terlihat berbahaya.
Perangkap alarm-nya berbunyi
dengan keras, dan para monster bergerak menuju ruangan seperti sebuah
gelombang pasang. Segera sesudah mengetahui bahwa keadaannya sedang
berbahaya, aku segera berkata kepada semuanya untuk menggunakan jalan
keluar darurat untuk melarikan diri. Akan tetapi, ruangan itu didesain
sebagai sebuah tempat dimana kristal tidak dapat digunakan—pada saat
itu, semua orang, termasuk aku, pada akhirnya menjadi panik secara
ringan maupun berat.
Yang pertama mati adalah pencuri
itu yang mengaktifkan alarm-nya. Lalu, si pengguna gada Tetsuo, dan
pendekar tombak pria di belakangnya.
Karena panik, aku
terus menerus mengayunkan teknik pedang tingkat tinggi yang aku
sembunyikan dan membunuh gelombang demi gelombang dari para monster.
Tetapi mereka berjumlah terlalu banyak, dan aku tidak memiliki
kesempatan untuk menghancurkan peti harta yang terus berbunyi.
Sementara
HP dari Sachi benar-benar menghilang setelah dikelilingi oleh
sekumpulan monster, dia meraihkan tangan kanannya kepadaku seakan-akan
dia ingin mengatakan sesuatu. Kedua mata yang melebar itu masih
menunjukkan sebuah warna terang yang menunjukkan bahwa dia
mempercayaiku, sama seperti setiap malam, sehingga hal ini terasa sangat
menghancurkan hatiku.
Aku tidak dapat mengingat
bagaimana aku selamat. Setelah aku pulih, kumpulan monster dan keempat
temanku tidak berada didalam ruangan itu. Tetapi bahkan dalam situasi
itu, HP bar-ku menurun hingga sekitar setengahnya.
Tidak dapat berpikir, aku dengan hampa kembali ke penginapan.
Keita,
yang meletakkan kunci rumah guild yang benar-benar baru di atas meja
dan menunggu kami kembali, mendengarkan ceritaku—bagaimana keempat dari
mereka meninggal, bagaimana aku selamat, dan menatapku tanpa ekspresi.
Dia berkata kepadaku mengenai bagaimana beater sepertiku tidak memiliki
hak apapun untuk bergabung dengan mereka.
Dia berlari
keluar dari kota di Aincrad, dan kemudian melompati pagar tanpa keraguan
sementara aku mengikutinya dari belakang, menuju kedalam kehampaan
tiada akhir.
Apa yang Keita katakan adalah
kenyataannya. Hal itu tidak dapat diperdebatkan. Itu adalah
kesombonganku yang membunuh keempat anggota dari Black Cats of the Full
Moon—bukan, 5. Bila mereka tidak pernah bertemu denganku, mereka akan
terus berada di daerah tengah yang aman, dan mereka tidak akan memicu
apa yang ternyata adalah sebuah perangkap.
Untuk
bertahan hidup didalam SAO, apa yang kita butuhkan bukanlah refleks
ataupun jumlah secara angka dalam level, tetapi informasi yang memadai.
Aku menaikkan level mereka dengan efisiensi yang tinggi tetapi tidak
memberitahukan kepada mereka informasi. Itu adalah sebuah tragedi yang
aku sebabkan dengan kedua tanganku, dan aku sendirilah yang membunuh
Sachi yang telah aku janjikan untuk aku lindungi.
Mengenai
apakah dia ingin untuk mengutukku dengan kejam pada saat terakhirnya,
aku harus menahannya. Alasan mengapa aku terus menerus mencari mengenai
revival item yang dirumorkan adalah hanya untuk mendengar kata-kata itu.
Bagian 3
Selama empat hari yang tersisa sebelum Natal, levelku naik sekali lagi, menjadi 70.
Selama
masa ini, aku tidak tidur sedikitpun. Ini adalah harganya.
Kadang-kadang aku merasakan sakit kepala yang menusuk, seakan-akan aku
tertusuk oleh paku, tetapi aku merasa bahwa bahkan bila aku berbaring,
aku tidak akan dapat tertidur.
Semenjak perjumpaan
itu, guild Fuurinkazan dari Klein tidak pernah berada ke lembah semut
ini lagi. Aku terus menerus mengantri dengan guild-guild lainnya,
memburu semut-semut mekanis itu sendirian. Ekspresi wajah dari para
pemain yang melihat mataku juga pada akhirnya berubah dari mengejek
menjadi jijik. Walaupun masih ada beberapa pemain yang merespon
sapaanku, segera setelah siapapun memasuki lapangan pandangku, wajahnya
akan segera berpaling dariku.
Diantara sekelompok
pemain yang targetnya adalah hadiah Natal itu, pertanyaan terbesarnya
adalah dimana pohon fir raksasa dimana «Nicholas the Renegade» akan
muncul di bawahnya—mengenai pertanyaan ini, aku memanfaatkan waktu
menunggu di lembah semut itu, dan mendapatkan sebuah jawaban yang hampir
pasti.
Aku telah pergi ke semua koordinat yang aku
beli dari berbagai penjual informasi, tetapi walaupun dari luarnya
mereka tampak seperti pohon Natal, tetapi mereka ternyata bukanlah pohon
fir, tetapi pohon pinus. Daunnya yang seperti duri yang ada di pohon
pinus tidak sama. Bagian depan dari daun fir berbentuk oval tipis dan
memanjang. Karena di dunia nyata aku telah melihat kedua tipe pohon ini
di halaman belakangku, aku mengetahuinya.
Beberapa
bulan yang lalu, aku berada di area latihan di lantai tigapuluh tiga
dimana terdapat sebuah dungeon yang mentransfer pemain secara acak yang
dinamakan "Lost Forest", dan di sebuah ujung tertentu dari hutan itu aku
menemukan sebuah pohon raksasa yang berlekuk. Aku merasa bahwa terdapat
beberapa arti tersembunyi dari bentuknya, mungkin tempat mulai dari
sebuah quest yang tidak diketahui jadi aku dengan teliti menyelidikinya,
tetapi tidak menemukan apa-apa. Bila aku meninjau ulang, pohon raksasa
itu adalah sebuah pohon fir. Pada malam Natal– yaitu, malam ini, sebuah
monster spesial bernama «Nicholas the Renegade» akan muncuk di bawah
pohon itu.
Aku mendengarkan suara yang menandakan
bahwa aku sekarang level 70 tanpa perasaan apapun, dan setelah
gerombolan semut di dekatku sudah dibereskan, aku mengambil dari tasku
sebuah teleport crystal. Tanpa menyapa para pemain yang sedang
mengantri, aku langsung pergi ke lantai di garis depan dimana aku
menginap, di jalan utama lantai ke empatpuluh sembilan.
Aku
mengangkat kepalaku untuk melihat menara jam di gerbang alun-alun kota,
untuk melihat bahwa masih ada tiga jam sebelum tengah malam. Mungkin
karena mereka ingin menghabiskan malam natal bersama, didalam alun-alun
penuh dengan pasangan pemain. Aku dengan cepat melewati mereka untuk
kembali ke tempatku menginap.
Berlari ke ruanganku
sendiri, aku segera membuka tempat penyimpanan yang dipasang didalam
ruangan, mengambil dari item window yang muncul semua kristal pemulihan,
detoksifikasi dan potion dan semacamnya. Walaupun ini semua sudah
berjumlah besar dalam perhitungan neraca keuanganku, aku tidak akan
merasa kasihan bahkan bila mereka semua terpakai.
Segera
sesudah aku mengambil sebuah pedang satu-tangan dari koleksiku,
mengecek kembali durabilitasnya, aku mengambil pedang di punggungku yang
sebelumnya aku gunakan untuk melawan semut-semut itu dan menukarnya.
Lalu aku juga menukar mantel kulit dan pelindungku dan semuanya yang aku
pakai dengan item baru. Ketika aku telah selesai, aku baru saja akan
menutup window-nya ketika aku melihat inventory-ku dan menghentikan
tanganku.
Di sana, sebagai tambahan dari milik
«Sendiri» yang tertulis disana, inventory page milikku, terdapat label
lain yang tertulis dengan nama «Sachi».
Ini adalah
hasil dari hubungan yang sangat baik antara dua pemain, tetapi tidak
berlanjut ke dalam «Pernikahan» —pemain seperti mereka menentukkan item
window bersama mereka. Hal ini berbeda dengan bagaimana semua item
didalam pernikahan digunakan bersama dimana hanya item yang ditaruh
didalam window yang berbeda ini yang digunakan bersama.
Sachi,
yang tidak pernah meminta untuk pengakuan cinta atau untuk berpegangan
tangan sebelumnya, meminta pada tak lama sebelum kematiannya untuk
membuat window ini. Ketika aku bertanya mengenai alasannya, dia
memberikan sebuah jawaban yang sulit diterima, yaitu untuk dengan mudah
bertukar healing potion dan item yang serupa—bila ini adalah maksudnya,
disana dengan jelas terdapat sebuah window didalam guild yang terbuka
yang dapat digunakan untuk itu. Tetapi meskipun demikian aku setuju, dan
mengatur window ini untuk berbagi hanya antara Sachi dan aku.
Walaupun
Sachi meninggal, window ini masih ada. Tentu saja, daftar temannya akan
tetap memiliki nama Sachi, tetapi namanya akan berwarna abu-abu karena
dia tidak dapat dihubungi. Dan beberapa healing potion yang tersisa
didalam inventory yang digunakan bersama, ini juga tidak akan digunakan.
Setelah setengah tahun, walaupun halaman guildnya terhapus tanpa
perasaan apapun, aku tidak dapat menghilangkan label dengan nama Sachi
didalamnya. Tentu saja—alasannya bukan karena aku percaya bahwa dia
dapat dihidupkan kembali—Aku hanya tidak dapat memaafkan diriku sendiri
yang akan dapat merasa lebih baik setelah menghapus namanya.
Aku
baru pulih dan menutup window-nya setelah melihat nama Sachi selama
sepuluh menit. Sekarang adalah dua jam sebelum tengah malam.
Sementara
aku berjalan keluar dari ruangan dan menuju ke arah transfer gate, aku
terus berpikir mengenai ekspresi wajah Sachi pada saat terakhirnya, apa
yang dia pikirkan, dan, apa yang sebenarnya dia ingin katakan.
Berpindah
ke gerbang yang ada di lantai ke limapuluh lima, aku datang ke
alun-alun yang benar-benar berbeda dengan kota yang sebelumnya ataupun
di garis depan, sebuah alun-alun yang sangat sepi. Mungkin karena masih
ada jarak antara tempat ini dengan daerah pertempuran utama dari pemain
tingkat menengah, area jalan utamanya secara sederhana tidak cukup
berharga untuk dipakai jalan-jalan. Tetapi tetap saja, aku tetap menarik
kerah dari mantelku keatas untuk menghindari mata dari beberapa pemain
yang ada di area, dengan cepat meninggalkan jalan.
Tidak
ingin menghabiskan waktu melawan musuh yang lemah, aku mulai berlari
setelah memeriksa bahwa tidak ada yang mengejarku dari belakang. Dengan
level yang berhasil aku dapat selama satu bulan terakhir, agility-ku
meningkat banyak, dan kedua kakiku yang menapak salju terasa seringan
bulu. Rasa sakit yang menusuk yang datang dari pelipisku tidak pernah
menghilang, tetapi hal itu menyebabkan pikiranku tidak dapat tidur sama
sekali.
Setelah sekitar 10 menit berlari, aku tiba di
pintu masuk dari forest maze. Dungeon yang ada di medan ini terpisah
menjadi berbagai poligon berujung 4, dan karena setiap areanya saling
berhubungan, dapat dikatakan tidak mungkin untuk dapat menembusnya tanpa
peta.
Setelah membuka peta, aku menatap ke arah area
yang ditandai dan yang telah aku lalui. Setelah mengingat jalurnya
didalam pikiranku, aku berangkat sendirian ke hutan yang sunyi itu.
Setelah
dua pertarungan yang tidak dapat aku hindari, aku memasuki area di
depan semua pohon yang berada di sekitar sasaran tanpa kesulitan apapun.
Masih ada lebih dari tigapuluh menit tersisa.
Lalu,
aku akan bertarung dengan monster bos sendirian yang mungkin akan
mengambil nyawaku—sebuah kemungkinan yang tinggi untuk itu. Aku tidak
dapat merasakan rasa takut apapun didalamku. Sebaliknya, mungkin ini
adalah apa yang aku harapkan. Untuk mati didalam pertarungan untuk
menghidupkan kembali Sachi mungkin adalah satu-satunya jalan aku dapat
menerima kematian—
Aku tidak ingin mengatakan sesuatu
yang heroik seperti aku mencari tempat peristirahatanku. Aku menyebabkan
Sachi dan keempat temanku yang lain untuk mati tanpa arti, dan aku
tidak memiliki hal apapun untuk mencari sebuah kematian yang berarti.
Apa gunanya melakukan hal ini? Sachi sebelumnya bertanya kepadaku. Dan aku menjawabnya, tidak ada gunanya.
Sekarang
ini, aku akhirnya dapat mengubah kata-kata itu menjadi sebuah
kenyataan. Sachi meninggal tanpa arti didalam permainan kematian SAO ini
yang tanpa arti yang dibuat oleh orang jenius yang gila Kayaba Akihiko
itu. Dengan itu, aku akan mati di sebuah tempat yang tidak akan
diketahui orang lain, tidak diingat oleh siapapun, dan untuk meninggal
tanpa arti seperti itu.
Bila, aku mengalahkan bosnya
dan hidup, revival item itu akan berubah dari sebuah rumor menjadi
sebuah kenyataan. Itu adalah apa yang aku pikirkan. Jiwa Sachi akan
kembali dari jalan kematian atau Sungai Styx, dan kemudian aku akhirnya
dapat mendengar kata-kata terakhirnya. Akhirnya—pada akhirnya, biarkan
aku menunggu untuk saat ini...
Tepat ketika aku sudah
siap untuk melangkah ke depan dan selesai menjalani beberapa meter
terakhir, beberapa pemain muncul dari warp point di belakangku. Aku
melompat mundur karena kaget sementara aku memegang pangkal pedang yang
ada di belakangku.
Apa yang muncul adalah sebuah grup
yang terdiri dari 10 orang, dan berdiri tepat di depan mereka adalah
seorang samurai dengan pelindung ringan, sebuah katana di pinggangnya,
dan sebuah ikat kepala—Klein.
Anggota utama dari guild
Fuurinkazan masing-masing terlihat gelisah sementara mereka bergerak
mendekat ke arahku dari warp point yang ada di belakang mereka. Aku
terus melihat wajah Klein dan mengeluarkan sebuah suara yang serak.
“…Apakah kamu mengikutiku?"
Klein memegang rambutnya yang menjadi tegak karena bandana itu dan mengangguk.
“Yah. Kami memiliki seseorang dengan keahlian melacak yang baik."
“Mengapa aku?"
“Karena
aku membeli informasi bahwa kamu membeli semua koordinat pohon, dan
untuk alasan keamanan, aku berangkat untuk melihat dari gerbang penjaga
di lantai ke 49, tetapi mengetahui bahwa kamu sedang bergerak ke arah
lantai dimana tidak ada informasi sama sekali. Aku merasa bahwa
kemampuan bertarungmu dan insting pemainmu sangat kuat, lebih kuat dari
grup penyelesai... bahkan lebih dari Heathcliff. Jadi, Kirito, kamu
tidak boleh mati di tempat seperti ini."
Klein mengulurkan tangan kanannya, menunjukkan jarinya kepadaku dan berteriak,
“MENYERAHLAH
MENGENAI SERANGAN SOLO YANG GEGABAH ITU DAN BERKELOMPOKLAH BERSAMA
KAMI! BIARKAN ORANG YANG MENDAPAT REVIVAL ITEM DROP ITU YANG
MENYIMPANNYA, OKE!?"
“…Bila begitu..."
Aku
tidak dapat percaya bahwa Klein mengatakan hal itu kepadaku karena dia
melihatku sebagai seorang teman, bahwa dia mengkhawatirkanku.
“Bila begitu, tidak ada gunanya... Aku harus menyerang seorang diri..."
Aku menggenggam erat pangkal pedangku, dan pikiranku terbakar oleh kegilaan dan entah bagaimana tanpa sadar berpikir.
...Mari bunuh saja semuanya.
Di
masa lalu, ketika permainan kematian ini dimulai, aku meninggalkan
Klein, pemula ini yang tidak tahu apa-apa, dan pergi ke kota berikutnya.
Aku menyesali hal ini untuk waktu yang lama, dan lega karena Klein
dapat terus hidup dengan cara seperti itu.
Pada saat
itu, aku benar-benar bertanya-tanya, apakah aku harus mencapai tujuanku
bahkan bila aku harus membunuh satu dari teman-temanku yang sedikit ini
dan jatuh sebagai seorang pemain merah? Hatiku dengan lemah berteriak
bahwa hal ini tidak ada gunanya, tetapi terpukul mundur secara mutlak
oleh sebuah raungan yang sangat keras.
Aku benar-benar
percaya bahwa bila aku sedikit saja menghunus pedangku kemudian, aku
tidak akan dapat menghentikan diriku sendiri mulai dari saat itu. Dan
Klein sedang melihatku dengan sedih sementara tangan kananku gemetar dan
terus berusaha menolaknya.
Pada saat itu, sebuah grup ketiga pengganggu datang.
Juga,
grup ini bukanlah sebuah grup yang hanya beranggotakan 10 orang, tetapi
sekitar tiga kali kelompoknya. Aku menatap dengan kosong kepada
kelompok besar itu dan menggumam kepada Klein, yang berbalik dengan
sikap terkejut yang serupa,
“Kelihatannya kalian juga diikuti, Klein."
“…Ahh, kelihatannya begitu..."
Di
perbatasan yang kelihatannya sekitar 50 meter jauhnya, terdapat
orang-orang yang baru saja aku lihat di bukit semut, dengan diam menatap
kepada Fuurinkazan dan aku. Pendekar pedang Fuurinkazan yang berdiri
disebelah Klein menyondongkan diri ke sebelah wajah pemimpinnya dan
berbisik,
“Mereka adalah orang-orang dari «Divine
Dragon Alliance», sekelompok orang yang dapat menjadi pemain oranye
hanya untuk menyerang flag boss."
Aku sering juga
mendengar nama itu. Nama mereka sama terkenalnya dengan Knights of the
Blood, guild terbesar diantara grup penyelesai. Masing-masing dari
mereka seharusnya berada di bawahku dalam level, tetapi aku tidak
percaya dapat mengalahkan orang sebanyak itu.
Tetapi... mungkin hasil akhirnya akan sama.
Tiba-tiba
aku merasa bahwa entah aku dibunuh oleh monster bos atau sebuah guild,
itu semuanya adalah sias-sia. Tetapi, setidaknya itu adalah sebuah
pilihan yang lebih baik daripada bertarung melawan Klein, bukan?
Aku
memutuskan untuk menghunus pedang dari punggungku. Aku bahkan malas
untuk berpikir. Aku hanya perlu menjadi seperti robot dan terfokus untuk
mengayunkan pedangku, menghancurkan semua yang ada di depanku hingga
aku hancur.
Akan tetapi, teriakkan Klein menyebabkan tanganku terhenti.
“TERKUTUK! PARA BAJINGAN ITU!"
Pengguna katana itu menghunus senjata di pinggangnya lebih cepat dari aku dan menggeram kepadaku dari belakang.
“Pergi
kesana, Kirito! Serahkan hal ini kepadaku! Pergi kalahkan bos-nya!
Tetapi aku tidak akan membolehkanmu untuk mati! Aku tidak akan
memaafkanmu bila kamu berani untuk mati di depanku! Tidak akan pernah!"
“…”
Tidak
ada banyak waktu yang tersisa. Aku membalikkan punggungku kepada Klein
dan memasuki warp point terakhir tanpa berkata terima kasih.
Pohon-pohon
fir yang besar itu, lokasi yang aku ingat, dan lekukan dari
ingatan-ingatanku, mereka semua berada di situ membisu. Kelihatannya
tidak ada area bersisi 4 dengan pepohonan lainnya karena datarannya
bercahaya dengan salju yang putih murni, dan kelihatan seperti tanah
tandus dimana semua kehidupan telah sirna.
Sementara
timer yang berada di ujung mataku mencapai angka nol, sebuah alarm
terdengar entah dari mana, dan aku menengadahkan kepalaku dan melihat di
atas puncak pohon.
Langit yang hitam kelam, atau bisa
dibilang, dari dasar dari lantai atas sebagai latar belakang,
garis-garis cahaya itu terus menerus mendekat. Melihat lebih dekat ke
arah hgaris-garis itu, aku menemukan bahwa itu adalah seekor monster
berbentuk aneh yang menarik sebuah kereta luncur raksasa.
Ketika
kereta itu mencapai puncak pepohonan, sebuah bayangan hitam terbang
turun dari kereta luncurnya, dan aku mundur beberapa langkah.
Apa
yang mendarat dengan keras dan menyebarkan salju adalah seekor monster
yang 3 kali ukuranku. Monster itu masih memiliki penampilan seperti
manusia, tetapi kedua lengannya sangat panjang, dan karena tubuhnya
membungkuk ke depan, kedua lengannya hampir menyentuh tanah. Kedua mata
merah kecilnya bercahaya di bawah tonjolan yang abnormal dari kening
bayangan itu. Bagian bawah dari wajahnya penuh dengan janggut ikal
berwarna abu-abu, dan panjangnya mencapai pinggang.
Anehnya,
monster ini memakai sebuah kemeja berwarna merah dan putih, sebuah topi
berbentuk kerucut yang berwarna sama, membawa sebuah kapak di tangan
kanannya, dan sekantong besar penuh barang-barang di tangan kirinya.
Orang yang mendesain monster ini mungkin ingin membuat sekelompok besar
pemain untuk takut tetapi terhibur ketika mereka melihat versi yang
sangat jelek dari seorang bos Sinterklas. Tetapi untukku yang melawan
«Nicholas the Renegade» ini seorang diri, penampilan dari bosnya tidak
penting.
Nicholas mungkin akan memulai kata-kata untuk misi ini sementara dia bersiap menggerakkan janggutnya yang bertautan.
“Diam!"
Sementara aku menggumamkan hal ini, aku menghunus pedangku, dan kaki kananku menjejak keras lapisan salju tebal.
Bagian 4
Sudah lebih dari satu tahun sejak aku mulai bermain SAO, tetapi ini adalah pertama kalinya HP bar-ku memasuki zona merah.
Setelah
poligon dari target yang terkalahkan itu pecah, dia hanya meninggalkan
sebuah kantong. Tidak ada satupun restoration crystal yang tersisa dalam
inventory-ku, aku tidak pernah berada sedekat ini dengan kematian
sebelumnya. Walaupun aku selamat, tidak ada kegembiraan ataupun
ketenangan didalam hatiku. Sebaliknya, aku merasakan sebuah emosi yang
lebih dekat dengan kekecewaan. Mengapa aku selamat?
Sementara
aku menyarungkan pedangku kembali, kantong itu bercahaya dan kemudian
menghilang. Semua item yang dijatuhkan oleh target seharusnya masuk ke
dalam inventory-ku. Menarik napas dalam, aku menaikkan tanganku yang
gemetaran dan memanggil inventory window.
Inventory
window itu memiliki banyak tabel yang akan membuat jengkel kebanyakan
pemain. Senjata dan pelindung, Perhiasan/Ore, Kristal, dan bahkan Bahan
makanan, aku mencari didalam window yang dipenuhi dengan tabel item
untuk mencari sebuah item.
Beberapa detik kemudian, item yang aku cari memasuki jarak pandangku.
Item itu dinamakan «Divine Stone of Returning Soul».
Jantungku
mulai berdetak sangat kencang, hal ini terasa seakan-akan darah baru
mulai mengalir ke dalam bagian dari hatiku yang telah mati rasa selama
beberapa hari terakhir - beberapa bulan terakhir.
Da...
Dapatkah aku menghidupkan Sachi kembali? Bila hal ini dapat dilakukan,
tidakkah ini berarti bahwa, Keita, Tetsuo, dan jiwa dari setiap pemain
yang telah kehilangan nyawa mereka didalam SAO semenjak permulaan belum
di hancurkan...?
Ini mungkin adalah satu-satunya
kesempatanku untuk bertemu Sachi kembali. Hanya memikirkan hal itu
membuat jantungku berhenti berdetak sesaat. Tidak peduli kutukan atau
sumpah serapah macam apa yang mungkin dilemparkan kepadaku atau
konsekuensi apapun yang mungkin terjadi karena semua kebohonganku, kali
ini aku akan memeluknya dengan erat dengan kedua lenganku dan melihat
kepada sepasang mata berwarna kehitaman itu dan mengatakan kata-kata
yang ada di lubuk hatiku. Aku sebenarnya tidak berkata bahwa kamu tidak
akan pernah mati, tetapi mengenai akulah yang akan melindungimu. Untuk
memenuhi janji itu, aku akan bekerja jeras untuk membuat diriku menjadi
lebih kuat.
Setelah beberapa usaha gagal untuk memilih
batu yang ada di window itu karena tanganku yang gemetaran, aku
akhirnya berhasil mematerialisasikan «Divine Stone of Returning Soul»
itu. Mengambang di atas inventory window adalah sebuah batu permata
seukuran telur yang begitu indahnya sehingga tidak dapat dijelaskan
dengan kata-kata.
"Sachi.......Sachi....."
Memanggil
namanya, aku menyentuh batu permata itu, lalu memilih help menu yang
ada pada window, penjelasan singkat muncul di atas panel dengan model
cetakan huruf yang kukenal.
[Item ini dapat digunakan
melalui shortcut menu dari pemain atau memegang item yang telah
dimaterialisasikan dan berteriak «Revive .. (Nama Pemain)», efeknya
hanya bekerja dan menghidupkan kembali pemain dalam kerangka waktu
antara kematian dari pemain hingga menghilangnya efek cahaya item.
(kurang lebih 10 detik)]
Kurang lebih 10 detik.
Ucapan
ini yang sepertinya ditambahkan secara sengaja, dengan jelas dan kejam
mengumumkan bahwa Sachi tidak akan pernah dapat dihidupkan kembali.
Kurang
lebih 10 detik. Ini adalah waktu antara ketika HP seorang pemain jatuh
menjadi nol, dan tubuhnya terpecah menjadi berbagai poligon, hingga
Nerve Gear mengirimkan sinyal elektronik untuk memanggang otak pemainnya
di dunia nyata. Aku tidak dapat menahan diriku untuk membayangkan apa
yang pasti dirasakan oleh Sachi selama jeda waktu 10 detik yang pendek
itu, dari tubuhnya yang menghilang hingga Nerve Gear memanggang otak
dari pemiliknya. Hal itu pasti sangat menyakitkan baginya. Didalam jeda
waktu 10 detik ini, apa yang dia pikirkan? Aku berulang-ulang mengutuk
diriku sendiri.....
"Ugg..Ahhhhhh. Ahhhhhhhhhhhhhhhh..."
Aku mengeluarkan sebuah teriakan yang seperti binatang.
Menggenggam
Divine Stone of Returning Soul yang mengambang di atas inventory tab
itu, aku melemparkannya dengan sekuat tenagaku ke tanah yang bersalju
itu.
"Ahh... Ahhhhhhhhhhhhhhhhhh!"
Aku
menginjak-injak kristal itu dengan penuh kemarahan dengan sepatuku
sementara berteriak. Akan tetapi, kristal itu terus bersinar dengan
mantap tanpa terpengaruh oleh penginjakan ini, bahkan tidak ada satu
goresan pun, terlebih lagi retakan apapun pada kristal itu. Aku
berteriak dengan sekuat tenagaku, menyekopkan kedua tanganku ke tanah
dan menggunakan jemariku aku menggenggam salju yang terkumpul itu, pada
akhirnya aku terus meneruskan teriakkanku sementara aku berguling di
salju.
Tidak ada artinya, semuanya tidak ada artinya.
Tidak peduli bila Sachi meninggal sementara dia sedang ketakutan dan
kesakitan, atau diriku menantang target spesial pada masa Natal, TIDAK,
hidup di dunia ini atau fakta bahwa 10,000 pemain terperangkap disini
benar-benar tidak mempunyai arti. Aku akhirnya menyadarinya sekarang,
ini adalah satu-satunya kebenaran yang ada disini.
Aku
tidak tahu berapa lama aku melakukan hal ini, tidak peduli bagaimana
aku berteriak, bagaimana aku berseru, aku tidak memiliki keinginan
apapun untuk menangis. Itu karena tubuh buatanku ini tidak memiliki
fungsi itu? AKhirnya, dengan lelah aku berdiri, mengambil holy crystal
yang terkubur didalam salju itu dan bergerak menuju portal yang
mengarahkanku ke area sebelumnya dari dungeon ini.
Hanya
ada Klein dan anggota dari «Fuurinkazan» yang tersisa di hutan. Para
anggota dari «Divine Dragon Alliance» tidak dapat terlihat dimanapun.
Sementara aku berjalan ke arah pengguna katana yang sedang duduk di
tanah, aku memeriksa untuk mengetahui bahwa jumlah mereka tidak
berkurang.
Jelas bahwa Klein adalah satu-satunya yang
kelelahan, tetapi tidak selelah aku. Aku hanya dapat menebak bahwa dia
bernegoisasi dengan para anggota Divine Dragon Alliance dan bertarung
dalam sebuah duel. Akan tetapi, hatiku tidak merasa bersyukur.
Pengguna
katana itu melihatku datang mendekat, dan ekspresi wajahnya menunjukkan
sebuah kelegaaan. Akan tetapi, bibirnya menjadi kaku setelah melihat
ekspresi wajahku.
"...........Kirito............"
Aku menjatuhkan holy crystal itu di lutut Klein yang memanggil namaku dengan suara yang rendah dan kasar.
"Ini
adalah revival item itu, tetapi ini tidak dapat digunakan kepada orang
yang telah lama mati. Ambillah dan selamatkan orang berikutnya yang mati
di depanmu."
Sementara aku bersiap untuk mengarah ke pintu keluar setelah mengatakan hal itu, Klein menggenggam mantelku.
"Kirito... Kirito......"
Hal ini mengejutkanku untuk melihatnya dengan air mata yang mengalir turun ke pipinya yang berjanggut.
"Kirito... Kamu... Kamu harus selamat.... Bahkan bila semua orang yang lain menghilang... Kamu harus selamat hingga akhir....."
Aku
menarik lengan mantelku dari tangan Klein, yang terus menangis
sementara dia mengulang kata-katanya untukku agar terus hidup.
Selamat tinggal.
Setelah mengatakan hal itu, aku berjalan keluar dari hutan seperti orang yang tersesat.
Pada
saat aku sadar mengenai sekelilingku, aku telah kembali berada di
ruanganku didalam sebuah penginapan di lantai ke- 49 tanpa ingatan
apapun mengenai bagaimana aku dapat kembali kesini.
Waktunya sekarang adalah sekitar jam 3 pagi.
Aku
mulai berpikir mengenai apa yang harus aku lakukan mulai saat ini
hingga ke depan. Selama satu bulan terakhir, revival item itu adalah
motivasi untukku untuk terus hidup. Walaupun item itu benar ada, itu
bukanlah item yang aku inginkan.
Setelah berpikir
untuk beberapa lama, aku memutuskan untuk pergi keluar dan bertarung
dengan bos dari lantai ini ketika fajar sudah menyingsing. Bila aku
mengalahkan bos itu, aku akan meneruskannya dengan mengalahkan bos dari
lantai ke-50, lalu kemudian aku akan meneruskannya ke bos lantai ke-51.
Aku
tidak dapat memikirkan akhir lainnya untuk pelawak bodoh ini. Setelah
membuat keputusan ini, perasaanku mulai tenang, dan aku hanya duduk di
kursi seperti itu. Tidak melihat apapun, tidak memikirkan mengenai
apapun, tetapi menunggu untuk datangnya pagi.
Cahaya
bulan yang bersinar turun melalui jendela mulai berubah posisi sedikit
demi sedikit, dan akhirnya, cahaya itu digantikan oleh cahaya kelabu
dari fajar. Aku tidak tahu berapa jam aku tidak tidur, tetapi terasa
enak untuk pagi terakhir setelah malam terburuk.
Sementara
jam di dinding berdetik menuju jam 7 pagi, aku bersiap untuk banghit
dari kursi, dan sebuah alarm yang aneh berbunyi di telingaku.
Melihat
sekeliling, aku tidak dapat menemukan sesuatu yang dapat menjadi sumber
dari suaranya. Akhirnya, di sudut penglihatanku, aku menemukan sebuah
sinyal ungu penunjuk dari main window yang berkedip, dan aku
menggerakkan jemariku.
Apa yang bercahaya adalah item
window bersama antara Sachi dan aku. Disana terdapat sebuah item dengan
penggunaan terbatas. Aku menggulung turun halamannya dalam keadaan
bingung, dan menemukan pesan dalam record crystal yang diaktivasikan
dengan timer.
Aku mengeluarkan kristalnya, menutup windownya dan meletakkan kristal itu di meja.
Setelah memilih kristal yang bersinar itu, aku mendengar suara Sachi yang kurindukan.
Kirito, Selamat Natal.
Pada
saat kamu mendengar pesan ini, aku mungkin sudah mati. Hal itu karena
bila aku masih hidup, aku telah memutuskan untuk mengambil kristal ini
dari inventory bersama pada malam Natal dan membiarkanmu mendengar apa
yang ingin aku katakan secara langsung.
Bahwa... Biarkan aku menjelaskan alasan mengapa aku merekam pesan ini.
Aku,
mungkin, tidak akan dapat bertahan hidup untuk waktu yang lama. Tentu
saja, ini bukan karena aku meragukan kemampuan dari Kirito dan guild
«Black Cats of the Full Moon». Karena Kirito sangat kuat dan anggota
lainnya juga menjadi semakin kuat setiap harinya.
Bagaimana
aku menjelaskannya..... Teman perempuan yang sangat dekat denganku dari
guild yang lain kehilangan nyawanya. Karena dia adalah seorang yang
penakut sepertiku, dia hanya berburu di area aman tetapi karena nasib
buruknya, dia terbunu oleh para mob pada jalan kembali ke kota. Setelah
itu aku memikirkan mengenai berbagai hal dan aku akhirnya mencapai
sebuah kesimpulan. Untuk terus hidup di dunia ini, tidak peduli sekuat
apa teman seperjalananmu, bila kau tidak mempunyai semangat untuk hidup
atau tekad untuk selamat tidak peduli apa yang terjadi, kematian jelas
menunggu.
Untukku... Sejujurnya, mulai saat aku
melangkah ke tempat latihan pemula aku telah dan masih tetap sangat
takut. Sebenarnya, aku tidak pernah berniat untuk meninggalkan Starting
City. Walaupun aku sangat dekat dengan para anggota dari Black Cats of
the Full Moon di dunia nyata dan aku menikmati waktu yang kami habiskan
bersama, tetapi aku benci pergi ke dalam pertarungan. AKu mungkin akan
mati pada akhirnya bila aku terus memiliki sikap seperti ini didalam
pertarungan. Ini tidak disebabkan oleh siapapun, masalahnya ada pada
diriku sendiri.
Sejak malam itu, kamu terus
memberitahukanku bahwa itu tidak apa-apa setiap malam dan bahwa aku
tidak akan mati. Itulah mengapa bila aku entah mengapa mati, kamu pasti
akan menyalahkan dirimu sendiri untuk itu dan tidak akan memaafkan
dirimu sendiri. Ini juga adalah alasan mengapa aku berpikir untuk
merekam pesan ini. Aku ingin mengatakannya kepada Kirito, ini bukanlah
salahmu. Bila ada masalah, itu adalah karena diriku. Tanggal dari pesan
ini diatur untuk hari Natal berikutnya, karena aku setidaknya akan
berusaha untuk tetap hidup hingga saat itu, berharap untuk berjalan di
jalanan yang bersalju bersamamu.
Sebenarnya.... Aku
tahu seberapa kuat Kirito sebenarnya. Suatu hari, ketika aku bangun dari
tempat tidur Kirito, aku tanpa sengaja melihat levelmu dari status
window-mu yang terbuka dari belakangmu.
Bahkan setelah
berpikir panjang dan keras, aku masih tidak dapat menemukan alasan
apapun mengenai kenapa Kirito-kun menyembunyikan level-nya yang
sebenarnya dan membentuk kelompok dengan kami. Tetapi aku tidak
mengatakan hal ini keapda anggota kelompok yang lain, karena aku percaya
bahwa suatu hari kamu akan mengatakan langsung kepada kami
alasannya.... Aku gembira ketika aku mengetahui bahwa kamu sangat kuat.
Setelah mengetahui hal itu, aku mulai dapat tidur dengan tenang selama
aku berada di sisimu. Mungkin untukmu, bersama denganku mungkin memiliki
suatu arti bagimu, hal ini juga membuatku sangat senang. Bila ini
memang benar, disana benar-benar ada artinya bagiku untuk datang ke
lantai yang lebih tinggi bahkan bagi orang yang penakut sepertiku.
Itu...
Sebenarnya, apa yang ingin aku katakan adalah, bahkan bila aku mati,
kamu harus terus berusaha untuk bertahan hidup. Teruslah hidup, lihatlah
dunia ini hingga akhirnya, tolong bantu aku menemukan alasan mengapa
dunia ini dibuat, arti dari orang yang penakut sepertiku di dunia ini,
pentingnya pertemuan kita. Itu adalah harapanku.
Ah...
Kelihatannya masih ada beberapa waktu yang tersisa. Kristal ini dapat
merekam banyak hal. Hmmm, lalu, karena Natal adalah suatu saat yang
spesial, aku akan menyanyikan sebuah nyanyian Natal. Aku memang lumayan
percaya diri dengan suaraku. Aku rasa aku akan menyanyikan Rudolph, sang
rusa berhidung merah. Sebenarnya aku lebih memilih menyanyikan lagu
lain seperti Winter Wonderland, dan White Christmas yang lebih banyak
diketahui, tetapi sayangnya aku hanya dapat menyanyikan lirik dari lagu
ini.
Mengapa aku hanya mengingat lirik dari Rudolph,
sang rusa berhidung merah? Malam sebelumnya, Kirito berkata sesuatu
kepadaku, "Tidak peduli siapa dirimu, kamu pasti akan membuat sebuah
perubahan didalam kehidupan seseorang." Mengatakan kepadaku bahwa bahkan
bila itu aku, masih ada tempat untukku berada. Setelah aku mendengar
kata-kata itu, aku menjadi amat sangat senang dan mengingat lagu ini.
Aku tidak tahu mengapa tetapi mungkin itu karena aku menganggap diriku
sendiri sebagai Rudolph dan kamu sebagai Sinterklas.... bila aku harus
mengatakannya, kamu terasa seperti seorang ayah. Ayahku meninggalkanku
ketika aku masih sangat muda, karena itulah setiap malam ketika aku
tidur disampingmu, aku terus bertanya-tanya bila itu adalah perasaan
yang akan diberikan oleh seorang ayah. Ah, baiklah, aku akan mulai
menyanyi.
Rudolph, sang rusa berhidung-merah mempunyai sebuah hidung yang sangat
terang. Semua rusa yang lainnya dahulu tertawa dan memanggilnya dengan
berbagai nama. Lalu pada suatu malam Natal Santa datang berkata:
"Rudolph dengan hidungmu yang begitu terang, maukah kamu memandu kereta
luncurku malam ini? " Rudolph yang selalu menangis, mulai tersenyum
malam itu.
...... Untukku, kamu akan selalu seperti sebuah
bintang terang yang bersinar dan membimbingku dari ujung lain dari
sebuah lorong yang gelap. Selamat-tinggal, Kirito. Aku sangat beruntung
untuk dapat bertemu denganmu dan berada bersamamu.
Terima kasih.
Selamat tinggal.
(Selesai)
Catatan Pengarang
Lama
tak jumpa; atau mungkin akan lebih tepat untuk memanggil ini pertemuan
pertama. Aku Kawahara. Terima kasih banyak untuk membaca <Sword Art
Online 2: Aincrad>.
Setelah jilid pertama terbit,
aku menerima banyak nasehat mengenai "Bagaimana aku bisa melanjutkan ini
dari akhir seperti itu?" Bagaimanapun kamu melihatnya, permainannya
sudah benar-benar selesai, dan dunianya telah runtuh. Bahkan ketika aku
sendiri membacanya, aku merasa kalau benar-benar tak ada faktor yang
bisa kulanjutkan lebih jauh.
Lalu, ada lanjutan yang
menyakiti otakku, namanya, buku ini. Maafkan aku, waktunya kembali ke
masa lalu. Dan selain itu, ini adalah koleksi dari cerita pendek. Aku
benar-benar minta maaf.
Sebelumnya, aku juga sudah
bermain di beberapa game online. Tapi, tak peduli di game apa, aku tak
pernah menjadi bagian dari kelompok tingkat tinggi. Aku hanya iri pada
pemain-pemain yang selalu kuat dengan peralatan terbaik dan reputasi
itu, dengan mudahnya mengalahkan monster satu per satu, dan setelah itu
merasa kalau mereka "Sangat hebat! Sangat kuat!" (haha)
Oleh
karena itu, aku mau menulis tak hanya tentang tokoh utama di jilid
satu, Kirito dan Asuna dan tipe <Game Clearer> mereka seperti
pemain kelas atas, tapi lebih mau menulis sesuatu tentang cerita dari
pemain-pemain tingkat menengah biasa; dan empat cerita pendek dari jilid
kedua ini, benar-benar mempunyai isi seperti itu. Tanpa memperhatikan
cerita siapa, mereka pada dasarnya tentang Kirito memulai debutnya dan
menyebabkan masalah besar; dan perasaan kalau dia "Sangat hebat! Sangat
kuat!" seperti yang Silica dan Lizbet rasakan, adalah benar-benar apa
yang kurasakan setiap tahun sejak menjadi pemain MMO. Sekali saja cukup,
aku benar-benar mau tahu bagaimana rasanya memamerkan ke orang lain
sebuah senjata yang hanya ada tiga buah di seluruh server.
Selain
itu, ada satu hal lagi yang aku harus minta maaf ke semua orang.
Walaupun keempat karakter perempuan di buku ini berbeda, pasangan
laki-laki mereka, seperti yang didiskusikan sebelumnya, selalu
Kirito-san. Walaupun aku benar-benar tak bisa menjelaskan ke semua orang
tentang ini dengan semestinya, aku akan menarik diriku dan menyuruh
semuanya untuk tolong menggunakan pola pikir "walaupun kriminal dan
korbannya selalu berganti, sang detektif selalu orang yang sama" yang
kau punya ketika membaca seri novel detektif... kamu bisa melakukannya,
kan? Maaf, maaf.
Pada akhirnya, kepada Abec-sensei
yang menggambar semua pahlawan perempuan yang terus bermunculan dengan
kepribadian dan kecantikan, dan kepada Miki-san yang memberiku banyak
ide yang berkaitan dengan semua keadaan dan pengaturan sistem permainan
yang kompleks dan aneh: kamu lagi-lagi sudah mengurusku.
Dan kepada kalian yang membaca buku ini sampai akhir, aku benar-benar berterima kasih.
26 Mei 2009 -Kawahara